Sugesti

1016 Words
“Nanti siang kita semua pergi menjenguk Rere di rumah sakit,” ucap seorang teman Rere memberitahu. Syifa yang saat itu sedang membaca buku sambil duduk merosot di tempat duduknya melirik menatap gadis itu. Dia sedang berbincang dengan temannya yang lain, membahas perihal sakitnya Rere. “Tania nemenin dia sekarang di rumah sakit, karena Clara masih trauma sama kejadian kemarin.” “Oke, nanti kita bawain dia buah segar dan –“ ucapannya terhenti mendadak, menyadari tatapan ingin tahu dari Syifa. “Apa lo liat-liat?” bentaknya dengan sok galak, meniru tingkah laku Rere dan geng yang punya kuasa. Syifa hanya mengedikkan bahu tak acuh, lalu kembali memfokuskan pandangan ke bukunya. Tak seperti Rere, teman-temannya yang lain tak mampu mengintimidasi Syifa seperti gadis itu. Lagipula, Rere-lah yang paling memiliki pengaruh besar atas beasiswa Syifa, sehingga membuatnya tak berkutik dengan ancaman yang selalu dia lontarkan. Sedangkan teman-temannya hanyalah segerombolan anak angkuh yang meremehkan Syifa. “Gue heran, sakit apa sih Rere sebenernya? Padahal sebelumnya dia baik-baik saja kok,” ucap anak itu lagi, meneruskan percakaannya dengan suara yang bisa didengar seluruh kelas. “Nggak tahu, aneh juga. Sakitnya terlalu tiba-tiba. Apa dia bersandiwara?” balas temannya. “Ah, mana mungkin. Buat apa juga dia melakukan hal itu?” Temannya yang diajak bicara mengangkat bahu tak acuh, seakan tak peduli. “Biasanya kan dia emang drama queen,” katanya. “Hush! Jangan ngomong begitu! Bisa-bisa kita didamprat sama yang lain kalau ketahuan jelek-jelekkin dia,” ucap anak pertama memperingatkan. Dia celingukan menatap sekeliling dengan waspada. Pandangannya tertuju pada Syifa yang menutupi wajahnya dengan buku, pura-pura membaca padahal telinganya asyik menguping pembicaraan itu. “Apapun itu, pokoknya kita harus melihat kondisinya Rere. Semuanya udah sepakat mau pergi barengan.” “Baiklah,” ucap temannya pasrah. “Tapi gue juga nggak mau terlalu dekat. Takutnya penyakit Rere menular.” “Tadi lo bilang Rere cuma drama, sekarang lo percaya kalau dia sakit beneran. Gimana sih lo? Plin-plan banget, nggak punya pendirian,” ketusnya. “Ya habisnya tingkah dia aneh banget. Sedetik sebelumnya ketawa-ketawa, terus detik berikutnya udah merengek-rengek kesakitan. Siapa yang nggak curiga, coba? Mana bisa seseorang jatuh sakit begitu mendadak kecuali kalau orang kena santet,” balas si teman dengan ngotot. Ucapan itu lantas membuat kening Syifa berkerut dalam. Gadis itu merasa merinding hanya dengan mendengar kata santet saja. “Jangan sembarangan omong!” anak pertama tadi memperingatkan. “Lebih baik lo tutup mulut aja dari pada ngomongin hal-hal yang nggak jelas.” Pembicaraan pun terhenti. “Apalagi kalau bicara di depan seorang tukang nguping kayak si cupu itu!” sindirnya keras. Mendadak punggung Syifa menegang. Dia mengangkat tubuhnya yang merosot di atas meja, lalu duduk dengan tegap menatap ke arah kedua anak itu secara langsung. “Dasar cupu tukang nguping!” omelnya seraya berlalu pergi diikuti temannya. Pandangan sinis mereka berdua tidak membuat Syifa sakit hati, tetapi dia malah merasa risi dan aneh sendiri. “Dia sendiri yang ngomong keras-keras, kenapa malah aku yang disalahkan? Dikira tukang nguping segala!” gerutunya kesal. Wajarlah kalau dia mendengarkan pembicaraan itu, sebab suara mereka memang lantang dan jelas. Sehingga siapapun di dalam kelas itu pasti akan mendengarnya. Jadi, begitulah, teman-teman Rere yang sebenarnya. Di depan Rere mereka terlihat loyal dan tak pernah membantah sedikitpun. Selalu tersenyum manis demi menjilat gadis kaya itu. Tetapi sebenarnya di belakang, mereka masing-masing memiliki kubu sendiri dan membicarakan keburukan teman mereka sendiri. Sungguh pertemanan yang busuk! Syifa menyeringai geli. Ia tak menyangka jika dirinya bisa melihat hal semacam ini terjadi. Meski sebenarnya tidak mengherankan juga sih. Selepas kepergian kedua teman Rere itu, mendadak sebuah pemikiran merasuk ke benak Syifa. Santet? Mereka mengucapkan hal itu seolah itu adalah sesuatu yang amat biasa. Amat mungkin terjadi. Tapi tidak masuk akal bukan? Mana mungkin Rere jatuh sakit dikarenakan oleh santet? Syifa merasakan suhu tubuhnya berubah. Dia mendadak merasakan adanya hawa dingin yang aneh. Gadis itu tak berani menoleh ke belakang untuk melihat, tapi dia tahu bahwa saat ini Amaya pasti sedang memelototi punggungnya. Amaya yang duduk diam tak bergerak di tempatnya, bagaikan patung. Gadis aneh yang diam-diam pergi ke belakang sekolah untuk duduk sendirian dan mendesiskan suatu mantra .... Bulu kuduk Syifa meremang. Dia menelan ludah dengan susah payah. Baru sekarang dia dapat merasakan hawa ngeri yang terpancar dari sosok Amaya, mantan teman sebangkunya itu. Ketika dia pergi dan memergoki Amaya tadi, dia sama sekali tak merasakan apa-apa selain keheranan yang murni. Serta kemarahan yang dicampur emosi ketika keduanya saling beradu pendapat. Jadi, pikiran ngeri Syifa teralihkan. Tapi sekarang, duduk berduaan dengan anak itu di dalam ruang kelas yang sepi, entah mengapa membuat aura itu terasa kembali. Syifa merasa punggungnya dingin, seperti ada es yang menyebar di sekelilingnya. Dia merasa gatal, ingin segera bangkit dan mengangkat tubuhnya pergi dari sini. Tetapi, bukankah pergerakan itu justru akan memancing perhatian dari Amaya? Apa yang akan Amaya pikirkan jika dia secara tiba-tiba meninggalkan ruangan dan berlari kocar-kacir? Dia pasti akan mengira Syifa ketakutan. Dia akan tahu bahwa Syifa takut pada dirinya. Dan itu mungkin bukan sesuatu yang bagus. Syifa menarik napas dalam-dalam dan mengeluarkannya dengan pelan. Tenang, Syifa, tenang, perintahnya pada diri sendiri. Saat panik kau tidak akan bisa berpikir jernih, katanya dalam hati. Jadi gadis itu mencoba untuk dudum tenang di tempatnya dan mencoba rileks, melupakan pikiran-pikiran konyolnya itu. Mungkin aku sudah gila. Amaya tidak mungkin melakukan hal-hal di luar nalar seperti itu. Itu hanyalah imajinasiku yang berlebihan saja, pikir Syifa menenangkan diri. Apapun yang terjadi, dia sudah membulatkan tekad untuk tidak kabur seperti seorang pecundang. Dia akan duduk di tempatnya dengan tenang seolah tak ada yang terjadi. Seolah tak ada yang menakutinya. Sosok Amaya hanyalah gadis biasa, bukan sesosok hantu yang harus ditakuti. Syifa memasukkan sugesti-sugesti ini ke dalam pikirannya, berusaha berpikir positif. Bahkan, dia tersenyum sendiri memikirkan ide konyol yang merasuki benaknya tadi. Memangnya apa sih yang bisa dilakukan oleh Amaya? Dia toh hanya seorang manusia biasa. Syifa mengangguk sendiri, merasa puas dengan pikirannya. Perlahan-lahan dia tak lagi merasa tegang. Dia mulai membuka kembali buku bacaannya. Tubuhnya yang malas merosot kembali ke atas meja, mencari posisi yang paling nyaman bagi dirinya. Dan pikiran itu pun terlupakan begitu saja ....
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD