Perjodohan

2802 Words
“Langsung balik aja kalau udah di jahit luka nya.” Ucap Aletta, ia menarik sebuah kursi lalu duduk di sebelah ranjang adik nya. “Ya maunya juga gitu, tapi kata mbak perawat tadi tulang gua ada yang retak.” Jawab Aletta, Aliya kemudian mengangguk kemudian memperhatikan area luka adiknya yang hanya luka sedikit, ya lumayan lah daripada luka banyak pasti Aletta akan membuat heboh satu rumah. “Okedeh, mama sama papa juga bentar lagi sa-” “ALETTAAAA SAYANGGG… YA ALLAH NAK KAMU KENAPAAA?” Belum sempat Aliya menyelesaikan kalimatnya tiba-tiba dari kejauhan sudah terdengar suara ibu nya yang memenuhi seisi ruangan, beberapa pasang mata menatap wanita paruh baya yang datang dengan sangat heboh, sementara Aliya buru-buru menyingkir, membiarkan ibu nya berdiri di samping Aletta, sementara papa nya hanya mengekor di belakang lalu berdiri di samping Aliya. “Pa, udah hampir dua jam loh… kok kaki dia belom di apa-apain sih? Kata dia retak tuh ya ampun.” Ucap Aliya, tangannya menunjuk kaki adik nya yang terluka. “Oh iya, Dr Herman yang bakal menangani Aletta langsung.” Jawab sang papa. Aliya hanya mengangguk walau tidak tahu dokter Herman itu siapa. Tapi dari cara bicara ayah nya, Aliya dapat menyimpulkan bahwa dokter Herman itu adalah kenalannya, jarang-jarang sekali papa nya mempercayai seseorang, jadi ketika papa nya menyebut nama dokter Herman, Aliya langsung tahu bahwa orang itu salah satu orang yang di percaya oleh papa nya. “Kamu tahu siapa dokter Herman itu?” Tanya sang papa. Aliya menggeleng “Gak tau, kan belum di kasih tau.” Jawab Aliya. “Iya, dia adalah calon mertua kamu.” ***** Di sini lah Aliya, di sebuah ruangan dokter yang ukurannya cukup luass, duduk bersama mama dan juga papa nya. Seperti rumah sendiri karena mereka bahkan di jamu oleh beberapa makanan dan juga minuman. Terdengar beberapa pertanyaan dan pernyataan yang hanya bisa di balas dengan senyuman oleh Aliya, karena memang gadis itu sama sekali tidak tahu dengan apa yang harus ia lakukan. “Om itu mengira kamu dan Mas mu udah ketemu toh Al, ternyata belum. Nanti kalau udah pulang dia ke Jakarta, om suruh datang ke rumah kamu lagi ya.” Ucap Dokter Herman, atau calon mertua Aliya. Aliya hanya bisa mengangguk kemudian menggaruk sedikit kepalanya yang tidak gatal, canggung, sangat canggung. “Iya om. Heheh.” Jawab Aliya. “Udah siap nikah kan kamu dek? Mas mu looh udah hampir kepala 3 gitu tapi kalau di tanya mana pacar nya, selalu jawab sibuk kerja. Yaudah om jodohin aja sama kamu, mumpung papa kamu juga setuju.” Ucap Herman, Aliya hanya mengangguk, wajah nya sama sekali tidak menunjukan bahwa ia senang, ia sudah ingin pulang tadi, hanya saja papa nya terus menggiring nya untuk ikut ke ruangan dokter itu hingga berakhir duduk di sana selama dua jam lama nya. Aliya melirik ponsel, ada beberapa pesan dari seseorang yang belum sempat ia jawab. Dalam hati Aliya berdoa semoga ada seseorang yang bisa menyelamatkannya dari situasi yang begitu canggung seperti sekarang. “Harusnya sih Mas mu udah pulang hari ini. Dari jadwalnya sih, atau mungkin besok subuh.” Sambung Herman, lagi-lagi Aliya tidak begitu tertarik hingga dengan lancang, gadis itu meminta izin untuk keluar. “Maaf dok, eh om, eh dok… aduh, saya izin ke toilet dulu ya sebentar.” Ucap Aliya, Herman dan kedua orang tua Aliya tersenyum lalu mempersilahkan Aliya untuk keluar. Baru menutup pintu ruangan Herman, Aliya langsung bernapas lega, lalu tujuan selanjutnya adalah ke kamar rawat Aletta dan berpura-bura di minta sesuatu oleh Aletta hingga tidak usah kembali lagi ke ruangan Herman. Ma Aliya gak jadi balik ke sana ya, Aletta minta di anter ke wc, mules katanya. Setelah menekan tombol kirim, Aletta langsung berjalan santai menuju ruang rawat adik nya, untung nya saja sesampainya ia di sana, Aletta sedang tertidur lelap setelah kakinya di pasangi sebuah GIPS. ***** “Mama tuh tau ya mbak kalau tadi itu kamu kabur. Kamu tuh, mama sampai gak tau harus bilang apa sama Dokter Herman, dia belum selesai loh ngomong nya sama kamu, tapi kamu malah udah kabur aja. Pokoknya mama gak mau tau, kamu kalau anak nya Dokter Herman udah pulang, kalian harus ketemu, kamu jangan terlalu sibuk di kantor. Awas kamu ya, malah kabur-kaburan.” Aliya mendengarkan ocehan mama nya, wanita paruh baya itu bahkan belum sadar bahwa Aliya tidak pernah setuju akan perjodohan tersebut. “Ya… mama, Aliya kan belum pernah bilang setuju. Mama udah iya-iya aja.” Balas Aliya. “Aliya gak bilang setuju, tapi Aliya bilang terserah. Di pikiran mama kalau Aliya bilang terserah ya yaudah, Aliya bakal manut sama mama. udah, siapa suruh bilang terserah, sekarang Aliya manut sama mama aja.” Aliya hanya bisa menghela napas, menyadari kebodohannya saat itu, harus nya ia menolak saja daripada harus bilang terserah . memang sebelumnya Aliya begitu pasrah, mengingat sahabat nya akan menikah dengan wanita pilihannya. Tetapi semua yang ada di dalam pikiran Aliya tiba-tiba berubah ketika Dean batal menikahi wanita pilihannya. Aliya menatap jalanan di hadapannya, pikirannya melayang-layang. Dean memang sudah tahu bahwa ia menyukai pria itu, hanya saja, sejauh ini tidak ada tanda-tanda dari Dean bahwa mereka akan melanjutkan hubungan mereka ke tahap yang lebih serius, atau memang Dean hanya menganggap semua yang di katakan oleh Aliya itu adalah sebuah lelucon. Tanpa sadar, di tengah sibuknya Aliya dengan pikiran-pikirannya, ia tiba-tiba mengingat sosok Gellar. Apa kabar ya dia? . Pikir Aliya, pikirannya tiba-tiba melayang-layang mengingat sosok Gellar yang menemaninya selama ia berada di Bali untuk menghilangkan kegalauannya akibat Dean yang sebentar lagi akan menikah dengan Lulu. Aliya banyak berharap dalam hati, ingin bertemu dengan Gellar ya setidaknya hanya untuk berterimakasih, karena pria itu sudah mau menemaninya untuk menghilangkan kesedihan. Pergi tanpa pamit bukanlah cara Aliya untuk berpisah dengan seseorang, Gellar memang orang asing, namun bagi Aliya, Gellar adalah seorang penyelamat untuk nya. Andai saja malam itu Gellar tidak datang secara tiba-tiba, Aliya pastikan bahwa mungkin sampai hari ini ia belum bisa mengikhlaskan sahabatnya itu. “Mbak, nanti temenin Aletta kontrol ya soalnya habis ini mama sama papa bakal sibuk banget, ada proyek baru. Kalau ga di temenin sama kamu pasti dia suka seenaknya gak mau ngobatin kaki nya.” Ucap wanita paruh baya itu, ia menengok ke anak bungsu nya yang sedang tidur di samping kakak nya. Walau tak nampak sakit sama sekali. “Kalau sendirian aku mana bisa ma, dia berat. Apalagi gak pakai kursi roda.” Jawab Aliya. “Iya, nanti minta tolong aja sama Dean buat anter.” ***** “Langsung balik aja kalau udah di jahit luka nya.” Ucap Aletta, ia menarik sebuah kursi lalu duduk di sebelah ranjang adik nya. “Ya maunya juga gitu, tapi kata mbak perawat tadi tulang gua ada yang retak.” Jawab Aletta, Aliya kemudian mengangguk kemudian memperhatikan area luka adiknya yang hanya luka sedikit, ya lumayan lah daripada luka banyak pasti Aletta akan membuat heboh satu rumah. “Okedeh, mama sama papa juga bentar lagi sa-” “ALETTAAAA SAYANGGG… YA ALLAH NAK KAMU KENAPAAA?” Belum sempat Aliya menyelesaikan kalimatnya tiba-tiba dari kejauhan sudah terdengar suara ibu nya yang memenuhi seisi ruangan, beberapa pasang mata menatap wanita paruh baya yang datang dengan sangat heboh, sementara Aliya buru-buru menyingkir, membiarkan ibu nya berdiri di samping Aletta, sementara papa nya hanya mengekor di belakang lalu berdiri di samping Aliya. “Pa, udah hampir dua jam loh… kok kaki dia belom di apa-apain sih? Kata dia retak tuh ya ampun.” Ucap Aliya, tangannya menunjuk kaki adik nya yang terluka. “Oh iya, Dr Herman yang bakal menangani Aletta langsung.” Jawab sang papa. Aliya hanya mengangguk walau tidak tahu dokter Herman itu siapa. Tapi dari cara bicara ayah nya, Aliya dapat menyimpulkan bahwa dokter Herman itu adalah kenalannya, jarang-jarang sekali papa nya mempercayai seseorang, jadi ketika papa nya menyebut nama dokter Herman, Aliya langsung tahu bahwa orang itu salah satu orang yang di percaya oleh papa nya. “Kamu tahu siapa dokter Herman itu?” Tanya sang papa. Aliya menggeleng “Gak tau, kan belum di kasih tau.” Jawab Aliya. “Iya, dia adalah calon mertua kamu.” ***** Di sini lah Aliya, di sebuah ruangan dokter yang ukurannya cukup luass, duduk bersama mama dan juga papa nya. Seperti rumah sendiri karena mereka bahkan di jamu oleh beberapa makanan dan juga minuman. Terdengar beberapa pertanyaan dan pernyataan yang hanya bisa di balas dengan senyuman oleh Aliya, karena memang gadis itu sama sekali tidak tahu dengan apa yang harus ia lakukan. “Om itu mengira kamu dan Mas mu udah ketemu toh Al, ternyata belum. Nanti kalau udah pulang dia ke Jakarta, om suruh datang ke rumah kamu lagi ya.” Ucap Dokter Herman, atau calon mertua Aliya. Aliya hanya bisa mengangguk kemudian menggaruk sedikit kepalanya yang tidak gatal, canggung, sangat canggung. “Iya om. Heheh.” Jawab Aliya. “Udah siap nikah kan kamu dek? Mas mu looh udah hampir kepala 3 gitu tapi kalau di tanya mana pacar nya, selalu jawab sibuk kerja. Yaudah om jodohin aja sama kamu, mumpung papa kamu juga setuju.” Ucap Herman, Aliya hanya mengangguk, wajah nya sama sekali tidak menunjukan bahwa ia senang, ia sudah ingin pulang tadi, hanya saja papa nya terus menggiring nya untuk ikut ke ruangan dokter itu hingga berakhir duduk di sana selama dua jam lama nya. Aliya melirik ponsel, ada beberapa pesan dari seseorang yang belum sempat ia jawab. Dalam hati Aliya berdoa semoga ada seseorang yang bisa menyelamatkannya dari situasi yang begitu canggung seperti sekarang. “Harusnya sih Mas mu udah pulang hari ini. Dari jadwalnya sih, atau mungkin besok subuh.” Sambung Herman, lagi-lagi Aliya tidak begitu tertarik hingga dengan lancang, gadis itu meminta izin untuk keluar. “Maaf dok, eh om, eh dok… aduh, saya izin ke toilet dulu ya sebentar.” Ucap Aliya, Herman dan kedua orang tua Aliya tersenyum lalu mempersilahkan Aliya untuk keluar. Baru menutup pintu ruangan Herman, Aliya langsung bernapas lega, lalu tujuan selanjutnya adalah ke kamar rawat Aletta dan berpura-bura di minta sesuatu oleh Aletta hingga tidak usah kembali lagi ke ruangan Herman. Ma Aliya gak jadi balik ke sana ya, Aletta minta di anter ke wc, mules katanya. Setelah menekan tombol kirim, Aletta langsung berjalan santai menuju ruang rawat adik nya, untung nya saja sesampainya ia di sana, Aletta sedang tertidur lelap setelah kakinya di pasangi sebuah GIPS. ***** “Mama tuh tau ya mbak kalau tadi itu kamu kabur. Kamu tuh, mama sampai gak tau harus bilang apa sama Dokter Herman, dia belum selesai loh ngomong nya sama kamu, tapi kamu malah udah kabur aja. Pokoknya mama gak mau tau, kamu kalau anak nya Dokter Herman udah pulang, kalian harus ketemu, kamu jangan terlalu sibuk di kantor. Awas kamu ya, malah kabur-kaburan.” Aliya mendengarkan ocehan mama nya, wanita paruh baya itu bahkan belum sadar bahwa Aliya tidak pernah setuju akan perjodohan tersebut. “Ya… mama, Aliya kan belum pernah bilang setuju. Mama udah iya-iya aja.” Balas Aliya. “Aliya gak bilang setuju, tapi Aliya bilang terserah. Di pikiran mama kalau Aliya bilang terserah ya yaudah, Aliya bakal manut sama mama. udah, siapa suruh bilang terserah, sekarang Aliya manut sama mama aja.” Aliya hanya bisa menghela napas, menyadari kebodohannya saat itu, harus nya ia menolak saja daripada harus bilang terserah . memang sebelumnya Aliya begitu pasrah, mengingat sahabat nya akan menikah dengan wanita pilihannya. Tetapi semua yang ada di dalam pikiran Aliya tiba-tiba berubah ketika Dean batal menikahi wanita pilihannya. Aliya menatap jalanan di hadapannya, pikirannya melayang-layang. Dean memang sudah tahu bahwa ia menyukai pria itu, hanya saja, sejauh ini tidak ada tanda-tanda dari Dean bahwa mereka akan melanjutkan hubungan mereka ke tahap yang lebih serius, atau memang Dean hanya menganggap semua yang di katakan oleh Aliya itu adalah sebuah lelucon. Tanpa sadar, di tengah sibuknya Aliya dengan pikiran-pikirannya, ia tiba-tiba mengingat sosok Gellar. Apa kabar ya dia? . Pikir Aliya, pikirannya tiba-tiba melayang-layang mengingat sosok Gellar yang menemaninya selama ia berada di Bali untuk menghilangkan kegalauannya akibat Dean yang sebentar lagi akan menikah dengan Lulu. Aliya banyak berharap dalam hati, ingin bertemu dengan Gellar ya setidaknya hanya untuk berterimakasih, karena pria itu sudah mau menemaninya untuk menghilangkan kesedihan. Pergi tanpa pamit bukanlah cara Aliya untuk berpisah dengan seseorang, Gellar memang orang asing, namun bagi Aliya, Gellar adalah seorang penyelamat untuk nya. Andai saja malam itu Gellar tidak datang secara tiba-tiba, Aliya pastikan bahwa mungkin sampai hari ini ia belum bisa mengikhlaskan sahabatnya itu. “Mbak, nanti temenin Aletta kontrol ya soalnya habis ini mama sama papa bakal sibuk banget, ada proyek baru. Kalau ga di temenin sama kamu pasti dia suka seenaknya gak mau ngobatin kaki nya.” Ucap wanita paruh baya itu, ia menengok ke anak bungsu nya yang sedang tidur di samping kakak nya. Walau tak nampak sakit sama sekali. “Kalau sendirian aku mana bisa ma, dia berat. Apalagi gak pakai kursi roda.” Jawab Aliya. “Iya, nanti minta tolong aja sama Dean buat anter.”
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD