CHAPTER DUA PULUH ENAM : An Offering From Rheinara

1717 Words
               Sejak tadi malam hingga pagi ini, pesan teks yang dikirimkan oleh Marshanda kepada Devanno hanya bertanda dua alias terkirim, tetapi jelas belum dibaca. Tadi malam juga Devanno tidak menghubunginya.                Marshanda berusaha menepis selintas keresahan di hatinya.                “Ah, mungkin dia sibuk. Sudah, nggak apa. Aku sendiri juga banyak kerjaan hari ini,” kata Marshanda lirih dan menyalakan laptopnya. Disingkirkannya pikiran negatif yang menggoda.                Selagi menanti laptopnya loading, Marshanda terkenang betapa selama keberadaannya di Penang, bukan hanya Devanno yang rutin menghubunginya melalui video call, sesekali Bu Grizelle turut pula menanyakan kabarnya.                Dan setiap kali menghubungi Marshanda, Bu Grizelle mencerewetinya dengan berbagai pesan agar dia selalu menjaga kesehatan dan memperhatikan asupan gizi yang baik. Seakan pesan seorang mertua yang mengetahui menantu perempuannya tengah mengandung calon cucunya. Dan, ujung-ujungnya sudah pasti, Bu Grizelle akan bertanya kapan pekerjaannya di Penang tuntas. Sungguh bahasan monoton yang mengundang rasa jemu. Sekaligus menambah beban pikiran Marshanda saja.                Ada kalanya kedamaian hati Marshanda terusik, memikirkan kendala waktu yang dialaminya dalam menjalani hubungan jarak jauh dengan Devanno. Marshanda sadar, itu cukup berat bagi mereka berdua, apalagi saat ini kepadatan kerja Devanno tengah berada di puncaknya. Dia dapat mengerti kesibukan Devanno yang belum sempat mengunjunginya pada akhir pekan. Marshanda juga menimbang, sekalipun Devanno memaksakan diri ke Penang, kemungkinan takkan setimpal waktu yang dihabiskan di perjalanan dibandingkan singkatnya pertemuan mereka berdua.                Ya, ternyata urusan di kantor Penang ini lebih dari sekadar rumit.                Sementara Barry yang menangani urusan pekerjaan lebih detail malah sementara dibebastugaskan dari pekerjaannya di Jakarta. Sejauh ini, Barry baru pulang dua kali ke Jakarta atas tanggungan perusahaan. Itu pun masing-masing hanya selama tiga hari. Yang sedikit menghibur Marshanda, Chiko mendadak menunjukkan kemampuan terbaiknya, dapat mengambil porsi besar menangani pekerjaan yang ditinggalkan oleh Barry di Jakarta. Sedangkan sisanya, dibagi antara Mathilda dan Stella.                Marshanda sudah mengantisipasi kemungkinan terburuk, di awal hingga pertengahan bulan keempat, bisa jadi dia takkan kembali ke Jakarta barang sehari pun. Tanpa dikehendakinya, terkadang dia sedikit mengabaikan hubungannya dengan Devanno. Hal yang berpotensi membuat hubungan mereka dapat berangsur dingin.                Namun di balik semua itu, setidaknya ada satu hal yang disyukurioleh Marshanda. Rutinitas pulang dan pergi ke kantor dalam kendaraan yang sama dengan Rheinara, sedikit banyak membawa kebaikan bagi Marshanda. Perlahan-lahan, Marshanda menemukan celah untuk mengadakan pendekatan secara personal dengan Rheinara. Usahanya sepertinya bersambut. Rheinara tergerak, mulai membuka diri.                Siang ini seusai makan siang bersama, Rheinara sengaja mendatangi Marshanda di ruangannya. Hal yang agak aneh, mengingat Rheinara yang merasa ‘orang lama’ itu lebih suka mengundang orang ke ruangan kerjanya, bukannya tebalik, menghampiri mereka.                Marshanda yang sedang membaca email, melihat bayangan di ambang pintu ruangan dan menengadahkan kepala.                “Hei, Rhein, ada apa? Masuk, masuk!” kata Marshanda ramah.                 Rheinara tersenyum.                “Duduk Rhein,” kata Marshanda kemudian.                “Nggak usah, aku cuma sebentar,” Rheinara melayangkan pandangan ke segenap ruangan kerja Marshanda. Ruangan kerja yang kecil, dan tentu saja tidak sebanding dengan ruangan kerjanya. Terang saja, ini kan hanya ruangan kerja yang basa dipakai oleh akuntan publik kalau mereka datang, dulu. Jadi ya, dapat dikatakan, seadanya.                “Oh, oke, senyamannya kamu,” sahut Marshanda.                “Gini Marsha, kalau misalnya kamu enggak nyaman tinggal satu unit dengan Barry walaupun beda kamar, sebaiknya kamu pindah saja ke unitku. Aku kan sudah beberapa bulan tinggal sendiri. Sejak Azizah, si Manager Akunting itu mengundurkan diri dari Modern Electronics,” ucap Rheinara.                Marshanda nyaris tak percaya mendengarnya. Namun membaca gelagat bahwa Rheinara belum tuntas menyampaikan maksud kedatangannya, Marshanda memilih menyimak dalam diam.                 “Kalau ada hal-hal sehubungan pekerjaan yang biasa kamu diskusikan sama Barryseperti sekarang-sekarang ini, kan kamu bisa mendatangi unitnya, atau sebaliknya,suruh saja Barry yang datang ke unitku. Toh, unit kita sebelahan. Ya, siapa tahu penggantinya Azizah nanti berdomisili di Penang, jadi enggak perlu tinggal di apartemen, kan,” usul Rheinara.                Mendengar kalimat Rheinara yang di bagian ini, Marshanda tak dapat memungkiri, tersirat keberatan Rheinara berbagi tempat dengan siapapun pengganti Azizah nanti.                Marshanda paham sepenuhnya, Rheinara merupakan orang yang paling lama mengabdi di perusahaan dan merasa dirinya sangat didengarkan oleh jajaran manajemen selama ini. Karenanya dia mahfum apabila Rheinara ingin selalu diistimewakan serta diakui eksistensinya. Hal yang agak aneh adalah ajakan Rheinara untuk tinggal dalam unit apartemen yang sama, sementara Rheinara juga tahu, dia bakal lama mengurai benang kusut ini. Marshanda berusaha mencernanya perlahan.                Dia tak hendak menampik, dirinya sungguh tergelitik memikirkan penawaran menarik dari Rheinara. Jauh di lubuk hatinya, Marshanda ingin tahu alasan sesungguhnya di balik penawaran Rheinara yang malah menjadi solusi yang diperlukannya sekarang. Namun pikiran positifnya menegurnya untuk tidak berprasangka buruk pada Rheinara.                Sebelum Rheinara berubah pikiran, Marshanda memilih secepatnya berterima kasih pada Rheinara. Sebab dengan pindah ke unit Rheinara, dia akan terbebas dari rasa kurang nyaman yang menderanya seminggu terakhir ini lantaran terpaksa tinggal di unit apartemen yang sama dengan Barry, meski berbeda kamar. Ya, tinggal lama di Singapura yang lebih terbuka tak serta merta membuatnya dapat menerima harus tinggal berduaan dengan seseorang lelaki yang bukan suaminya dalam apartemen yang sama. Apalagi, ada perasaan seseorang yang harus dijaga baik-baik olehnya, di Jakarta sana.                Marshanda lantas mengingat-ingat, selain mes karyawan, perusahaan menyediakan fasilitas apartemen untuk jenjang Manager ke atas. Khususnya bagi yang berasal dari luar Penang.                Entah bagaimana pengaturannya, para Manager yang laki-laki tinggal di dua unit apartemen dengan empat kamar tidur dari perusahaan. Letak apartemen tersebut tak jauh dari mes perusahaan. Padahal, jumlah mereka ada lima, meskipun salah seorang di antaranya mempunyai rumah di Kedah. Artinya, ada satu orang yang entah tidur di sofa, ataukah ada yang terpaksa menempati satu kamar berdua. Ataukah, yang satu orang itu tidak setiap hari menginap di apartemen karena mempunyai rumah di Kedah? Entahlah, Marshanda pun tak tahu pasti dan tidak ingin mengorek keterangan lebih jauh karena menganggap hal itu tidak berhubungan dengan urusan benang kusut yang mesti ia urai.                Sedangkan Rheinara, dari dulu memilih sendiri apartemen yang letaknya mengarah ke keramaian. Kabarnya, dulu dia sempat berkeras minta disediakan yang tipe studio untuk memastikan dapat menempatinya sendiri. Apa daya, usulannya ditolak oleh pihak management. Alhasil, perusahaan menyediakan satu unit apartemen dengan dua kamar tidur.                 Jadilah ketika Azizah yang anak rantau itu bergabung dengan Modern Electronics, dia ditempatkan satu unit apartemen dengan Rheinara. Saat Azizah mengundurkan diri, Rheinara lekas menegaskan tak mau berbagi unit dengan siapapun, kecuali dengan pengganti Azizah kelak. Tentu saja Marshanda tidak termasuk dalam perkecualian.                Artinya, perusahaan terpaksa menyewa satu unit baru dan menempatkan Barry serta Marshanda dalam satu unit apartemen. Sebab tak mungkin menempatkan Barry di unit untuk Manager laki-laki. Sudah terlalu banyak orang di sana.                Pengaturan yang sebetulnya ingin dirahasiakan Marshanda demi menjaga perasaan Devanno. Juga rasa kurang sreg di hatinya. Namun, di kala Marshanda berada di Jakarta dan Devanno bertanya, toh Marshanda sulit untuk menutupi kenyataan itu. Dan, mendapati pandangan protes Devanno saja, Marshanda sudah merasa tersudut. Segera saja, percakapan dengan sang kekasih sebulan lalu, terngiang-ngiang ditelinga Marshanda.                -          Kilas Balik –                “Deva, kamu nggak berpikiran macam-macam, kan? Sebulan pertama kami masing-masing tinggal di hotel. Lalu sejak awal bulan kedua, Barry tinggal di mes karyawan. Dia butuh banyak data costing dan tempatnya itu bisa ditempuh berjalan kaki 3-4 menit ke pabrik. Tapi kan, nggak mungkin perusahaan harus terus-terusan borosin dana untuk bayar kamar hotel buatku kalau selanjutnya dalam sebulan keberadaanku bisa lebih dari tiga minggu? Lagi pula, kasihan kalau Barry tinggal lebih lama di mes. Pasti kurang nyaman lah, di samping jenuh. Kan, mesnya itu lumayan jauh dari keramaian. Data yang diperlukannya juga sudah memadai. Kebetulan, ada unit apartemen yang kosong. Jadi bulan depan, kami akan menempati unit itu,” urai Marshanda.                 “Barry itu timku. Dia segan sekali padaku. Aku pastikan, kami berdua profesional, kok. Aku bisa jaga sikap, jaga diri, dan mustahil terlibat hubungan lain kecuali pekerjaan. Dengan siapa pun di perusahaan ini. Itu prinsipku, Dev. Lagian, aku kan nggak di sana sepanjang waktu. Melainkan bolak-balik Jakarta-Penang. Rheinara ngotot, Deva, ogah kasih kamar yang dulu dipakai sama Azizah,” tambah Marshanda.                Devanno hanya mendengus kesal sebagai jawabannya.                Marshanda memergoki, wajah sang kekasih terlihat menegang.                Marshanda merasa makin bersalah jadinya. Ditatapnya secara intens kekasih hatinya itu.                “Dev, jangan begini! Please say something! Bukannya kita sudah sepakat, memanfaatkan keterbatasan waktu kita dengan komunikasi yang berkualitas? Kita lagi terpaksa menjalani el-de-er, Dev!” bujuk Marshanda dengan nada rendah.                Devanno menatap Marshanda sekilas dan berkata, “Marsha, ada seorang laki-laki yang mendengar pacarnya akan tinggal satu atap dengan seorang lelaki. Bahkan tinggal satu atap dengan dirinya saja tidak pernah! Dan, pacarnya hanya tinggal berdua sama lelaki itu. Siang malam mereka bertemu. Kira-kira apa yang kamu ingin dengar dari dia? Apa yang harus dia katakan kalau Mamanya yang masih konservatif itu sampai tahu?”                                                                                                                                                                  ^* Lucy Liestiyo *^
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD