“Apa kamu sudah membuka kotak hadiahmu?” tanya Reza ketika dia berjalan di koridor bersama Syifa siang itu.
Syifa membetulkan letak tas punggungnya yang berat. Dia sedang tidak mood, gara-gara tindakan Reza di kantin tadi yang membuatnya malu.
“Tidak,” sahutnya pendek.
Dia dan Reza sedang berjalan keluar untuk pulang. Syifa sedang tak ingin dekat-dekat dengan Reza, tetapi cowok itu terus saja menempel di punggungnya seperti jerawat. Dia membuat gatal dan tak mau disingkirkan.
“Oke, kamu bisa membukanya di rumah, saat tidak ada siapapun di dekatmu. Terutama aku,” lanjut Reza sambil tersenyum sendiri.
“Ya, terserah,” sahut Syifa cuek.
Dia sama sekali lupa dengan betapa berterima kasih dirinya atas hadiah itu. Sikap Reza yang berlebihan di depan Angga sungguh membuat hati Syifa memanas. Bagaimana kalau Angga berpikir Syifa dan Reza terlalu dekat? Bagaimana bila Angga tak mau lagi bicara padanya? Bagaimana bila Syifa kehilangan kesempatannya?
Langkah Syifa memelan. Dia mendadak saja merasa lucu. Betapa tinggi rasa percaya dirinya sendiri sampai menganggap bahwa Angga senang dekat dengannya. Memangnya siapa dirinya hingga bisa mengkhayalkan cowok populer itu?
“Ada apa, Syifa?” tanya Reza dengan heran.
Dia berdiri di samping Syifa persis, hingga wajahnya begitu dekat dengan wajah Syifa. Orang pasti akan mengira mereka hendak berciuman kalau tahu posisinya.
“Ah, tidak apa-apa. Menjauhlah dariku,” ucap Syifa seraya mendorong tubuh Reza sedikit mundur.
Cowok itu tidak nampak kesal, hanya agak heran.
“Kupikir –“
“Aku mau pulang duluan,” sela Syifa sebelum Reza berhasil menyelesaikan kalimatnya.
“Tapi aku akan mengantarmu. Tunggu saja di sini sebentar.”
“Nggak usah,” tolak Syifa. “Aku mau mampir ke rumah pelanggan Ayah.”
“Aku hanya sebentar,” ucap Reza.
“Nggak perlu, Za. Aku bisa sendiri. Dadaah!”
Syifa lekas berjalan cepat melewati gerbang sekolah. Gadis itu buru-buru memasuki jalan lain yang biasa dia lewati untuk pulang.
Ketika Reza keluar dengan motor matic-nya, gadis itu sudah tidak ada. Dia tidak kelihatan lagi. Dengan rasa kecewa, cowok itu melajukan motornya sendirian.
Syifa melangkah keluar dari sebuah toko di jalan itu dengan tampang lega. Dia menghembuskan napas yang sedari tadi ditahannya. Gadis itu akhirnya dapat berjalan dengan tenang, tanpa adanya gangguan dari Reza.
Langkahnya kalem dan pelan, sembari dirinya memutar kembali kejadian Tania di kepalanya. Bagaimana dia tersedak dan kesulitan bernapas seperti orang yang sedang tercekik dan bagaimana tangan Amaya bergerak penuh hasrat seperti sedang mencekik lawannya.
Kedua hal itu jelas berhubungan di matanya. Namun, berulang kali dipikir pun, dia tak bisa membuat kejadian itu menjadi masuk akal. Kecuali, jika Amaya memang keturunan penyihir atau semacamnya. Kalau gadis itu memiliki kemampuan untuk menyerang lawan tanpa menyentuhnya, maka itu bisa saja masuk akal.
Syifa tersentak kaget ketika dia mendapati seorang pria berjaket hoodie berjalan cepat di belakangnya. Sontak gadis itu merasa takut. Dengan panik, dia mempercepat langkahnya. Pria itu juga berjalan semakin cepat.
Keringat dingin mulai membasahi dahi Syifa, teringat kejadian terakhir kali di jalan yang sepi.
“Tak ... Tak ... Tak!”
Langkah sepatu yang berat itu terus berjalan dan nyaris berlari. Dia berjalan cepat, melewati Syifa yang gemetar ketakutan. Gadis itu bahkan sudah nyaris memejamkan mata dan mengangkat tangannya untuk melawan, ketika dia menyadari bahwa sosok asing itu telah berlari melewatinya.
Pria itu berlari ke arah sepeda motor di seberang jalan yang berhenti menunggu. Rupanya lelaki di atasnya adalah teman pria itu. Dengan santainya mereka bercengkerama hangat tanpa menyadari bahwa ada seorang gadis yang berdiri ketakutan.
“Ah, astaga. Aku terlalu banyak pikiran,” gumam Syifa dengan lega.
Gara-gara kejadian terakhir kali itu, membuat dirinya selalu diliputi bayangan ketakutan ke manapun dia pergi. Seolah kejadian itu akan terulang kembali, meskipun kini dia melewati jalan yang berbeda. Tapi rasa takut itu tak mau menyingkir meninggalkannya. Dia selalu merasa bahwa keselamatan dirinya terancam.
Gadis itu berjalan lagi dengan normal. Namun kali ini, dia sama sekali tidak menurunkan kewaspadaannya sedikitpun. Dia harus berhati-hati. Karena kejadian itu telah mengajarkannya bahwa dia tak boleh melamun lagi sambil berjalan. Dia harus tetap menjaga pikirannya tetap tenang dan waspada. Jika dia melihat tanda-tanda tidak wajar atau bahaya yang mengancam, maka dia akan siap untuk berlari dan mencari pertolongan.
“Apa aku sudah terlalu kasar pada Reza ya?” pikir Syifa.
Dia membayangkan wajah polos dan lugu cowok itu, yang dengan mudahnya menawarkan pulang bersama padanya.
“Kalau aku pulang bareng Reza, maka aku mungkin bisa lebih aman dan nyaman. Tak perlu merasa takut lagi,” gumamnya sendiri.
Sekarang barulah dia menyesal telah menolak tawaran Reza mentah-mentah. Jika dia tidak bersikap sejahat itu, maka dia tak akan segan untuk diantar pulang olehnya. Toh, selama dua tahun ini seringkali mereka pulang bersama. Dia tidak pernah peduli dengan rumor yang beredar, selama rumor itu hanyalah rumor semata.
Tapi, apakah tidak apa-apa jika sikap baik Reza berkelanjutan begitu?
Gadis itu takut jika nantinya Reza akan mengharapkan lebih dari pertemanan mereka. Meskipun belum pernah ada pernyataan cinta atau semacamnya dari Reza, tapi Syifa tahu bahwa ada sesuatu dari tatapannya. Bahkan orang buta pun bisa melihat dari sikap Reza. Jadi, Syifa ingin menjaga jarak aman dan berusaha agar merrka berdua tetap berada dalam koridor pertemanan saja.
“Aduh, hal ini benar-benar membuat aku pusing!” gerutu Syifa kesal. “Kenapa bukan Angga saja yang memberikan perhatian besar padaku? Kenapa harus Reza?!”
Syifa melanjutkan perjalanannya dengan pikiran setengah melayang. Beruntungnya dia berhasil sampai di rumah dengan selamat.
Pak Burhan sedang menjahit seperti biasanya ketika dia masuk siang itu. Ucapan salamnya disambut dengan suara parau.
“Kamu sudah pulang, Nak,” ucap ayahnya dengan nada yang berbeda.
Syifa mengerutkan dahi menatap sang ayah, yang nampak berusaha menahan batuk.
“Ayah kenapa? Sakit?”
“Hanya batuk-batuk kecil,” sahutnya lemah.
“Mau dibelikan obat?”
Pak Burhan mengangguk, sambil terbatuk-batuk hebat.
Tanpa menunggu lagi, gadis itu lekas meletakkan tasnya dan berlari keluar untuk membeli obat di warung.
Sang ayah adalah pria yang sehat, meski dengan kondisi tubuhnya itu. Tapi dia termasuk orang yang jarang sakit. Syifa tak mampu membayangkan jika ayahnya jatuh sakit. Maka itu pasti akan menghambat pekerjaannya.
Ketika dia kembali, samg ayah sudah terkapar tak berdaya di atas lantai dengan darah di mulutnya. Syifa lantas berteriak kaget melihat pemandangan itu.
Obat batuk yang dibelinya jatuh ke lantai dan menggelincir ....