Anindyra friska
Ketulusan itu tidak ada. Selain nafsu yang kamu selimuti dengan mengatas namakan cinta.
***
Saat ulangan itu, kepala terasa pusing, lalu gatal, sehingga dengan penuh nafsu, kepala digaruknya sampai rambut terlihat berantakan seperti sarang semut. kemudian kedua kaki tidak mau diam, seolah di dalam kedua sepatunya terdapat cacing yang sedang menggelitik. Bukan mau pipis dan ingin lari ke toilet. Tapi sedang gelisah karena ingin mencari jawaban yang bisa mengisi lembaran soal yang masih kosong.
Kepala pura-pura nunduk, sampai - sampai mau nabrak meja. Padahal, kedua matanya larak-lirik sana-sini. Mencari murid yang berbaik hati mau memberikan sontekan. Lantas pulpen diketuk-ketuk ke atas meja, mencari orang yang peka dan mau menatap padanya. Dan kalau sudah ditatap, dia akan memberikan tatapan puppy eyesnya, sebagai permohonan bahwa ia sangat butuh sontekan.
Namun ruangan akan mendadak terasa panas. Kalau ternyata orang yang diminta sama sekali tidak peduli, atau bahkan ketahuan Guru dan membuatnya pura-pura patuh membaca soal yang sudah puluhan kali dibaca namun tidak kunjung mendapat gambaran tentang bagaimana jalan dan rumusnya.
Ah, matematika memang sesusah ini.
"Anindyra Friska! Kenapa dengan rambut kamu?!" Teguran Bu Rahma, Guru matematika menginterupsi. Tentu saja beliau heran dengan rambut muridnya itu yang berantakan tidak karuan.
Si tersangka, dia senyum malu dengan perlahan merapikan rambutnya kembali. Kebiasaan gadis itu adalah mengacak kasar rambutnya kalau sedang ulangan, terutama ulangan matematika seperti sekarang.
"Anu, Bu. Kayanya di kelas ada yang punya kutu deh, makanya nyasar kerambut saya."
"Alesan aja kamu!" Bu Rahma menggeleng jengah, ketika melihat lembar jawaban gadis itu yang masih kosong. "...waktunya lima belas menit lagi. Yang tidak mengerjakan, siap-siap saja, toilet sudah menunggu kalian!"
Dyra merenggut kesal. Sudah terbayang bagaimana baunya toilet sekolah. Terakhir kali ia membersihkannya ketika pelajaran bahasa inggris, Dyra sangat tidak menyukai pelajaran itu. Dia bilang, dia itu orang Indonesia, untuk apa Dyra bisa bahasa Inggris. Dia sendiri tidak punya niat untuk keluar negri. Jadi pelajaran bahasa Inggris itu tidak penting, menurut Dyra. Selain itu ada google translate kalau tiba-tiba butuh. Jadi, kenapa harus pusing-pusing menghapal?
"Waktu tinggal sepuluh menit lagi!" Kembali Bu Rahma mengingatkan. Membuat Dyra meniup poni yang sedikit menutupi keningnya. Kembali lirik kanan-kiri, tapi tetap saja, para murid itu memang terlihat menunduk dan fokus pada kertas ulangan di depannya. Sialan memang, ini gara-gara Bu Rahma. Guru killer dan super tega itu membuat dirinya harus masuk ke kelas lain, dengan duduk sendirian tanpa sahabatnya yang selalu membantunya saat ulangan.
Mungkin Bu Rahma tahu, kalau gadis itu suka menyontek. Makanya ketika ulangan, Dyra dipindahkan ke kelas lain untuk sementara. Bu Rahma tahu, Dyra tidak akan berani meminta sontekan pada murid di kelas lain.
Terlihat beberapa murid mulai membawa kertasnya ke meja depan, mejanya Bu Rahma. Hal itu semakin membuat Dyra panik dan cemas. Duh, kenapa mereka tega sakali membiarkan manusia cantik seperti dirinya, menderita?
Dyra akhirnya mengerjakan salah satu soal matematika itu dengan rumus asal. Maklum, gadis nakal itu memang tidak pernah mau menyentuh buku pelajaran, apalagi soal yang ribet seperti matematika.
Dan akhirnya, di sinilah ia berada. Di toilet dengan sikat dan ember yang berisi air dicampur SUPER SOL atau deterjen khusus untuk membersihkan toilet.
"Kesel banget gue!"
Dia menggerutu sendiri. Tadi, padahal ia sudah berusaha mengisi soal matematikanya. Dasar Bu Rahma yang memang mempunyai mata yang jeli. Dia bisa menemukan kesalahan pada soal-soal yang sudah ia kerjakan dengan begitu cepat. Dan yang lebih memalukannya lagi, Bu Rahma juga tahu kalau Dyra mengerjakannnya dengan asal-asalan.
"Nyuci yang bener! Jangan sambil ngelamun!" Suara seorang perempuan memasuki toilet itu. Membuat Dyra sumringah,"Bantuin gue dong, Fan?" suara Dyra dibuat se-memelas mungkin. Agar Fania atau yang bernama Gizelle Fania itu mau mengulurkan kedua tangannya untuk membantu.
Fania ini sahabatnya Dyra, mereka sudah bersahabat selama sebelas tahun. Sejak mereka sama-sama duduk di Sekolah dasar. Fania menggeleng geli, "Lo makanya kalau tau mau ulangan tuh, belajar coba! Kan kalau kaya gini, gue juga yang ribet!"
Kesal Fania. Terhitung sudah dua tahun mereka sama - sama duduk di bangku SMA, entah berapa puluh kali ia harus melihat temannya itu masuk toilet untuk menebus hukuman. Dan yang lebih parahnya lagi, Fania pasti ikut membersihkan toilet tersebut. Fania tentu saja tidak rela membiarkan sahabatnya itu kerja sendirian. Yaa ... meski ia bekerja dengan kedua bibirnya yang tidak mau diam. Alias, terus menggerutu menceramahi Dyra.
"Udah deh, diem. Telinga gue bisa rusak lama-lama," itu jawaban Dyra, jika Fania terus saja mengomel. Dan Fania tentu saja tidak akan diam. Sebelum ia puas mengeluarkan semua unek-uneknya.
Akhirnya selesai. Sekarang, Dyra dan Fania sedang dikoridor menuju kantin. Kebetulan waktu istirahat sudah tiba. Namun suasana di koridor masih sepi. Karena mereka para murid masih diruangannya masing-masing.
"Eh, lo ulangan nyontek sama siapa?" Ujar Dyra, gadis juita itu membenarkan poninya. Gara-gara ulangan tadi, rambutnya jadi semrawut tidak karuan.
"Gue enggak nyontek kali!" Sinis Fania, gadis itu merasa tidak terima dituduh. Karena Fania memang selalu mengerjakan ulangan murni hasil jerih payah sendiri. Tidak seperti sahabat di sampingnya itu.
Dyra terkekeh, ia tentu saja tahu, kalau sahabatnya itu bukan jenis manusia tukang nyontek seperti dirinya. "Ya kali, aja. Lo kena virusnya gue!"
"Dyra!"
Seorang laki-laki tampan bertubuh tinggi menghampiri. Membuat gadis itu menghentikan langkahnya dengan serta-merta. Wajah cantiknya yang ceria saat berbicara dengan Fania, tiba-tiba menjadi murung, dan kehilangan ramahnya.
Fania yang mengerti dengan kondisi sang sahabat. Segera berjalan terlebih dahulu menghalanginya,"Apa lo?!" Serangnya pada laki-laki itu. Dia Edgar Pramudya, mantasnnya Dyra.
Edgar menarik napas jengah, Fania selalu saja menghalangi niatnya untuk mendekati Dyra, "Lo bisa enggak sih, enggak usah ikut campur urusan gue?"
Edgar bersidekap d**a, dengan tatapan lekat pada Fania, berharap bisa memberikan kesan intimidasi. Tapi sayangnya, Fania malah menengadahkan wajahnya. Meski tingginya tentu saja jauh berbeda dengan laki-laki itu.
"Dyra itu sahabat gue! Apa pun yang buat dia enggak seneng, maka gue juga harus gitu. Dia enggak suka sama lo! Jadi enggak usah ngarep, kalo gue bakal ijinin lo sama dia!"
Edgar berdecak kesal, "Minggir! Gue enggak mau ngasarin cewek!" Ujar Edgar lebih tegas, hingga membuat Dyra segera menghampiri, ia tidak mau sahabatnya jadi korban gara-gara dirinya.
"Ada apa?" Ujar Dyra dengan malas.
Berhasil!
Edgar menatap gadis juita itu dengan sebuah senyuman, "Nah, gitu dong, dari tadi."
Ia berjalan dengan sedikit mendorong Fania ke samping, agar bisa menemui gadis itu lebih leluasa. Fania berdecak kesal, karena akibat dorongan Edgar barusan. Membuatnya hampir jatuh.
"Dasar koboy kucay!" Serapahnya. Dan hanya mendapatkan lirika saja dari sikorban.
"Gue enggak mau lama, gue mau ke kantin!" Dyra berujar dengan menatap lantai koridor. Dia memang sangat benci pada sosok laki-laki di depannya ini.
"Gue mau minta maaf!" Kata Edgar, terdengar tulus. Tak ayal membuat kedua mata cantik itu mengarah padanya, dan menatapnya selama beberapa detik. Namun berakhir dengan sebuah seringaian. Dyra terkekeh hambar, lantas menggeleng jengah.
"Basi banget!" Ujarnya biasa, namun maknanya cukup membuat Edgar mendengus tidak terima.
Dyra menatap ke arah lain, seolah menatap wajah tampan di depannya adalah hal yang bisa membuatnya mual. Dan Edgar tentu saja tidak terima, oleh prilaku gadis itu yang seakan tidak menghargai dirinya.
Edgar meraih kedua sisi wajah gadis itu, dan diarahkan padanya. Namun Dyra dengan cepat menepiskannya. "Lancang banget sih lo!"
"Lo yang lancang, gue udah ngomong baik-baik!"
"Dan gue enggak mau lo baik-baikin! Sekali buaya! Lo tetep buaya dimata gue! Minggir!" Dyra mendorong Edgar, ia berniat pergi ke kantin. Tapi Edgar malah meraih tangannya, dan membuat gadis itu tidak bisa pergi.
"Lepasin! Gue mau ke kantin!"
"Kita ke kantin bareng!"
"Enggak!"
"Jangan sok jual mahal! Lo sama aja murahan kaya nyokap lo!"
Plakkk!
Sebuah tamparan keras menyapa pipi Edgar. Membuat laki-laki itu terdiam. Fania hanya bisa mematung melihat pertengkaran itu.
"Kalo lo cuma niat mau nyakitin gue! Lebih baik lo enggak usah minta maaf. " gadis itu terlihat gemetar, kedua matanya terlihat memerah. "... lo gak ada hak buat ngehakimin keluarga gue!" Gadis itu menahan airmatanya sekuat tenaga, dia benci b******n itu melihat kelemahannya.
"Lo juga enggak lebih dari gigolo yang kehausan! Miris gue lihat lo!"
Dyra segera memutar dirinya seraya mengusap airmata sialan yang ternyata tumpah tak tertahankan. Padahal Dyra sudah berusaha menahannya. Dyra harus selalu terlihat tegar dimata siapa pun. Dyra adalah gadis kuat dengan segala keceriaannya. Ya ... Dyra selama ini berhasil menyembunyikan semua rasa sakitnya.
Gadis itu dengan terburu-buru berjalan ke arah kantin, bahkan mengabaikan panggilan Fania. Sampai sebuah d**a bidang menabraknya, ketika ia hendak berbelok.
Membuat gadis itu meringis, karena keningnya yang beradu dengan d**a itu, "Ikhs, punya mata enggak sih lo!"
Ketus Dyra, ia segera mundur, dan menengadah melihat siapa yang menabraknya itu. Mendadak kedua mulut bawel itu terdiam. Kedua matanya seolah menyayangkan untuk berkedip. Kedua mata menawan yang indah, ditambah hidung yang mancung, kedua rahang yang tegas, lalu bibir yang ...
"Sudah natapinnya?!" Tegur sitampan dengan sebuah dengusan. Membuat Dyra segera mundur menjauh, dengan dehaman canggung.
Aishh! Gue malu-maluin!
Dyra menggigit bibirnya dan perlahan memutar diri agar bisa segera kabur dari hadapan mahluk tampan itu. Namun ia kembali berbalik, ketika sebuah tangan kokoh menyapa lengannya.
"A-ada apa?" Dyra bertanya, ketika menyadari sitampan itulah pelakunya.
Dyra sudah tahu kalau si tampan itu memang tidak akan bicara, seperti yang pernah ia dengar dari gosip. Dan benar saja, sitampan itu hanya meletakan sebuah sapu tangan di telapak tangannya. "Buat apa?" Tanya Dyra lagi, tapi sekali lagi, laki-laki itu tidak bicara, ia malah pergi setelah menatap kedua matanya beberapa detik membuatnya bingung, karena ternyata kedua mata gelap itu begitu indah.
Mungkin Dyra terlalu percaya diri. Ketika melihat sapu tangan itu berada ditangannya. Tapi, untuk apa laki-laki tampan itu meletakannya di sana?
Dyra kembali menatap punggung tegap yang berbalut jas almamater itu dengan sebuah senyuman.
Calon masa depan gue!
Lalu perlahan dengan malu-malu. Dyra mulai menyeka airmatanya dengan sapu tangan itu.