Back to your side

1066 Words
                “Ada 7 milyar manusia di bumi, kenapa lo jatuh cintanya sama sahabat lo sendiri? Ada banyak laki-laki pasti yang mau sama lo. Aneh-aneh aja ya orang-orang.” Ucap Gellar, Aliya tertawa mendengar ucapan pria itu. Gellar tidak salah, ucapannya hampir seratus persen benar, hanya saja Aliya kan tidak bisa mengatur perasaannya sendiri.                 “Ada 7 Milyar manusia di bumi dan separuhnya adalah laki-laki, tapi mau bermilyar-milyar laki-laki yang datang ke gua juga, perasaan bakal tetep jadi perasaan, kalau gak mau jatuh cinta sama orang yang datang, ya gak bakal bisa. Perasaan emang seribet itu.” Jawab Aliya.                 “Iya benar kata lo, jadi sekarang gimana? Mau move on aja atau batalin pernikahan sahabat lo itu? mumpung janur kuning belum melengkung, lo masih punya waktu. Eh atau jangan deh, gak elegan banget, gak usah, lo cakep kok, pasti banyak yang mau sama lo.” Jawab Gellar, Aliya hanya mendesis kemudian tertawa.                 Malam itu mereka habiskan berdua hingga pagi, seperti teman lama yang baru saja bertemu, mereka menghabiskan banyak waktu untuk saling bertukar cerita. Kadang Aliya berpikir apakah ia terlalu banyak cerita dengan pria yang baru saja ia kenal itu atau tidak, tetapi semakin lama Gellar semakin bisa membuat Aliya nyaman untuk menceritakan keluh kesahnya.                 “Yaudah, thanks ya for tonight, gua istirahat dulu.” Ucap Aliya ketika ia telah sampai di lobby hotel tempatnya menginap. Hari sudah pagi, jam sudah menunjukan pukul 8, mereka sudah sarapan bersama, mereka memilih untuk beristirahat dulu sebelum bertemu lagi.                 “Oke, see ya. Nanti sore gua jemput di sini, jam 5.” Ucap Gellar sembari melambaikan tangannya, berjalan mundur. *****                 Aliya melambaikan tangannya kepada seorang pria yang telah menunggunya di lobby hotel. Iya, dia adalah Gellar, pria yang semalam di temui oleh Aliya di pantai Kuta, pria yang semalam menemaninya sembari terus bertukar cerita. Melihat Aliya yang melambaikan tangan ke arah nya, Gellar langsung berdiri, meninggalkan kopi nya yang bahkan baru ia cicipi sedikit. Ia menghampiri Aliya, tersenyum kepada gadis itu.                 “Lo udah lama?” Tanya Aliya, Gellar melirik jam di pergelangan tangan kirinya kemudian menggeleng pelan.                 “10 menit mungkin? Kopi gua aja masih hangat.” Ucapnya. Kemudian Aliya mengangguk, mereka berjalan ke luar, di depan lobby sudah ada sebuah vespa model terbaru dengan dua helm di atasnya.                 “Is dat yours?” Tanya Aliya.                 “Nggak, ini sewa, lagian gabut banget ke Bali naik Vespa bawa dari Jakarta.” Jawab Gellar sembari mengaitkan pengait helm miliknya, Aliya tertawa kemudian setelah memakai helm ia pun naik ke Vespa tersebut, berpegangan di pinggang Dean agar tidak jatuh.                 Semilir angin menerpa wajah Aliya, indahnya pemandangan khas Bali yang tidak akan bisa mereka jumpai di kota tempat mereka tinggal, sukses membungkam mereka. Aliya dan Gellar sama-sama sibuk dengan pemandangan yang bisa di tangkap oleh mata mereka, menikmati damainya kota di sana tanpa ada suara klakson yang saling bersahut-sahutan, menikmati hijaunya pohon-pohon yang tidak akan bisa Aliya dapatkan di kota tempatnya tinggal. Bali memang selalu jadi obat yang paling ampuh untuk menyembuhkan pikiran yang sedang kusut.                 “Gila, keren ya.” Ucap Gellar. Suaranya hampir tidak terdengar oleh Aliya karena kencang nya hembusan angin yang menerpa mereka berdua.                 “Banget, yang tinggal disini kayaknya jarang-jarang stress deh.” Ucap Aliya, kemudian Gellar tertawa, benar kata Aliya, mungkin orang-orang yang tinggal di tempat itu punya opsi lain jika mereka sedang penat menghadapi dunia, ada alam tempat mereka bisa membuang segala hal yang mengacaukan pikiran.                 “Gua mau honeymoon di sini.” Ucap Gellar.                 “Gua juga.” Sambung Aliya. Setelahnya keadaan kembali hening, hingga mereka sampai ke suatu tempat, sedikit sepi, namun masih ada beberapa turis yang terlihat berkeliaran di sana, tempatnya sedikit sepi karena sangat jauh dari jangkauan orang-orang, tidak ada apa-apa di sana, hanya ada hijaunya pohon-pohon yang bisa membuat pikiran menjadi tenang.                 “Dulu gua gak sengaja nemu tempat ini, pas nemenin keluarga bokap yang dari Aussie, mereka kayak kagum aja lihat pohon banyak terus pada rimbun, yaudah singgah deh, aneh sih, singgah di pinggir jalan kayak gini, tapi coba deh lo perhatiin, lo tarik napas dalam-dalam, lo buang, habis ini pasti pikiran lo jauh lebih positif, semua yang toxic-toxic, pasti kebuang semua.” Jelas Gellar. Tanpa menjawab Aliya langsung mengikuti semua yang dikatakan oleh Gellar barusan, cukup lama keadaan hening, hingga tiba-tiba Aliya kembali bersuara.                 “Udah nih, ajaib banget. gua tiba-tiba jadi se-tenang ini. Kenapa gua gak pernah coba dari dulu ya?” Ucap Aliya, Gellar tersenyum kemudian mengacak pelan rambut Aliya.                 “Keren kan? Yaudah yuk, udah sore banget juga, makan dulu.” Ucap Gellar. Mereka kemudian kembali melanjutkan perjalanan mereka, setelahnya jalan-jalan sebentar kemudian Gellar mengantar Aliya untuk pulang. Mereka berjanji bahwa besok mereka akan menjelajahi Bali bersama lagi, Gellar akan menjemput Aliya di jam yang sama seperti sore tadi.                 “Thanks banget ya, hati-hati. Jangan ngebut bawa motornya.” Ucap Aliya, Gellar mengacungkan jempolnya kemudian melambaikan tangan kepada Aliya sebelum ia beranjak dari tempat itu.                 Baru saja Aliya berjalan keluar dari lift menuju kamarnya, tiba-tiba ponselnya berdering, menampilkan sebuah nama yang dua hari belakangan ini hampir tidak di ingat sama sekali oleh Aliya. Aliya sedikit ragu untuk mengangkatnya, namun ponselnya itu terus bergetar tidak berhenti sehingga membuat Aliya jadi penasaran sendiri, kenapa Dean terus-terusan meneleponnya seperti itu.                 “Halo, kenapa?”  Ucap Aliya. Hening beberapa saat kemudian terdengar suara seseorang tapi bukan suara milik Dean.                 “Al, ini mama. pulang sekarang, Lulu kabur gak tau kemana, kamu kesini, bicara sama Dean.”  Suara itu adalah suara orang tua Dean, ibunya tepatnya. Aliya mematung di tempat, berdiri di depan pintu kamarnya selama beberapa saat.                 “Al… mama tunggu ya. Tolong.”  Ucap wanita paruh baya itu lagi, suaranya terdengar penuh harap, sementara Aliya tidak tahu harus apa. di satu sisi ia sudah nyaman menenangkan dirinya sendiri, namun di sisi lain Dean tetaplah sahabatnya, mustahil bagi Aliya untuk membiarkan Dean sendirian di tengah kehancurannya.                 Malam itu, Aliya memutuskan kembali ke Jakarta walaupun luka di hatinya masih belum benar-benar sembuh. Di pesawat Aliya baru sadar, kalau ia dan Gellar belum bertukar kontak sama sekali, ia bahkan tidak mengingat untuk meminta kontak pria tersebut. Bukan karena apanya tapi setidaknya Aliya mau berterimakasih kepada pria itu, karena Gellar lah, ia bisa pelan-pelan melepaskan kepenatan dalam kepalanya.Aliya menyesal, sekaligus juga merasa bersalah karena pasti besok Gellar akan datang untuk menjemputnya namun tidak menemukan dirinya di sana. Entahlah, tapi semoga, setelah masalah Dean selesai, Aliya bisa mencari tahu info tentang Gellar.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD