Berhasil memarkirkan mobil, Dyra segera ber-gegas ke arah recepsionis untuk memperlihatkan tanda pengenalnya. Butuh beberapa menit untuk memastikan, ia pun berhasil masuk menuju di mana kamar sang Ayah di rawat.
Ah, Dyra tidak pernah lupa bagaimana sayangnya sang Ayah ketika beliau masih sehat. Dyra sering di ajak ber-main ke pantai. Di sana mereka selalu ber-main bersama. Dyra sangat suka berlari - lari tidak jelas. Membuat sang Ayah cemas lalu mengejarnya untuk menghentikan kegilaan gadis itu.
"Papah! Dyra pengin bikin istana pasir! Tapi Dyra gak bisa, papah maukan buatin istana pasir?"
Dyra kecil merengek semasih dipangkuan sang Ayah. Tentu saja laki-laki yang telah membesarkannya penuh cinta itu tidak akan membiarkan Dyra kembali berlari tidak jelas dengan telanjang kaki.
Di sana tidak aman. Selain banyak cangkang kerang kering, di sana juga banyak batu kecil, yang mungkin saja bisa melukai kedua kaki kecil itu.
Rino melepaskan sang putri, lalu mengajaknya berjalan pelan ke arah pasir yang basah. Berjongkok dan mulai membuat istana pasir.
Dyra ikut berjongkok di sebelah sang Ayah, dan melihat akivitas yang dilakukannya. Angin bertiup kencang, membuat Dyra mengusap rambutnya pelan ke arah belakang.
"Papah sejak kapan bisa bikin istana pasir?" terdengar suara menggemaskan Dyra kecil bertanya. Rino menoleh sambil mencium gemas pipi cabi putri semata wayangnya itu.
"Sejak kecil seperti kamu."
Dyra tersenyum, dengan ekspressi kagum pada kedua tangan sang Ayah yang terlihat piawai membuat istana pasir tersebut.
Sesekali tangan mungilnya ikut beraktivitas mengikuti pergerakan sang Ayah, membuat Ayahnya gemas, dan meraih tangan mungil itu lalu menciumnya.
Dyra kecil terkikik geli, lalu memeluk sang ayah dari samping.
"Dyra sayang papah! Dyra enggak mau tinggal sama mamah! Dyra mau sama papah!"
Ketika itu, kedua orang tuanya Dyra memang sudah tidak baik-baik saja. Rino ini terlahir dari keluarga yang biasa saja. Sedangkan Mamahnya orang kaya raya dengan perusahaan di mana-mana.
Sehingga, ketika Dyra lahir. Rino diusir dari rumahnya Dyra. Rino memang tinggal di rumah besar milik orang tuanya Melva, atau neneknya Dyra. Melva menolak ketika Rino mengajaknya pindah ke rumah kecil milik Rino. Alasannya, Melva sedang hamil, tidak ada yang menemaninya di rumah ketika Rino kerja di Restoran. Dan setelah itu, Rino tinggal di rumah kecilnya. Beruntungnya Mamahnya Dyra tidak pernah melarang gadis itu untuk pergi menemui sang Ayah.
Dukkk!
Lamunan Dyra buyar seketika, ketika bertabrakan dengan seorang laki-laki yang memakai jas resmi di belokan. Dyra mundur dan menunduk penuh hormat.
"Maafkan saya Om, enggak sengaja."
"Lho, Dyra ya?"
Mendengar suara familiar itu. Dyra mengangkat wajahnya, "Om Langit?"
Dyra terlihat sumringah. Langit ini adalah pemilik Restoran di mana Ayahnya kerja dulu. Ah, Dyra tidak pernah lupa bagaimana baiknya Om Langit, dan Tante Anggia. Mereka selalu memberikan makanan gratis kalau Dyra selalu datang ke sana untuk menghampiri sang Ayah ketika bekerja.
Kebetulan sekali, Restoran Om Langit ini tidak jauh dari rumah kecil Ayahnya. Sehingga, Dyra suka main ke sana dan mengobrol banyak dengan Om Langit dan Tante Anggia.
"Apa kabar Om?"
Langit perlahan maju dan memeluk gadis itu sebentar. "Om sangat baik. Wah, kamu sudah besar ya? Om bahkan sampai tidak mengenali kamu."
Dyra terkekeh, "Iya, Om. Sudah lama sekali. Dyra juga sudah lama enggak pernah makan gratis lagi di Restorannya Om."
Terdengar lucu, sehingga Langit terkekeh gemas. "Ya udah, kamu datang aja ke Restoran, ya... ditunggu sama Tante Anggia. Kamu masih ingetkan sama Tante Anggia?"
"Masih Om, nanti deh Dyra ke sana. Alamatnya masih sama kan Om?"
Langit mengangguk. "Ok, Om mau ke kantor dulu. Ini kartu nama Om, ada nomor Om, mungkin kamu butuh bantuan Om. Kamu hubungi aja, Oh, ya. Gimana kabarnya Papahnya kamu?"
Sejenak Dyra terdiam. Lalu... "Papah baik-baik aja, Om."
"Terus kamu ngapain ke sini?"
Dyra menggaruk kepalanya yang tidak gatal. "Mau nengok temen, Om."
Langit mengangguk, "Ok, Om tinggal dulu ya?" Dyra mengangguk, lalu Langit pun pergi setelah menyunggingkan senyum hangatnya.
***
Ruang rawat Ayahnya terletak di kamar yang agak ujung. Dyra berjalan tergesa agar bisa segera bertemu dengan sang Ayah.
Namun sebelum jauh melangkah, Dyra mendengar percakapan se-pasang laki-laki dan perempuan.
"Lo enggak mau tanggung jawab?"
"Mana gue tau itu anak siapa? Sebelum sama gue, mungkin aja lo udah hubungan sama cowok lain"
Plakkk!
Sebuah tamparan kuat terdengar, "Lo jangan lupa, siapa yang maksa gue ngelakuin hal gila itu! Lo yang maksa gue!"
"Kalau lo ngerasa gue salah, kenapa lo mau?"
Hening!
Dyra penasaran, ia mengintip sedikit. Ia melihat seorang gadis membelakanginya dengan punggung terguncang. Lalu laki-laki yang memakai seragam rumah sakit di depannya. Sejenak Dyra mengernyit, ia merasa pernah melihat laki-laki itu.
"Gue enggak nyangka lo bakal sejahat ini, Ram.... gue cinta sama lo... gue..."
"Gugurkan saja! Dan lo pergi dari sini, gue muak liat muka lo! Gara-gara Adik lo, gue masuk rumah sakit."
Rasanya kesal, kalimat laki-laki itu terdengar sangat kurang ajar. Dyra tiba-tiba keluar dan dengan gerakan cepat mendorong laki-laki itu hingga tersungkur.
Menendangnya secara membabibuta, membuat laki-laki itu mengerang.
"Dasar gila! Mati aja lo! Gue sumpahin lo bakal enggak punya jodoh seumur hidup! Mati lo!"
Serapahan Dyra cukup membuat perempuan yang berada di depannya segera menarik gadis itu. "Aduh! Udah hentiin! Dia lagi sakit!"
Dyra menepis tangan perempuan itu cepat. "Dia harus dikasih pelajaran! Biar mati sekalian!"
Gadis itu terus menendang si laki-laki. Sampai kedua lengan kekar menyapa dan melingkari pingganggnya erat, menarik gadis itu menjauh. Meski tangan Dyra tetap menjambak rambut korbannya dengan bringas. Membuat sipemilik kedua lengan kekar itu kewalahan, dan menariknya lebih kuat lagi.
Dyra yang kaget, mencoba melepaskan dirinya yang terasa melayang ke arah koridor.
"Eh, lepasin! Siapa sih lo?!"
Teriakannya terdengar menggema. Namun tangan kekar itu masih membawanya ke arah luar rumah sakit, dengan perempuan yang menangis tadi mengikuti dari belakang.
"Gue mau hajar dia! Dia kurang ajar! Bila perlu gue bunuh dia!"
Dyra terus mengoceh, sampai kedua tangan kekar itu melepaskannya setelah mereka sampai diparkiran. Dyra menarik napas lega, dan menatap pemilik kedua lengan kekar itu. Hampir saja ia mengumpat, namun mulutnya merapat seketika ketika tahu siapa pemilik tangan kekar itu.
"Dewa?"
Dan laki-laki tampan itu hanya menatapnya saja. Melirik ke arah perempuan di samping Dewa, Dyra meringis.
"Maaf, pacarnya gue bikin babak belur?" ucapnya polos, membuat Dewa mengalihkan tatapannya ke arah lain, lebih tepatnya ingin menyembunyikan senyum gelinya.
Dan Ratu, ia terenyum sumringah. Lalu mendekat. "Kalian saling kenal?" Ratu melirik Dewa dan Dyra.
Dyra mengangguk pelan. "Kami satu sekolah."
Ratu tersenyum penuh arti, membuat Dewa berdecak kesal. Ia yakin sekali Kakaknya itu akan membuat gosip baru antara dirinya dan Dyra. Sial saja, kenapa Dewa harus bertemu Dyra di sini.
"Ah, gue jadi punya temen dong, nanti lo maen ke rumah gue ya? Pokoknya 24 jam pintu rumah gue terbuka buat lo."
Lihat, Kakaknya memang sangat menyebalkan. Baru kenal, sudah berani mengundang orang ke rumah. Dewa hanya menggeleng frustrasi saja.
"Ayo pulang!" Dewa menarik Ratu, membuat gadis itu menepisnya. Ia kembali menatap Dyra. "Gue kakaknya Dewa, eh, sini ponsel lo."
Dyra menyodorkannya. Membuat Ratu segera meraih dan menuliskan nomornya di sana.
"Itu nomor gue, nanti chat gue ya?" Dyra hanya mengangguk, seraya meraih ponselnya kembali.
"Sudah?" Dewa bertanya, membuat Ratu cemberut. "Bentaran ih, lo jadi adek enggak pengertian dikit."
Dan Dewa hanya menarik napas dalam. Dyra sempat melirik ke arahnya, kenapa rasanya kesal ketika melihat sikap Dewa yang seolah ingin menghindar darinya. Padahalkan Dyra tidak akan mengganggunya, Dyra juga tidak akan meminta buat diantar pulang.
"Ya udah, gue mau ke dalem dulu, Kak." Dyra memilih segera undur diri, dari pada terus-menerus melihat sikap Dewa yang cukup menyesakan itu.
Ratu melirik Dewa kesal, "Lo sih, kan gue masih pengin ngobrol!" selesai dengan Adik menyebalkan itu, ia kembali menatap Dyra. "Pokoknya nanti kita ngobrol ya?"
Dyra mengangguk, ia segera berbalik. Tak ingin lagi menatap laki-laki dingin yang tidak berhati itu. Besok pokoknya Dyra mau minta putus aja, pasti Dewa akan mengiyakannya.
Dasar cowok sok! Untung ganteng, kalau enggak, udah gue sleding kaya pacarnya Kak Ratu.
Dengan amarah membludak dalam hati. Dyra terus melangkah, ketika sebuah tangan menyapa. Membuat Dyra kembali menoleh.
"De-dewa?"
Yang disebut hanya menarik napas dalam, menatap lekat wajahnya lebih dalam.
"Bukannya lo nganterin Kakak lo?"
Dewa mengalihkan tatapannya ke arah lain, "Tadi ngapain?"
Mengingat kelakuan bar-barnya, Dyra hanya meringis dan menunduk dalam.
Dewa pasti ilfill sama gue.
"Gue kesel aja."
Dewa menunduk, meneliti wajahnya Dyra yang terlihat merona. Berkali-kali ia menahan bibirnya agar tidak tersenyum. Sialan saja, wajah wajah gadis itu imut saat malu seperti itu.
"Bikin malu aja!"
Dyra perlahan mengangkat wajahnya. "Gue enggak suka sama cowok yang enggak tanggung jawab! Dia itu gila! Harusnya lo jeblosin dia ke penjara! Masa lo tega biarin Kak Ratu digituin?"
Hening!
Sialan, Dyra sudah engos-engosan dengan emosinya. Dewa hanya menanggapi itu dengan tenang dan tatapan teduhnya. Membuat Dyra kesal dan memutar diri untuk pergi. Tapi entah ada apa dengan laki-laki itu. Karena sekali lagi dia menahannya, membuat Dyra kembali memutar diri dengan berdecak kesal.
"Ap--"
Serta merta kalimat itu hilang ditenggorokannya, ketika melihat pergerakan Dewa yang mengusap rambutnya, lalu diikat dengan hati-hati sampai rapi. Membuat Dyra menegang menahan napasnya.
"Rambutnya berantakan, jangan sampai orang ngira lo tuh kuntilanak yang masuk rumah sakit disiang hari!"