CHAPTER SATU : Conversation (1)
Pintu lift terbuka lebar di lantai dasar gedung perkantoran yang berposisi paling pojok itu. Marshanda keluar bersama sejumlah penumpang lift lainnya. Di sebelahnya, Pak Hartono, diam-diam memperhatikan langkah Marshanda yang mantap serta menggambarkan rasa percaya diri itu.
Dengan tangan kanannya, Marshanda membenarkan letak tas kerja wanita berwarna hitam pekat yang tersampir di bahu kirinya, lantaran tangan kirinya yang menenteng tas laptop itu, tak mungkin melakukannya. Pada menit berikutnya, Marshanda melirik arloji yang melingkari pergelangan tangan kirinya. Waktu telah menunjukkan pukul 16.55 wib saat ini. Karenanya, gadis itu berpikir, pasti hanya akan membuang waktu di jalan jika dia memaksakan diri untuk kembali ke kantornya yang letaknya lumayan jauh dari sini. Gerakannya itu tak luput dari perhatian Pak Hartono Pramudya, Direktur Keuangannya yang notabene merupakan atasan langsung Marshanda di Modern Electronics, grup perusahaan di mana mereka berdua berkarya.
“Marsha, sekalian saja pulang sama saya. Nanti saya suruh supir untuk mengantar kamu lebih dulu,” kata Pak Hartono sembari menatap paras Marshanda.
Saat Marshanda memalingkan wajah dan membalas tatapan Pak Hartono, nyaris kegugupan melanda pria yang usianya telah melewati pertengahan kepala empat itu. Alangkah bertolak belakangnya sikapnya ini bila dibandingkan dengan pertanyaan serta pernyataan lugasnya dalam diskusi bersama Akuntan Publik di lantai 12, beberapa saat sebelumnya.
Seolah, ada jaring pesona yang baru saja ditebarkan oleh Marshanda melalui tatapan matanya, dan membuat Pak Hartono mati gaya. Beruntung, Pak Hartono lekas menguasai kegugupannya, betapa pun dia tidak hendak menyangkal, Marshanda ini sangat menarik. Ya, menarik. Faktanya, Marshanda bukan hanya kecerdasan otak gadis itu yang mengagumkan, namun visualnya pun amat patut diperhitungkan. Jenis visual yang akan membuat para pria menoleh sekurangnya dua kali.
Lihat saja sekarang, dalam balutan busana kerja saja, Marshanda tidak kehilangan pesonanya. Tanpa harus menjadi korban mode, sepertinya gadis itu cukup peduli dengan yang namanya penampilan. Blazer biru tua dipadu dengan celana panjang 7/8 berwarna senada yang dikenakan oleh Marshanda terlihat amat serasi dengan high heel yang menopang kaki jenjangnya. Sekilas, Pak Hartono tergoda memusatkan perhatiannya pada tungkai indah gadis itu. Aksiyang wajar dari seorang laki-laki penyuka keindahan.
“Tidak usah, Pak Hartono. Terima kasih sebelumnya. Gampang, saya naik taksi saja pulangnya,” tolak Marshanda di antara ayunan langkah kakinya. Tampaknya, gadis itu tak sempat memergoki pandangan mata Pak Hartono ke arah tungkainya, sekian detik lalu. Atau bisa juga dia melihat namun memutukan tidak mempedulikannya.
Mendapat penolakan macam ini, Pak Hartono tak seketika patah arang. Ia menjejeri langkah Marshanda, sesekali mengerling ke samping, tanpa setahu gadis itu. Semua ia lakukan secara hati-hati untuk menjaga image-nya sebagai atasan Marshanda.
“Marsha, sekarang jam pulang kerja loh. Rasanya agak susah kalau kamu mencari taksi di sini. Apalagi hari Jumat begini. Waktunya orang mau pada hang out. Sementara orang kantoran juga mau cepat-cepat pulang karena sudah sumpek bekerja seminggu penuh. Sudah, nggak perlu sungkan macam itu. Saya juga nggak kembali ke kantor lagi, kok,” kata Pak Hartono dengan nada persuasif yang tiada duanya.
Marsha menggeleng dan memberikan alasan, “Terima kasih, Pak Hartono. Sungguh, tidak usah. Kebetulan saya mau singgah dulu ke rumah rekan saya, mumpung sedang berada di daerah sini.” Kalimat yang tegas lagi serius, sebagaimana kesan sehari-hari yang melekat pada sosok Marshanda.
Pak Hartono terpaksa manggut kecil mendengarnya. Dia menangkap isyarat penolakan halus disertai dengan alasan logis, disampaikan melalui kalimat yang dipastikannya, telah ditata baik-baik oleh Marshanda. Ini tentunya menguatkan kesan yang didapatnya tentang Marshanda semenjak hari pertama gadis itu masuk kerja di kantor mereka. Profesional, fokus, dan persisten. Tiga hal yang membuat Pak Hartono tak pernah ragu memberikan banyak tantangan berarti untuk menguji sampai di mana kebolehan Marshanda menangani masalah.
'Sayangnya, hal-hal itu pula yang hingga kini menghalangi aku untuk mengharapkan hubungan yang lebih dari sekadar atasan dengan bawahan,’ pikir Pak Hartono yang kembali tergoda mengerling ke wajah Marshanda. Ada sebersit rasa kecewa yang berusaha ditepisnya. Pikirnya, terlampau awal untuk kecewa, sementara jalan yang terbentang di depannya masih terbilang panjang untuk dapat ditempuhnya.
“Ngomong-ngomong, bagaimana pendapatmu tentang Prisia dan Harianto, dua auditor yang menangani Modern Electronics, Sha?” Pak Hartono sengaja melambatkan langkah kala melontarkan pertanyaan ini. Barangkali, dia tengah menghibur hatinya agar tidak terlalu kecewa setelah mendapatkan penolakan dari Marshanda.
Mau tak mau, Marshanda terpengaruh gerakan yang dilakukan pak Hartono. Sontak, dia ikut memperlambat ayunan kakinya dan menoleh ke samping.
“Menurut saya, mereka berdua bagus, Pak. Prisia itu fresh garaduated, jadi semangat dan daya juangnya luar biasa tinggi. Energi-nya seperti nggak pernah habis,” komentar jujur ini melunur dari celah bibir Marshanda.
“Seperti kamu, ya Sha? Biarpun pengalaman kerjamu sudah terbilang mumpuni, tapi kalau soal energi, kamu itu seperti pakai bateray alkalin saja,” pak Hartono setengah bergumam.
“Iya, Pak?” ucap Marshanada dengan kalimat tanya lantaran tidak dapat menangkap dengan jelas apa gerangan yang diucapkan oleh sang Direktur Keuangan.
Pak Hartono tergeragap sesaat ditanya macam itu. Mujurnya, jam terbang yang tinggi membuatnya sanggup menguasai suasana. Ia berdeham kecil sebelum menjawab.
“Semangat Prisia itu mirip kamu. Makanya, semakin kemari, saya semakin yakin, kamu adalah orang yang paling tepat untuk membantu saya membenahi sejumlah persoalan mendesak yang sekarang ini sedang dihadapi grup Modern Electronics,” timpal Pak Hartono lirih, seakan ditujukan pada dirinya sendiri.
Kali ini Marshanda pura-pura tak mendengarnya karena merasa bahasan tentang dirinya tak ada hubungannya sama sekali dengan pertanyaan Pak Hartono tadi. Dia memilih tidak mengatakan sepatah katapun.
“Saya salut, Marsha, kamu itu orangnya begitu fokus, dan selalu sanggup menjaga konsistensi. Enggak banyak orang yang bisa mempertahankan konsistensi bekerja dalam waktu panjang seperti yang kamu lakukan,” ucap Pak Hartono kemudian.
Nyaris paras Marshanda memerah lantaran jengah. Siapa orangnya, yang tidak jengah jika dipuji secara langsung begitu, kan? Apalagi, yang memuji adalah atasannya!
“Ah, saya rasa, hal itu mutlak diperlukan dalam bekerja, Pak. Jadibukan sesuatu hal yang luar biasa. Apalagi, Modern Electronics ini kan perusahaan yang cukup besar, mempunyai banyak cabang serta beberapa pabrik sendiri, Pak. Terlebih..,” Marshanda menggantung kalimatnya.
“Terlebih, saat ini tengah menghadapi imbas atas perpecahan kongsi. Sudah begitu, basis sebagai perusahaan keluarga, mau tidak mau, memang harus diakui membawa pengaruh konservatif yang sesekali masih terbawa-bawa dalam pengambilan keputusan maupun suasana di tempat bekerja,” Pak Hartono melengkapi kalimat Marshanda, membuat Marshanda memilih diam tak berkomentar lagi.
Sejatinya, Marshanda tak menyangka Pak Hartono akan menyinggung tentang permasalahan ini, terlepas dari apa pun maksud dari atasannya itu. Entahkah ingin memancing dirinya untuk mengeluarkan pendapat tentang ketidakprofesionalan sejumlah orang lama, yang sialnya, masih memegang posisi kunci lantaran mempunyai hubungan kekerabatan maupun pertemanan dengan pemilik ataupun jajaran direkturnya, ataukah maksud lainnya yang belm dapat diperkirakan oleh Marshanda.
Melihat Marshanda terdiam, terlintas dalam benak Pak Hartono sebuah pemikiran berbalut sebungkah rasa prihatin.
Tak terhindarkan sejumlah pertanyaan yang menyeruak di hati Pak Hartono. Seperti, apakah Marshanda menyesal bila menyadari bahwa dia mungkin saja telah ‘salah memilih’ tempat untuk berkarir? Adalah sesuatu hal yang amat wajar jika beberapa perusahaan berminat mempekerjakan gadis berotak cemerlang itu saat mempertimbangkan prestasi akademiknya yang sungguh mengagumkan.
Walau berat, pak Hartono mengakui dalam hatinya, bisa jadi karir Marshanda akan jauh lebih moncer seandainya masuk ke perusahaan yang sudah lebih ‘settled’.
Pak Hartono menghela napas panjang, dan berusaha menepis sendiri pertanyaan-pertanyaan yang hinggap di kepalanya. Ia mencoba untuk berpikir dari sudut pandang yang berbeda.
'Marshanda ini memang bukan gadis biasa. Justru semangat kerja dan ketajaman analisanya itu dalam waktu singkat langsung membuktikan, alangkah beruntungnya Modern Electronics mendapatkan dirinya. Dia bak berlian, yang sanggup bersinar sekalipun berada dalam kumparan lumpur. Sepanjang pengamatanku, tantangan yang ia dapatkan bukan membuatnya lemah, malahan membuatnya merebut perhatian jajaran manajemen. Betapa ini pilihan yang terbaik dari perusahaan,’ batin Pak Hartono, memuji dalam hati sikap dan reaksi positif Marshanda yang menurutnya patut diacungi dua jempol sekaligus.
Satu langkah lagi, mereka berdua akan tiba di bagian car call. Ada rasa mencelos yang menyapa pak Hartono. Macam anak remaja yang sedang memprospek gebetan yang sekian lama diincarnya secara hati-hati, rasanya dia tidak rela berpisah secepat ini dengan Marshanda.
Mencermati ketenangan serta sikap Marshanda yang dirasanya amat wajar, Pak Hartono terus membujuk hatinya di dalam diam. Pak hartono berpikir, ini perkara waktu saja, dan dirinya hanya perlu lebih bersabar sembari tetap mencoba. Pikirnya lagi, siapa tahu, suatu saat nanti Marshanda mengetahui dan merasakan bahwa dirinya juga menyukai pribadi Marshanda, bukan sekadar hasil kerja gadis tersebut.
“Pak, ditanya sama Mbaknya, nomor kendaraan Bapak. Maaf, yang saya tadi kurang memperhatikan,” ucapan Marshanda membuyarkan keterdiaman pak Hartono. Hari ini kendaraan operasional pak Hartono memang sedang masuk bengkel, sehingga dia memakai kendaraan pribadinya untuk menuju ke kantor akuntan publik. Dan kendaraan pribadi yang dipakainya hari ini, juga bukan yang pernah dilihat oleh Marshanda. Makanya tak heran bila Marshanda perlu menyampaikan bahwa dia belum hafal nomor kendaraan sang Direktur Keuangan.
“Apa, Sha? Oh, iya, iya,” Pak Hartono pun segera menyebutkan nomor kendaraan dan nama pengemudinya kepada petugas yang berjaga.
“Ngomong-ngomong, bagaimana Stella, anggota tim-mu yang fresh graduated itu, Sha? Akhir bulan ini masa kerjanya sudah genap tiga bulan, kan?” tanya Pak Hartono kemudian, setelah sukses mengembalikan kesan berwibawanya di depan Marshanda.
“Stella, Pak? Sesuai hasil tes dan wawancaranya dulu, kinerja kerjanya bagus. Saya rasa, dia hanya membutuhkan sedikit waktu lagi saja, untuk dapat sepenuhnya beradaptasi dengan anggota tim lainnya,” jawab Marshanda. Tersirat keyakinan penuh di dalam kalimatnya.
Pak Hartono menatap penuh selidik mendengarnya. Seolah dia hendak memastikan, sejauh mana kemampuan Marshanda mengatasi serta mengarahkan anggota tim yang satu itu. Masalahnya, bukan satu dua kali pak Hartono mendengar keluhan dan anggapan miring karyawan lain mengenai sikap Stella yang dianggap cenderung bossy, ingin menonjolkan diri sendiri, dan sulit untuk diajak bekerja sama. Pendeknya, bila disimpulkan, rata-rata orang kantor menganggap bahwa Stella bukanlah anggota tim yang baik. Kini satu persatu anggapan mereka, seolah terngiang di telinga pak Hartono, sang Direktur keuangan.
- Lucy Liestiyo -