“Kamu tahu, apa yang sudah kamu lakukan?” tanya Pak Kepsek lagi. Kali ini nada suaranya jelas terdengar marah.
“Kami hanya berusaha untuk membela diri,” sahut Syifa dengan polos.
Dia membuat tatapan Pak Kepsek beralih kepada dirinya.
“Apa kamu tahu, siapa yang telah kamu lukai itu?”
Keduanya diam. Amaya mungkin tidak tahu, tapi Syifa tahu betul siapa Rere dan bagaimana posisinya di sekolah ini.
“Rere adalah putri tunggal dari donatur tetap sekolah kita. Dia adalah putri Pak Irawan Kusuma, donatur sekaligus pemilik Yayasan sekolah. Kalau sampai Pak Irawan mendengar mengenai kejadian ini, maka entah apa yang akan beliau lakukan.”
Pak Kepsek menggeleng-gelengkan kepalanya dengan tak senang.
“Tapi, Pak ... Rere yang lebih dulu memulai.”
“Tapi Rere yang terluka. Bukankah begitu?”
Syifa membuka mulutnya hendak memprotes, tapi dia tak mengucapkan apa-apa.
“Kamu juga sadar kan, Syifa, bahwa beasiswa kamu itu berasal dari ayahnya Rere?”
Syifa menunduk makin dalam.
“Jika beasiswa kamu dicabut, maka kamu tidak akan bisa lagi bersekolah di sini. Ingat itu! Jadi, jangan sampai mencari masalah dan membuat Rere sampai terluka. Apa kalian mengerti?”
Syifa diam saja, merasa marah tapi sadar diri. Dia tahu bahwa dirinya tak bisa berbuat apa-apa untuk melawan. Ketidakadilan ini, terjadi karen status sosial Rere yang lebih tinggi dari mereka.
Tapi jika dipikirkan, ucapan Pak Kepsek itu ada benarnya juga. Dia tak mungkin mampu membayar biaya sekolah di sini, jika bukan karena beasiswa. Kalau sampai beasiswanya dicabut, maka habis sudah. Semua perjuangannya dan sang ayah selama ini akan menjadi sia-sia saja.
“Syifa, Amaya, apa kalian mendengar ucapan saya?” bentak Pak Kepsek dengan galak.
Syifa menjawab dengan tergagap.
“I-iya Pak.”
“Kalau sampai Rere meminta pertanggungjawaban atas ulah kalian, kalian harus siap. Dan kalian berdua harus meminta maaf kepadanya!”
Syifa menelan ludahnya dengan susah payah.
“Tidak adil!” gumam Amaya dengan suara pelan tapi jelas.
“Apa kamu bilang?” sahut Pak Kepsek dengan geram.
Syifa menatap Amaya dan Pak Kepsek bergantian. Nampaknya Pak Kepsek akan meledak semakin marah. Di harus mengambil alih situasi.
“Tidak ada, Pak!” timpal Syifa cepat-cepat. Dia segera bangkit berdiri dan menyeret Amaya bersamanya.
“Kami minta maaf dan kami berjanji tidak akan mengulanginya lagi.”
Syifa membungkuk penuh hormat dan hendak pergi dari ruangan itu.
“Ayo ...,” bisiknya pada Amaya.
Nampak terpaksa, Amaya mengikuti Syifa keluar.
Syifa menghela napas panjang ketika sudah berada di luar lagi. Dia bersandar sebentar di dinding koridor sebelum pergi ke kelas.
“Kita nggak bisa nyari masalah sama Rere, May. Karena guru-guru pasti akan membela dia.”
Syifa menatap Amaya dengan sedih.
“Ini nggak adil!” ucap Amaya lagi dengan nada lebih tinggi.
Syifa mengangguk membenarkan. “Aku tahu, ini memang tidak adil. Tapi mau gimana lagi?”
Amaya diam saja. Syifa bangkit berdiri dan mulai berjalan menyusuri koridor panjang yang sepi itu.
“Kita nanti ke UKS ya, May, jenguk kondisi Rere sekaligus minta maaf.”
Ajakan itu tak mendapatkan respon dari Amaya. Tapi Syifa tidak lagi peduli. Dia berjalan lebih cepat, menyadari bahwa sebagian besar anak-anak sudah masuk ke dalam kelas masing-masing.
Dia sampai tak menyadari kapan bunyi bel berdering, saking asyiknya mengobrol santai dengan Pak Kepsek.
Ketika langkahnya sampai di ambang pintu kelas, Syifa dapat mendengar suara ramai anak-anak seketika mereda dan membaur menjadi bisik-bisikan yang jelas.
Syifa menatap seluruh kelas, melihat semua mata yang menatapnya tajam. Syifa berjalan dengan canggung ke tempat duduknya. Dia dan Amaya duduk bersebelahan. Sementara itu pandangan semua orang masih melekat pada mereka.
“Dia yang nyakar Rere sampai berdarah-darah.”
“Ngeri banget, serem. Udah penampilannya serem, kelakuannya juga parah. Jangan deket-deket deh sama dia!”
“Dia itu manusia bukan sih? Kok tampangnya kayak setan!”
Bisikan-bisikan tidak enak itu terus terdengar, membuat Syifa menundukkan kepalanya tidak nyaman. Rupanya, topik pembicaraan mereka adalah Amaya, bukan dirinya. Tapi tetap saja, dia juga turut merasa tidak enak.
Selain karena dia bersama Amaya saat kejadian itu terjadi, tetapi juga karena rasa bersalah pada gadis di sebelahnya itu. Amaya telah melukai Rere demi membela dirinya. Dan gara-gara itu, Amaya harus menjadi topik pembicaraan semua orang. Ada rasa iba juga yang menyusup di hatinya.
“May, maaf,” ucapnya kepada Amaya sembari berbisik.
Amaya menoleh sesaat menatapnya.
Syifa dapat merasakan tatapan mata Amaya di balik rambutnya yang menjuntai.
“Gara-gara aku, kamu –“
“Selamat pagi, Anak-anak!” ucap seorang guru menyela.
Perhatian semua orang seketika tertuju pada guru itu. Syifa tak bisa menyelesaikan kata-katanya. Dia hanya melirik Amaya dengan penuh arti. Tetapi gadis itu sudah kembali menunduk dan mencoret-coret bukunya.
“Permisi, Bu!” ucap seseorang di ambang pintu.
Syifa mendongak, melihat Clara berjalan masuk.
“Ke mana saja kamu, Clara? Kenapa baru masuk kelas?” selidik bu guru.
“Saya dari UKS, Bu. Rere terluka parah. Dia harus dibawa ke rumah sakit. Tania sedang menemani dia sekarang.”
Raut wajah guru itu nampak terkejut. “Oh ya? Kalau gitu, kamu boleh duduk.”
Syifa juga terkejut mendengar penjelasan Clara. Gadis itu terus berjalan dengan tatapan mata mengancam kepada Syifa. Anak-anak yang duduk di dekat Clara mendekat dan berbisik.
“Apa separah itu lukanya Rere?”
Clara sengaja menoleh ke belakang, ke arah Syifa ketika menjawab.
“Iya, parah banget. Sampai nyaris kehabisan darah. Gara-gara cewek aneh itu! Untung aja Rere nggak mati!”
Ucapan itu menusuk Syifa begitu dalam. Dia menundukkan kepala, merasa malu dan bersalah. Entah bagaimana dengan Amaya, tetapi rupanya gadis di sebelahnya itu tidak nampak terusik.
“Bakal gawat deh nasib lo, Syifa!” ucap seseorang yang duduk di dekat Syifa.
Syifa hanya menoleh sekilas, merasa kaget.
“Lo harus tanggung jawab sama kondisi Rere, Fa!”
“Lo bakal ditendang keluar dari sekolah ini karena udah bikin Rere celaka!”
Ucapan-ucapan itu sekarang masih berupa bisikan. Tapi kemudian ucapan-ucapan itu dilontarkan begitu jelas ketika jam istirahat tiba. Semua orang, menuduh Syifa dan Amaya sengaja melukai Rere begitu parah.
Syifa merasa dirinya telah menjadi pusat perhatian yang buruk. Dia dan Amaya tetap duduk diam di bangku mereka untuk makan siang. Keduanya tidak pergi ke kantin dan menghindari semua orang.
Syifa yakin, rumor buruk itu akan segera menyebar ke seluruh sekolah. Menjadikan dirinya sebagai orang jahat yang berbahaya.
Syifa tak bisa berbuat sesuatu untuk mengubahnya. Dia tak tahu harus berbuat apa, selain mendatangi Rere ke rumah sakit dan meminta maaf. Lalu Amaya?
Syifa menoleh padanya. Amaya nampak biasa saja. Dia duduk tanpa bergerak di kursinya.
Syifa menghela napas. Nanti saja, pikirnya. Dia merosot di atas meja dan memilih untuk tidur alih-alih membuka kotak bekalnya. Saat ini dia sedang tidak napsu makan.