Syifa berjalan dengan amarah menggelegak di dalam dadanya. Wajah gadis itu nampak merah, menahan marah. Gara-gara perdebatannya dengan Amaya barusan, dia jadi merasa tak karuan. Semua hal yang harusnya tidak perlu dia katakan, telah dia semburkan di depan wajah Amaya.
Sekarang dia yakin, bahwa hubungannya dengan Amaya benar-benar hancur. Entah apakah mereka akan bisa kembali berbaikan lagi atau tidak. Satu-satunya teman yang ia miliki, sekarang pergi juga.
“Bagus, Syifa! Kamu benar-benar hebat!” gumamnya sendiri.
“Syifa!” tegur seseorang.
Gadis itu mendesah berat, mengenali suara akrab itu. Saat ini dia sedang tak ingin diganggu oleh Reza. Ini bukanlah saat yang tepat bagi cowok itu untuk muncul.
“Syifa, tunggu sebentar!” panggilnya lagi.
Kali ini Syifa melambatkan langkah, bahkan berhenti di pinggir koridor untuk menunggunya. Entah apa yang ingin Reza sampaikan sampai-sampai harus mencegat langkah Syifa begini.
“Ada apa, Za? Aku sedang nggak mood—“
“Ini untukmu,” sela Reza dengan cepat, buru-buru memberikan sebuah kotak kecil ke dalam genggaman Syifa.
Gadis itu menunduk memandangi sesuatu di tangannya.
“Apa ini?” Dia bertanya heran.
“Itu hadiah ulang tahun kamu yang kemarin. Maaf, aku baru sempat memberikannya sekarang,” ucap Reza dengan nada bersalah yang jelas dalam suaranya.
Sejenak, kemarahan Syifa meluntur seketika. Dia mengerjap menatap Reza yang berdiri canggung di depannya.
“Hadiah untukku?”
Reza mengangguk, singkat tetapi jelas.
“Hadiah yang udah aku siapin dari lama. Sebenarnya, hari itu aku ngajak kamu ketemuan di taman sekolah untuk ngasih ini. Tapi kamu nggak muncul.”
Syifa membuka mulutnya untuk mengatakan sesuatu, tetapi tak ada kata yang keluar. Nyatanya dia malah hanya berdiri di tempat sambil melongo menatap Reza.
“Seharusnya aku juga membawakan kue kecil untuk kamu. Waktu itu ada. Tetapi sekarang—“
“Za, kenapa kamu melakukan semua ini?” potong Syifa dengan nada bertanya-tanya.
Reza balas menatapnya dengan sorot mata keheranan. “Kenapa apanya?”
“Kenapa kamu harus menyiapkan semua hal ini hanya demi ulang tahunku?” desak Syifa.
Reza menunduk malu, menatap sepatunya sendiri. “Entahlah, kukira dengan melakukan ini akan bisa membuat kamu senang.”
“Untuk apa kamu ingin membuat aku senang?” desak Syifa lebih jauh.
“Yah ... Karena aku temanmu, kan? Sesama teman memang harus saling peduli kan?” kilah Reza dengan cerdik.
Syifa menatapnya dengan tatapan tak percaya. Seakan dia ingin mendengar alasan lain di baliknya.
“Ini agak berlebihan, Za,” kata Syifa sembari menatap kotak kecil berwarna merah muda itu.
“Hanya ini yang bisa aku berikan. Setidaknya, aku berharap kamu menyukainya.”
Syifa menatapnya dengan tatapan tak tega.
“Trims,” ucapnya kemudian.
Reza mengangguk pelan, berdiri dengan salah tingkah di tempatnya.
“Ehem, cieee! Syifa lagi pacaran sama Reza tuh!” celetuk seseorang lantang, membuat Syifa dan Reza terkejut.
Keduanya menoleh ke arah sumber suara, yakni anak-anak dari kelas Reza. Sontak saja Syifa bergegas pergi tanpa mengucapkan apa-apa lagi kepadanya.
Hadiah mungil itu disembunyikan di balik punggung, dengan kedua tangan menutupi kotak itu sehingga tidak nampak dari luar. Syifa memasuki ruang kelasnya dan berjalan ke arah tempat duduknya.
Saat itulah dia mendengar rintihan pelan dari Rere.
“Ada apa?” Dia membatin, bertanya-tanya.
Di meja depan, Rere nampak sedang bersandar di atas meja. Gadis itu dikelilingi oleh teman-temannya. Nampaknya mereka semua khawatir dengan kondisi Rere. Sementara Rere sendiri mengernyit kesakitan sambil terus merintih. Kedua tangannya memegangi perut.
“Tahan sebentar ya, Re. Mobil jemputan lo bentar lagi datang,” hibur Tania di sisinya.
Syifa baru menyadari bahwa Clara tidak ada di sana. Gadis itu pastinya masih trauma dengan kejadian yang terjadi kemarin. Dan hari ini dia memilih untuk tidak masuk sekolah dari pada harus kehilangan muka.
“Aduh, sakit banget!” keluh Rere lagi, dengan gerakan meremas-remas perutnya.
Syifa memperhatikan gadis itu mengernyit kesakitan. Ada sebulir air mata di sudut matanya, sepertinya dia benar-benar tidak sedang bercanda.
“Ayo, Re, kita anterin kamu pulang sekarang,” kata Tania seraya membopongnya berdiri.
Teman-temannya yang lain sibuk membawakan barang-barang milik Rere dan membantunya untuk berjalan keluar.
Syifa terus memperhatikan adegan itu hingga Rere dan gengnya menghilang di balik pintu. Dia telah pergi, mungkin akan dibawa ke rumah sakit hanya karena sakit perut.
Syifa mendengus kesal, membayangkan betapa mudahnya bagi orang seperti Rere untuk meninggalkan kelas meski hanya karena alasan sepele. Sedangkan dirinya, yang harus berjuang mati-matian, tak peduli bagaimanapun harus selalu hadir di dalam kelas.
Bahkan gadis kaya itu tak perlu lagi pergi ke UKS. Dia akan langsung dijemput oleh sopir yang mengemudikan mobil mewahnya, pulang ke rumah dengan entengnya. Tak perlu meminta ijin. Bukankah dia anak dari pemilik Yayasan sekolah ini?
Syifa menyembunyikan rasa kesalnya dalam hati, diam-diam mengutuki betapa tidak adilnya kehidupan ini.
Gadis itu memasukkan kotak hadiah dari Reza ke dalam tasnya. Dia meliriknya sesaat sebelum menutup tas itu. Ketika itu, dia merasakan langkah seseorang mendekatinya.
Syifa mendongak dan mendapati sosok Amaya berjalan cuek ke bangkunya. Gadis itu bahkan tidak melirik Syifa sama sekali. Syifa sendiri masih merasa kesal. Dia tak ingin menatap Amaya lama-lama.
Tapi kehadiran gadis itu membuat suasana berubah. Syifa jadi teringat akan apa yang telah dilakukan oleh Amaya di belakang sekolah. Suara desisan aneh dan rapalan mantra ....
Benarkah Amaya telah merapal mantra? Ataukah itu hanya imajinasi Syifa saja sebab dia menghubungkan perilaku Amaya yang tak wajar itu?
Pikiran Syifa kemudian dipenuhi oleh bayangan mimik wajah Rere yang kesakitan. Gadis yang sehat dan baik-baik saja itu, mengapa bisa tiba-tiba jatuh sakit?
Bukankah ini aneh? Batin Syifa.
Gadis itu menoleh ke belakang, ke tempat Amaya duduk seorang diri. Gadis itu nampak sibuk menggambar di bukunya seperti biasa. Seolah tak ada yang tak wajar pada dirinya. Tetapi Syifa tahu, ada hal-hal yang tak bisa dijelaskan pada diri Amaya. Ada sesuatu yang entah mengapa membuatnya selalu bertanya-tanya mengenai gadis itu. Seolah dia telah menyembunyikan sesuatu yang besar dan misterius di balik sikapnya.
Tapi, apapun itu, untuk saat ini Syifa tak ingin tahu. Dia sudah jengah. Dia lelah mengikuti semua ini. Lebih baik dia diam dan fokus pada dirinya sendiri saja. Masalah yang dia miliki sudah cukup banyak tanpa harus ditambah lagi dengan persoalan ini.
Terutama, tentang sosok penolong misteriusnya. Siapa sebenarnya orang itu dan apa tujuannya menolong Syifa?