“Amaya, ikut aku sebentar!” ucap Syifa dengan nada mendesak siang itu.
Bel pulang sekolah telah berdering beberapa menit yang lalu. Keduanya sedang berdiri di bangku mereka, masih belum berjalan keluar kelas.
Amaya menatapnya dengan heran, sementara Syifa menoleh ke arah bangku Clara. Buru-buru dia mendekat.
“Ra, aku boleh nanya sesuatu nggak?” tanya Syifa.
Beberapa orang teman yang berada di dekat Clara menatap Syifa curiga.
Clara mendesah malas. “Nanya apa?”
“Aku ingin tahu di rumah sakit mana Rere dirawat.”
Clara menaikkan alisnya dengan tidak suka. “Emangnya kenapa? Lo mau ngapain?”
“Errr, aku dan Amaya ingin pergi menjenguk dia,” jawab Syifa dengan rasa canggung.
“Jenguk Rere?” ulang Clara seperti burung beo.
Syifa mengangguk membenarkan. Sementara Amaya menatapnya tajam dari belakang.
“Jangan kasih tahu dia, Ra! Nanti mereka malah nyakitin Rere lagi,” sahut seorang teman Clara.
“Nggak, itu nggak mungkin!” bantah Syifa. “Kami nggak punya niat buruk sama sekali. Kami cuma ingin melihat kondisinya aja.”
“Jangan, Ra,” cegah yang lain.
Clara mengangkat sebelah tangannya, menghetikan protes mereka. Gadis itu menatap Syifa dengan menantang.
“Kalau lo emang mau ketemu sama dia, gue akan kasih tahu di mana dia dirawat. Tapi, lo harus janji sesuatu sama gue,” ucap Clara.
“Janji apa?”
“Lo harus ngerjain PR gue buat besok dan jadi kacung gue. Artinya, lo harus mau ngelakuin semua hal yang gue suruh. Gimana?”
“Hah?”
Reaksi Syifa jelas menampakkan keheranan. Sementara Clara dan teman-temannya menatap Syifa dengan puas.
Syifa menelan air liurnya, memikirkan tawaran sulit itu. Di satu sisi, dia ingin segera menyelesaikan kesalahpahaman ini, tapi di sisi lain dia enggan menuruti keinginan Clara.
“Oke,” ucap Syifa akhirnya, setelah berpikir-pikir. “Aku akan melakukannya.”
“Lo serius?”
Syifa mengangguk. “Demi menghilangkan rasa nggak enak ini, aku akan melakukannya. Itu hanya untuk sehari kan, Ra?”
Clara tersenyum senang.
“Ya, cukup sehari aja. Tapi lo berdua harus jadi kacung gue.”
“Aku dan Amaya?” ucap Syifa dengan heran. Dia menoleh ke arah Amaya berdiri.
“Ya iyalah, mau nggak?”
Syifa melirik Amaya yang masih tetap dalam pose yang sama. Dia tidak tahu bagaimana respon Amaya terhadap hal ini, tetapi dia sudah terlanjur mengiyakan tawaran itu. Lagipula, jika dia tidak pergi meminta maaf secara langsung kepada Rere, perasaan bersalah ini akan terus saja menghantui dirinya.
“Kamu bilang tadi hanya aku—“
“Oh, nggak tuh. Gue bilang kalian berdua!” sangkal Clara dengan tegas.
Syifa menghela napas panjang, mengalah. Percuma saja dia mendebat Clara dan semua temannya. Lebih baik segera dia selesaikan saja urusan ini agar dirinya bisa lekas terbebas.
“Baiklah,” kata Syifa lemah. “Kalau begitu, beritahu aku sekarang, di mana Rere dirawat?”
Clara mengeluarkan sebuah buku dan bolpoin dari tasnya. Dia mencatat sesuatu dan merobek selembar bukunya.
“Ini, alamatnya.”
Syifa menerima lembaran kertas itu dan mengamatinya sekilas. Dia mengangguk.
“Terima kasih,” ucapnya.
Clara tidak menyahut. Dia hanya tersenyum miring dan berlalu pergi bersama teman-temannya.
“Apa itu?” ucap Amaya tiba-tiba.
Syifa nyaris terlompat kaget mengetahui Amaya sudah berada di belakangnya tepat.
“Ini alamat rumah sakit tempat Rere dirawat. Kita akan pergi menjenguknya.”
“Untuk apa?” sahut Amaya dengan nada dingin.
“Untuk meminta maaf,” jawab Syifa selagi menoleh menatap Amaya.
“Aku nggak mau.”
Ucapan singkat itu membuat darah Syifa berdesir. Entah mengapa, mendengar suara Amaya saja sudah mampu mengalirkan hawa tidak nyaman dalam dirinya. Apalagi jika gadis itu mengatakan sesuatu yang tidak menyenangkan.
“Kita harus, May!” ucap Syifa tegas. “Kita harus minta maaf atas perbuatan kita ke Rere. Kita yang sudah membuat dia terluka.”
Sebenarnya, itu kamu. Itu bukanlah salahku, bukan aku yang mrlukai Rere, batin Syifa jengkel. Tetapi dia tak ingin memancing amarah Amaya. Saat ini, yang penting mereka berdua harus pergi.
“Ayo, kita harus cepat pergi sebelum hujan turun,” ajak Syifa. Dia memegang tangan kurus Amaya dan menyeretnya pergi.
Perjalanan itu harus ditempuh dengan menggunakan angkutan kota selama setidaknya dua puluh menit. Syifa dan Amaya duduk bersebelahan dalam diam.
Angkot berhenti dan menepi di depan sebuah rumah sakit besar dan megah. Syifa dan Amaya turun setelah Syifa membayar ongkosnya.
Kedua gadis itu kemudian memasuki rumah sakit dan pergi ke bagian administrasi. Seorang perawat mengatakan pada mereka bahwa Renita Cahya Kusuma dirawat di ruang Melati nomor 5.
Syifa mengetuk pintu tiga kali dan membuka pintu ruangan itu. Matanya seketika tertegun. Dia takjub melihat pemandangan di depannya. Ruangan itu seluas 32 m2, dengan petabotan lengkap di dalamnya. Ada sederet sofa mewah yang kelihatannya empuk, sebuah lemari besar, lemari TV, dispenser bahkan kulkas. Di tengah-tengah ruangan, sebuah tempat tidur besar memenuhi ruangan itu. Tubuh Rere tergeletak di sana dengan tatapan tajam tertuju kepada dirinya.
“Lo berdua?” pekiknya dengan kaget.
Syifa dan Amaya berdiri di dekat pintu dengan bergandengan tangan. Syifa menelan ludah, bersiap untuk menghadapi apapun yang akan terjadi.
“Ngapain lo berdua di sini?” jeritnya dengan nada tinggi.
Gadis dalam balutan pakaian rumah sakit itu duduk dengan tiba-tiba, membuat kedua orang perawat yang berada di sisinya serentak membantu.
“Lo berdua pasti mau nyelakain gue lagi kan?” tuduh Rere tanpa ampun.
Syifa menggelengkan kepalanya sambil mendelik. “Nggak, Rere, kamu jangan salah paham dulu. Kami datang hanya untuk meminta maaf.”
“Apa? Minta maaf?” ulang Rere dengan mimik muka heran.
“Iya, kami ingin meluruskan kesalahpahaman yang terjadi,” ucap Syifa seraya berjalan mendekati ranjang.
Sontak kedua orang perawat itu berdiri siaga.
“Maksud lo apaan?” timpal Rere sengit.
“Kami datang hanya untuk meminta maaf saja. Itu tadi nggak disengaja, Re.”
“Nggak sengaja lo bilang?”
Rere membuka pakaian pasiennya di bagian lengan. Nampak sebuah luka dengan perban tebal di salah satu sisinya.
“Lo lihat ini! Gue sampai terluka begini gara-gara dia! Lo bilang itu nggak sengaja?”
Syifa membasahi bibirnya dengan salah tingkah.
“Amaya nggak bermaksud begitu, Re. Ya kan, May?”
Amaya tidak menyahut. Dia diam saja di tempatnya seperti patung.
“Aku sengaja kok,” ucap Amaya dengan nada santai.
Baik Syifa maupun Rere keduanya terkejut.
“Tuh kan, apa gue bilang!” seru Rere dengan nada marah. “Dia emang sengaja nyakitin gue!”
“May, kok kamu ngomong begitu sih?” bisik Syifa pada sosok Amaya.
Namun Amaya hanya diam, tak menunjukkan reaksi apa-apa.
“May, kita datang untuk meminta maaf. Bukan untuk menambah rumit masalah yang ada.”
“Aku tidak salah. Dia yang memulai!” tunjuk Amaya pada sosok Rere.
Seketika Rere menoleh kepada kedua perawat pribadinya. “Bawa mereka pergi! Sekarang juga!”
Kedua wanita itu dengan patuh memenuhi perintah Rere. Mereka menyeret Syifa dan Amaya keluar.
Syifa meronta meneriakkan penjelasan dengan tergesa-gesa, namun pintu ruangan itu tertutup di depan wajahnya dengan keras.
Begitupun dengan pintu hati Rere.