Siang ini cuaca terasa begitu panas. Sama dengan suasana seseorang yang ada di samping Riani. Cowok yang sedari tadi memasang wajah juteknya. Bahkan Riani sendiri takut untuk menyapa.
Seperti yang Tian katakan tadi, hari ini ia akan membawa Riani bertemu orang tuanya. Walaupun Tian sudah mengatakan fakta yang sebenarnya, tetap saja Riani tak percaya. Riani tak percaya jika orang tuanya adalah orang yang jahat, yang tega menjual anaknya sendiri demi uang. Dan Riani harus buktikan sendiri.
Riani menyandarkan tubuhnya di sandaran bangku mobil. Secara perlahan ia mencoba melirik sang pemilik wajah bayi namun sangar tersebut.
Seketika ia dibuat terkejut saat Tian mengarahkan wajah padanya. "Jika ingin melihatku, gunakan matamu dengan baik." ucap Tian dingin.
Riani yang tertangkap basah langsung dibuat kebingungan. Ia tak tahu harus menjawab apa. "Aku.. Aku tak melihatmu. Jangan ge er." balasnya dengan wajah yang dibuat setenang mungkin.
Tian menampakkan smirknya, menampakkan gingsul nya yang tajam.
"Dasar wanita. Selalu mengelak."
"Hei..aku tak mengelak. Sudah kukatakan aku tak lihat kamu sedikitpun.." teriak Riani yang mulai kesal. Ia malu sudah tertangkap basah, tapi seperti Riani Riani yang dulu, ia tak akan pernah mau mengakui dan menampakkan kegugupannya.
Kediaman terjadi kembali. Tian memilih untuk tak membalas. Karena jika ia membalas, sudah bisa dipastikan Riani akan kembali membalas. Tipe seperti Riani, termasuk tipe yang bersemangat jika ada yang melawan ucapannya dan mengajaknya berdebat.
Perjalanan terasa semakin jauh. Riani yang baru menyadari jika perjalanannya tak sampai-sampai sedari tadi itupun akhirnya buka suara.
"Tian, kenapa kita tak sampai sedari tadi?" tanya Riani dengan nada sedikit protes dan meninggi. "Aku pikir perjalanan kerumahku tak sejauh ini, dan lihat! Kau mau membawaku kemana?"
Tian mulai kesal. Ia mendelikkan matanya malas. Malas mendengar cerewetan Riani, "Kau bisa tenang?"
"Tidak, sebelum kau jawab kita akan kemana.."
"Sudah kukatakan kita akan bertemu orangtuamu..!"
"Kau pikir aku percaya!!"
Tian menatap Riani tajam, begitupun pria itu. Ia justru semakin menajam menatap Riani. "Kau mau diam atau kita putar arah!?" ancamnya.
"Aku tak mau diam. Kenapa putar arah? Bahkan aku sendiri tak tahu kau membawaku kemana.."
"Makanya kau diam saja. Aku akan membawamu ke orangtuamu.."
"Kau bohong!"
"RIANI!!!"
Riani terkejut saat Tian membentaknya kuat. Bahkan sopir Tianpun ikut kaget dan melirik Riani dari kaca spion mobil.
"Kau bisa tenang dan diam?!" sekali lagi Tian menanyainya dengan nada dingin.
Riani tak lagi menjawab. Ia menatap Tian dengan tatapan yang masih shock. Baru kali ini ia dibentak sekeras itu. Dan baru kali ini ia diperlakukan seperti itu.
"Baiklah! Aku akan diam. Tapi jika kau tak mengantarkanku pada orangtuaku, kau akan kuhabisi..!" ancam Riani tak kalah dingin membuat Tian mengeluarkan senyum meledeknya.
Riani kembali bersandar pada kursi mobil dan memilih untuk melirik keluar jendela. Menatap ke arah sana jauh lebih menyenangkan dari pada harus melanjutkan pertengkarannya dengan seorang mafia yang tak punya otak menurutnya.
*****
Lima belas menitpun berlalu. Mobil yang membawa Riani dan Tian mulai memasuki sebuah kawasan komplek elit di sudut kota.
Riani mulai waspada. Ia kembali bertanya pada dirinya sendiri kenapa di sini dan tempat siapa ini?.
"Jika kau ingin bertanya, simpan saja. Karena nanti kau akan tahu.."
Itu suara dingin dari Tian. Ia bisa menebak raut penuh tanya tengah menghampiri wajah Riani.
Sampai mobil tersebut berhenti di sebuah rumah minimalis yang tak terlalu besar namun unik untuk dilihat.
"Turun!" perintah Tian. Riani masih terdiam. Ia masih menaruh rasa curiga pada pria disampingnya itu. "Turun!" ulang Tian.
"Kau ingin menculikku dan mengurungku di sini? Biar orang-orang tak bisa melacakku?"
"Ck! Kau terlalu banyak menonton drama. Gunakan otak pintarmu.." geram Tian.
"Lalu kenapa kita ke sini, ini rum....ah ayah? Ibu?" Riani merasa jantungnya berdegub kencang saat melihat sepasang manusia paruh baya keluar dari dalam rumah saat ia tengah berdebat. Dan yang lebih mengejutkan lagi, mereka adalah orangtuanya.
Dengan cepat Riani menatap Tian meminta penjelasan.
"Sudah kukatakan, kau turun saja dulu! Nanti kau akan paham sendiri.." Tian tak mau menunggu Riani lagi. Ia memilih turun lebih dulu.
Riani masih melirik dari dalam mobil. Beruntung kaca mobil sangat gelap, jadi kedua orang tuanya tak bisa melihat keberadaannya dari luar.
"Apa benar mereka menjualku?" gumam Riani lirih. Ada rasa sesak dihatinya saat mengetahui kenyataan itu.
Tanpa terasa, air matanya mengalir begitu saja. "Nona, Anda silahkan turun." kali ini suara sopir dari Tian lah yang mengintrupsi.
Riani menghapus air matanya, menghembuskan nafas pelan lalu membuka pintu mobil.
Saat dari dalam memunculkan Riani, betapa terkejutnya kedua orang itu.
"Ri...Riani?" ucap wanita itu gugup. Ia menatap Riani tak percaya. Tak percaya jika Riani ada di depannya. Begitupun dengan Ayah Riani.
"Kalian menjualku!" ucap Riani lirih. Tatapan terlukanya berhasil diabadikan oleh Tian. Pria itu melihat dengan jelas bagaimana wajah kesakitan Riani.
Kedua orang tua itu mencoba mendekati Riani namun ia mundur secara cepat. "Jangan mendekatiku! Disaat aku mati-matian membela kalian dari tuduhan buruk Tian, kalian justru tengah asik menikmati hasil dari menjualku?"
"Riani?"
"SEBENARNYA KALIAN INI MANUSIA ATAU BUKAN!"
Suasana berubah menegangkan. Emosi Riani sudah tak terbendung lagi. Ia bahkan sudah memerah dan bergetar menahan amarah dan rasa sakit dihatinya.
Melihat semua itu, Tian memutuskan untuk tak jadi masuk. Tanpa banyak kata, Tian memutar tubuhnya menuju Riani dan menarik lengan gadis itu untuk kembali masuk ke dalam mobil.
Riani yang sedang dipenuhi emosi langsung menghempaskan genggaman Tian.
Ia menatap Tian dengan mata memerah, "Kau sama dengan mereka Tian..!" ucap Riani dingin.
Tian tak menjawab, Ia memilih melirik orangtua Riani, "Urusan kita belum selesai. Nanti kita bertemu di tempat lain saja.." setelah mengakhiri ucapannya, Tian kembali menarik lengan Riani dan membawanya ke mobil.
Kali ini Riani mencoba memberontak, melepaskan diri namun sulit. Genggaman Tian yang begitu Kuat tak bisa dengan mudah ia lepaskan, sampai Tian membawanya masuk ke dalam mobil dan pintu masuk dari arahnya langsung terkunci otomatis.
Saat Riani ingin keluar dari pintu Tian, Pria itu sudah membukanya lebih dulu dan mendorong Riani kembali kebangkunya.
"Biarkan aku keluar!" teriak Riani.
Tian hanya diam. Ia tak membalas sama sekali.
"Tian aku mohon biarkan aku keluar..." kali ini ia mencoba melunak. Dan berhasil.
Tian menatapnya, "Sudah kukatakan sebelum berangkat kesini, tapi kau selalu menyela ucapanku. Sekarang kenyataan sudah kau dapatkan, kau bisa apa?" ucap Tian tajam dan dingin.
Riani menatap Tian lirih. Rasa sakit itu semakin menjadi. Walaupun Tian tak kasar padanya, namun hatinya semakin perih saat ia melihat wajah Tian.
"Aku tahu aku salah pada orangtuaku. Aku selalu pulang malam, tapi aku bekerja bukan bermain.." ucap Riani lirih. "Aku tak percaya ayah dan ibuku tega menjualku." lanjutnya.
Haaah.!
Ini yang Tian benci. Aduan lirih sambil menangis. Atau disebut curhatan galau.
Ia benci ada seorang perempuan yang merengek bercerita padanya.
"Kenapa mereka jahat Tian?" tanya Riani sambil terisak.
"Aku sudah peringatkan dari awal."
"Tapi kau tak bilang mereka pindah..!"
"Jika kukatakan kau akan percaya?"
Riani tertunduk, "bahkan ucapanku tadi saja kau selalu membantahnya.."
"Itu karena kau menyebalkan.."
Tian mengangkat satu alisnya ke atas. Dalam hatinya ia merasa sikap menggelikan Riani muncul kembali.
"Lalu bagaimana? Kau masih ingin bertemu orangtuamu?" ucap Tian bertanya namun dengan nada sedikit meremehkan.
"Tidak! Mereka menjualku. Sama dengan kau yang sudah memanfaatkan situasi."
Tian menatap Riani dengan emosi. Kenapa malah dirinya yang dituduh oleh perempuan didepannya ini.
Tian memilih kembali diam dan duduk tenang. "Jalan!" perintah Tian yang langsung dituruti oleh sang supir.
Saat mobil mulai bergerah, Riani tak mau melirik kebelakang untuk melihat orangtuanya. Rasa sakit hati yang ia rasakan tadi belum bisa dihilangkan begitu saja. Dan jika nanti hatinya mulai membaik, ia akan mencoba kembali meminta penjelasan.
Selama perjalanam, Riani hanya bisa menangis secara diam-diam, namun tak diam-diam bagi Tian. Pria itu tahu Riani tengah menangis, namun Tian tak mau ikut campur karena jika ia masuk, sudah bisa dipastikan Riani akan semakin merengek menangis seperti anak kecil yang mengadu permennya terjatuh.
*****
Malam mulai tiba. Udara dingin menusuk kulit lengan Riani. Sudah hampir satu jam Riani duduk di taman yang dipenuhi oleh kelinci.
Ia memilih berdiam diri di sana hanya untuk menenangkan hatinya sejenak sembari melihat kelinci-kelinci itu berkeliaran.
Lampu taman membuat suasana menjadi sangat romantis.
"Coba Tian ada di sini.." gumamnya tanpa sadar.
Namun baru saja ia bergumam seperti itu, tiba-tiba pintu masuk menuju tamanpun terbuka membuat Riani langsung waspada dan berdiri.
Dengan mata menajam, ia melihat siapa yang akan melangkah masuk dan lagi-lagi ia harus kembali mengontrol jantungnya saat sosok Tian yang baru saja ia celetukkan untuk datang, kini benar-benar datang.
"Ti...Tian?" ucapnya gugup.
Cahaya lampu yang redup, lampu tumbler yang berkelap kelip, buka bermekaran, dan kelinci yang tengah berkeliaran membuat suasana tak ubahnya seperti dekorasi kencan romantis ala anak remaja.
Jantung Riani tak bisa dikendalikan. Ia semakin menggila mengingat ia akan tinggal berdua di taman itu.
Tian mulai melangkah masuk. Pakaian santai Tian dengan kaca mata yang bertengger di hidungnya membuat pria itu terlihat seperti remaja tujuhbelasan.
Riani mematung saat Tian mendekat ke arahnya, bahkan badannya mendadak kaku dan tak bisa bergerak.
"Tian..."
"Kau tak menangis galau dan berniat bunuh diri ditamanku kan?"
Geeuukkk!!
Patah sudah hati Riani menjadi dua. Hati yang tadi tengah berbunga, dihancurkan oleh seorang Tian, Mafia berwajah bayi namun menyebalkan setengah mati.
"Dasar mafia menyebalkan.." ucapnya kesal dan berjalan meninggalkan Tian menuju salah satu kandang kelinci. Membuat Tian yang tak paham apa-apa langsung kebingungan.
"Apa wanita PMS semua sama? Lebih ganas dari macan..!" gumam Tian menggeleng tak percaya...
*****