Memasuki sebuah ruangan di mana sang Ayah dirawat, bersama Dewa di sampingnya Dyra duduk di bangku yang terletak di sebelah brankar.
"Pah... " menyapa sang Ayah dengan senyuman. Meski yang disapa hanya menanggapi dengan hening tanpa ekspressi. Ayahnya Dyra memang koma. Beliau jatuh dari tangga ketika membenarkan genting yang bolong di rumah kecilnya kala itu. Ah, rumah papahnya memang se-sederhana itu. Dyra kadang berpikir, ia ingin segera selesai sekolah dan lepas dari mamahnya. Lalu tinggal bersama Ayahnya saja, merawatnya sampai tua. Dyra tidak pernah lupa bagaimana mamahnya menolak ketika ia meminta pertolongan kala itu.
'Jadi laki ko lemah banget! Dari tangga aja sampe jatuh, mati aja sekalian! Udah nyari uang gak bisa! Jadi nelayan gak bisa! Impoten lagi! Apa sih gunanya jadi laki-laki!'
Ah, Mamahnya pernah bilang, secara blak-blakan kalau Ayahnya itu memang terkena impoten. Sehingga katanya tidak bisa memuaskan. Dan maka dari itulah Melva menyewa para anak remaja yang tentunya masih segar untuk memenuhi hasrat gilanya.
"Dyra ke sini sama temen. Papah apa kabar?" Dyra menggenggam erat tangan Ayahnya. Sejenak terdiam, Dyra melirik Dewa. "Boleh keluar sebentar dulu gak? Gue mau ngomong sama papa?"
Dewa mengangguk, lalu ia pun keluar. Sepeninggal Dewa, Dyra kembali menatap Ayahnya.
"Maaf, Dyra lama gak ke sini. Dyra kemarin sempet kerja part time. Biar bisa bayar rumah sakit. Hehehe... papah cepet sembuh ya?"
Gadis itu terdiam sejenak, terlihat mengusap sudut matanya.
"Papah doain Dyra ya? Bair Dyra lulus. Biar Dyra bisa kuliah sambil kerja. Biar Dyra bisa---"
Gadis itu terdiam, menutup mulutnya kuat. Namun punggungnya terlihat bergoncang. Dan Dewa tentu saja melihatnya secara jelas. Laki-laki tampan itu terdiam dengan kedua bibir terkatup rapat.
Tidak pernah tahu seperti apa jalan kehidupan gadis itu. Namun hari ini, Dewa mulai memberikan penilaian bahwa Dyra tidak senakal dan sebobrok yang ia kira.
Merasa takut ketahuan mengintip. Dewa pun menutup pintu agak rapat. Meski tetap saja suara gadis Juita itu masih bisa di dengarnya.
Ah, gilakah Dewa? Karena menyebut gadis itu berparas cantik?
Ia menggelengkan kepalanya cepat.
"Dyra tadi ketemu Om Langit. Bosnya papa, beliau tanyain papa. Dyra bilang aja, kalau papah baik-baik aja. Enggak mau orang lain tahu kalau papah sakit. Biar Dyra aja yang tahu.
Papa cepet sehat ya? Kita main ke pantai lagi. Papah juga jangan lupa, kalau waktu itu papah pernah buat janji. Papah mau ajak Dyra ke pantai sambil hujan-hujanan.
Te-terus...."
Gadis itu terdiam lagi. Menutup mulutnya lebih kuat lagi. Rasa sesaknya terus menyeruak ketika ia banyak bicara. Kenangan bersama Ayahnya, tidak mampu membuat Dyra menjadi gadis tegar.
Menarik napas dalam, Dyra berusahan menelan semuanya. Bersikeras tersenyum agar sang Papah tidak harus mendengarkan semuanya.
".... kita tinggal ber-sama. Dyra bakal kerja buat ayah, Dyra juga bakal belajar naik ke genting. Biar kalau hujan, terus bocor, biar Dyra yang betulin gentingnya. Jangan Papah."
Ah, gadis itu kenapa terlihat menyedihkan sekali. Dewa bahkan sampai sakit mengepal eratkan kedua tangannya, agar tidak harus menerobos masuk ke dalam sana. Lalu memeluknya erat.
Sialan!
***
"Mau ke mana dulu?"
Maaf, ini yang bertanya siapa ya? Kenapa panjang sekali?
Dyra menoleh pada laki-laki yang berjalan di sampingnya. Koridor rumah sakit agak sepi. Sehingga Dyra dengan leluasa berdiri di tengah-tengah jalan. Meneliti sipemilik wajah tampan bak Malaikat itu. Ah, Dyra kadang berpikir, kenapa Tante Anggia bisa membuat mahluk setampan ini.
Seulas senyuman terpancar, membuat Dewa memutar kedua bola matanya jengah. Merasa kesal karena pertanyaannya hanya ditanggapi tatapan lekat menyebalkan itu.
"Gue tanya malah senyum, lo gak stres kan?"
Dan senyum Dyra semakin merekah. Ia serta-merta memeluk lengan kekar milik Dewa. Berhasil membuat pemiliknya berdesis protes.
"Lo mau anterin ke mana gitu? Lo traktir gue kan? Gue laper Wa... dari tadi belum ada sesuap nasi pun masuk ke dalam perut gue!"
Aih, dasar perempuan ini. Dikasih hati dan pastinya minta jantung. Dewa berusahan menarik kuat lengannya. "Jangan peluk-peluk bisa gak?!"
Ikh, Dyra sangat suka dekat dengan Dewa. Jadi yang ia lakukan adalah berusaha menempel sedekat mungkin, dan membenamkan wajahnya di lengan itu.
"Nyaman banget Wa...."
Ya Tuhan... Dewa benar-benar sudah kehilangan kesabarannya. Baru saja ia berpikir kalau gadis yang di sampingnya ini tidak senakal itu. Tapi lihat kelakuan gilanya.
"Lo bisa minggir enggak!"
"Enggak mau, gue mau kaya gini. Salah lo sih, yang udah nawarin gue tadi!"
"Enggak jadi!"
Dyra merenggut, kedua bibir manis itu terlihat mengerucut. "Ko lo gitu sih?"
Melihat wajah memelas itu, Dewa menarik napas dalam. Mengalihkan tatapannya ke arah lain dengan terlihat menelan salivanya kuat-kuat. Dan menarik lengannya menjauh.
"Enggak usah manja!"
Ujar Dewa terdengar dingin. Dan Dyra berubah semakin muram. "Kan lo bilang mau nawarin gue jalan, tadi?"
"Tapi enggak usah ngerengek?!"
Dyra menarik napas dalam. Dewa ini mahluk dingin terlahir dari kutub, sepertinya. Ayahnya dan Edgar tidak pernah bisa menolak dirinya kalau ia sudah memberikan serangan maut itu. Kata Edgar, dia kalau dihadapkan pada dua pilihan antara lompat ke kolam dingin sama menghadapi rengekan Dyra. Maka ia akan memilih lompat saja. Pasalnya, Edgar tidak punya iman yang cukup kuat untuk melawannya.
Karena ketika Dyra melakukan itu. Edgar akan selalu memberikan apa pun. Iya, apa pun!
Kalau saja kejadian itu tidak ada. Maka Dyra tidak harus bertemu Dewa dan memulai luka baru, untuk lukanya yang masih basah.
"Malah diem." Dewa menyentil pelan keningnya. Membuat Dyra mengerjap.
"Ya udah, gue mau pulang aja." Dyra hampir memutar diri, namun sebuah tangan menahannya.
"Ko cepet banget?"
"Ya... kan, udah beres juga."
Dewa terlihat mendesah, menggaruk tengkuknya. "Enggak, pergi ke mana aja dulu gitu?"
Menangkap pergerakan aneh itu. Dyra menatap Dewa dengan menyipit. "Pergi ke mana?"
Dewa terlihat berpikir, "Itu... lo katanya lapar? Enggak mau makan gitu?"
Dan Dyra malah terdiam, mencoba mencerna sikap aneh laki-laki di depannya ini. Katanya dia manja, katanya risih, tapi malah menahannnya dan seolah ingin membawa Dyra pergi.
Maksudnya bagaimana sih?
"Enggak usah! Gue ada part time. Makasih udah mau nemuin papah. Tapi lain kali, lo enggak perlu sebaik itu."
Dyra segera memutar diri. Membuat Dewa mematung di tempatnya. Mengepal eratkan kedua tangan, entah kenapa ia mulai merasa kehilangan.
Shit! Gue kenapa sih?