Marshanda diam sesaat sebelum menjawab, “Eng..., sejujurnya, aku nggak punya jawaban pasti Bi. Soalnya rencana kerjaku meleset. Ini Sabtu Minggu pun harus dibela-belain nguber kerjaan biar cepat tuntas. Sudahlah. Nggak penting ngomongin itu. Balik ke urusanmu tadi. Apa yang bikin kamu bingung campur galau begitu?”
Marshanda memang tidak mengada-ada. Ia menjawab yang sejujurnya. Kesibukan dirinya di Penang ternyata lebih lama dari perkiraannya semula. Bila semula Marshanda merencanakan paling lama tiga bulan pekerjaannya akan rampung sepenuhnya, kini dia mulai dilanda keraguan. Marshanda mendapati, Rheinara bukanlah orang yang mudah diajak bekerja sama. Malah, bila memakai kalimat lebih sadis, “Rheinara is not a good team player” juga tidak berlebihan. Cukup sulit bagi Marshanda untuk membentuk tim baru yang tangguh untuk bekerja sama dengan Rheinara.
Bila di bulan pertama Marshanda masih dapat berkantor selama lebih dari tiga minggu di Jakarta dan selebihnya di Penang, memasuki bulan kedua Marshanda hanya dapat berkantor selama dua minggu di Jakarta. Di bulan ketiga ini, bertepatan dengan teratasinya urusan pembiayaan untuk pengalihan saham serta operasional perusahaan, Marshanda memutuskan untuk mengalokasikan waktu lebih banyak lagi di Penang, demi dapat berfokus penuh pada urusan pembenahan di sini. Dia memutuskan hanya akan dia berada di Jakarta satu minggu saja, sedangkan selebihnya di Penang. Lelah? Tentu saja. Bukan hanya raganya, tetapi pikiran serta batinnya. Masih beruntung dia mempunyai kekasih yang memiliki rasa pengertian yang tinggi kepadanya, Devanno.
Bahu Bianca seolah melemas mendengarkan keterangan Marshanda. Pasalnya, sepanjang dirinya mengenal sosok Marshanda, ia paham benar betapa Marshanda jarang mengeluh. Di matanya, Marshanda mempunyai rasa optimis yang tinggi.
‘Tapi, barusan itu? Dia sampai ngucap begitu. Tuh kan, dia sibuk lagi. Kerjaannya yang sekarang ini kayaknya jauh lebih ribet ketimbang kerjaannya yang dulu. Jadi nggak tega mau ganggu dia. Padahal selain kepengen minta pendapat dia soal permintaan Michael, aku sebenarnya berharap, dia bukan sekadar datang di hari pernikahan kami kelak, tapi juga sekaligus menjadi panitia. Iya, lah, Marshanda itu bukan orang lain buatku. Kan aku pikir, Surabaya dengan Jakarta nggak jauh-jauh amat. Tapi ternyata? Wah kalau begini, aku malah takut dia berhalangan datang di hari ‘ha’ nanti,’ batin Bianca resah.
“Bianca..,” panggil Marshanda.
“Eh.., iya Sha..,” Bianca agak tersentak mendengar Marshanda memanggilnya dengan suara lumayan keras. Gadis itu langsung tersadar, ia telah menyia-nyiakan waktu Marshanda yang amat berharga.
“Jadi apa sebenarnya, yang menjadi pergumulan hatimu sekarang ini?” tanya Marshanda. Kali ini straight to the point.
Seketika, Bianca mencoba melupakan keinginannya untuk merepotkan Marshanda dalam persiapan acara lamaran resmi dari Michael saja. Ia juga terpaksa mengurungkan niatnya untuk ‘memasang’ sahabat lamanya itu, minima sebagai perwakilan keluarga untuk menerima tamu, di hari besarnya kelak. Tidak, dia tidak berani berpikir sejauh itu.
“Sha, aku kepengen minta pendapatmu soal..,” Bianca mengambil jeda sesaat.
“Iya?” kejar Marshanda.
Tersirat ketergesaan dalam nada suaranya.
Bianca pun tahu diri. Dia tidak ingin berlarut-larut mengirimkan suasana drama. Dia tahu, semestinya dia menyampaikan kegelisahannya secara lugas.
“Sha, Michael memintaku mempertimbangkan buat berhenti bekerja dan membantu usahanya saja. Memang bukan sekarang, tapi nanti, setelah kami resmi menikah,” ucap Bianca.
“Oh, ya?” timpal Marshanda. Dia ingat benar, perjalanan karir Bianca di perusahaan tempatnya berkarir sekarang juga tidak dapat dikatakan mudah. Sewaktu menjadi teman sekamarnya dulu, gadis itu bahkan pernah mengalami rotasi pekerjaan beberapa kali.
‘Kenapa kelihatannya dia begitu berat melepas pekerjaannya?’ pikir Marshanda.
“Ya aku nggak ragu sih, dengan prospek dari usahanya. Terlebih dia itu juga seorang motivator. Iya, saat gathering perusahaan tempatku berkerja dulu, dia kan datang juga sebagai undangan, sebagai pembicara. Tapi.., buat membayangkan aku harus meninggalkan pekerjaan ini, rasanya kok berat ya Sha. Kan boleh dibilang, aku ini baru tahun lalu, benar-benar merasa, ini sih, pekerjaan yang cocok buatku. Kamu tahu kan, bagaimana aku dulu? Dipindah-pindah ke sana kemari, seolah pekerjaanku nggak cukup bagus. Tapi hanya butuh penyesuaian beberapa bulan di pekerjaan yang sekarang, aku merasa enjoy. Dan seingatku, nggak ada keluhan berarti lho, dari atasan atau kolegaku. Jadi rasanya..,” ucap Bianca.
“Aku ngerti, Bi,” sahut Marshanda mahfum.
Seolah-olah, Marshanda juga menujukan kalimatnya itu kepada dirinya sendiri. Ya, memangnya Devanno tidak keberatan, dengan hubungan jarak jauh yang terpaksa mereka jalani sekarang? Itu gara-gara apa kalau bukan perkara karirnya Marshanda?
“Menurutmu bagaimana, Sha?” tanya Bianca lagi.
“Bi, aku takut salah ngomong sebetulnya. Tapi kadang-kadang, kita memang nggak bisa mengambil dua hal yang sama bagus sekaligus. Kalau misalnya aku jadi kamu, ya tentu, aku akan melakukan apa yang kamu lakukan sekarang, membawa dalam doa, meminta hikmat sebelum memutuskan. Nah, jawaban Tuhan atas doanya kita itu kan time line-nya nggak bisa persis sama dengan kemauan kita. Yang penting Bi, lebih peka saja. Kamu yang lebih tahu, sejauh mana pekerjaan ini penting buatmu. Kamu juga yang jauh lebih tahu, impianmu dengan Michael itu seperti apa. Kamu toh masih bisa membicarakan semua dengan Michael. Ya aku nggak tahu, apakah dengan jalan tengah atau bagaimana. Yang jelas, aku berharap yang terbaik buatmu, buat kalian. Aku ikut bawa pergumulan hati kamu ini dalam doa ya, Bi,” kata Marshanda kemudian.
Uraian Marshanda yang demikian panjang, begitu menyentuh perasaan Bianca.
“Thanks, Sha. kamu itu memang sahabat terbaik. Nggak tahu kenapa, kalau ngomong sama kamu, aku merasa mendapatkan pencerahan,” puji Bianca tulus.
Marshanda berdecak.
“Lebay nih,calon pengantin. Biasa aja kok. Kamu kan juga sering kasih aku pandangan. Kan kamu yang sering bilang, kalau kita sedang memikirkan permasalahan, kadang kita sampai lupa sama solusinya karena fokusnya tertuju ke masalahnya terus. Sementara kalau kita bertanya kepda orang lain, akan lebih obyektif, karena mereka melihat dari sisi luar,” kata Marshanda.
Saat itu, kembali pesawat telepon di meja Marshanda berbunyi.
Bianca menelan ludah. Dia mengakui kebenaran kata-kata Marshanda. Ah! Betapa ingin dia terbang ke Penang saat ini, dan bertemu langsung dengan Marshanda. Baru bicara sebentar dengan Marshanda saja, rasanya hatinya sudah tersapa kesejukan. Namun untuk mengharap lebih banyak dari itu, Bianca tidak berani. Apalagi dering pesawat telepon barusan juga mengusiknya. Karenanya, sebelum terlupa dia buru-buru menyampaikan ganjalan lain di hatinya.
“Sha, aku tahu kamu sibuk dan aku nggak mau mengganggu kamu lebih lama lagi. Tapi aku mau kamu ingat, Sha, hidupmu harus seimbang ya. Jangan kerja melulu terus keenakan dan lupa membuka hati. Sha, janji ya, satu hal ini ke aku. Seperti aku menerima cintanya Michael dan bahkan menjalani hubungan yang serius, aku mau kamu buka hati, itu dulu langkah pertama. Ya, Sha? Sediakan waktu buat kehidupan personalmu. Sambut cinta yang datang kepadamu. Aku tunggu kabar baiknya ya, kamu ‘jalan’ sama siapa begitu. Sekali lagi, terima kasih. Sudah, kamu balik kerja lagi deh, God bless you, Sha. Bye for now,” ucap Bianca, lantas mengakhiri komunikasi melalui telepon itu. Ia begitu tergesa, sampai berlaku kurang sopan, tak memberi kesempatan bagi Marshanda untuk menyahutinya. Ia hanya merasa kasihan kepada Marshanda, dan menurut pemikirannya, semakin lama dia berbicara melalui telepon begini, akan semakin banyak waktu Marshanda yang tersita olehnya.
Marshanda mesem kecil.
'Sudah, Bi. Aku sudah membuka hatiku. Dan ya, aku tetap membawa hubungan kami ini ke dalam doa tentunya. Nanti ada waktunya Bi, untuk aku bercerita,’ batin Marshanda, lalu menjawab panggilan telepon untuknya. Dia tak hendak menutup mata, sejalan dengan penempatannya di Penang ini, ada kerikil-kerikil dalam komunikasinya dengan Devanno.
LL