“I.. iya, Mbak! ” sahut Mathilda mengatasi gugupnya.
“Saya harap kamu dan Stella bekerja sama dengan baik. Dengan lebih baik lagi dari yang selama ini, maksud saya. Ada atau tidak ada saya bersama kalian. Mathilda, kamu cukup senior di tim saya, tolong tunjukkan kamu bisa saya andalkan. Bimbing yang lebih junior dari kamu. Stella, jangan segan bertanya ke Mathilda kalau ada sesuatu yang belum kamu pahami. Kalian berdua, saya harap bisa berkoordinasi dengan baik,” pesan yang diucapkan demikian rinci oleh Marshanda sontak membuat Mathilda dan Stella sama-sama terdiam.
Hampir bersamaan, Stella dan Mathilda mengucap terima kasih dan mohon diri setelahnya. Lalu, keduanya segera kembali ke ruangan kerja mereka. Tanpa sepatah kata pun terucap dari bibir mereka. Kini tinggallah Marshanda, Barry, Chiko, dan Hesti di ruangan Marshanda.
Marshanda pun langsung memberi arahan pada mereka. Dengan senang hati dan penuh tanggung jawab, ketiganya menerima bagian tugas masing-masing. Sepeninggal mereka bertiga, Marshanda memeriksa rencana kerjanya. Diamatinya sekali lagi lantas mengangguk-angguk. Ya, Apa boleh buat. Memang harus dia yang bekerja extra untuk membereskan persoalan pelik yang menjadi tanggung jawab timnya. Penuh kesadaran, dia terus meyakinkan dirinya bahwa keputusan yang diambilnya adalah yang terbaik buat semua.
Sore itu, seusai mempresentasikan posisi keuangan serta sejumlah opsi pembiayaan kepada Pak Jonathan dan Pak Hartono, Marshanda menyampaikan keputusan yang telah ia buat. Pak Jonathan menyetujui dan segera meninggalkan tempat untuk menangani urusan lainnya. Sementara Pak Hartono mencecarnya dengan pertanyaan-pertanyaan mendasar. Sampai-sampai Marshanda merasa, pertanyaan yang diajukan oleh Pak Hartono terlalu detail untuk posisinya sebagai direktur keuangan. Nyaris Marshanda menggelengkan kepala kuat-kuat, demi mengenyahkan sebuah prasangka yang terbersit begitu saja.
“Ini rencana kerja saya, Pak. Sebagai permulaannya, saya akan menemani Barry dulu, selama satu minggu di sana dan mengevaluasi apa yang harus diprioritaskan. Kemudian, saya akan kembali kemari, mengurus masalah pembiayaan dan mensupervisi pekerjaan Mathilda serta yang lainnya. Saya sudah atur pekerjaan Mathilda dan lainnya. Kalau tak ada kendala, begitu urusan pembiayaan beres, secepatnya saya kembali lagi ke Penang. Saya akan membenahi yang di sana sampai mendapatkan tim baru yang bagus dan stabil,” jelas Marshanda.
Pak Hartono diam tak berkomentar.
Tetapi selintas Marshanda memergoki, ada gurat kekesalan di wajah Pak Hartono. Gurat kekesalan yang lekas disembunyikan oleh atasannya itu.
Marshanda sempat berpikir, adakah yang salah dalam keputusan yang ia buat sehingga mendapatkan tanggapan yang demikian dari sang atasan? Namun secepat itu pula dia menampik pemikiran tersebut.
“Saya dan Barry berangkat minggu depan, Pak. Kalau tidak ada apa-apa lagi, saya permisi dulu,” lanjut Marshanda bersama gerakannya bangkit dari kursi ergonomic yang didudukinya.
“Sebentar, Marsha!” cegah Pak Hartono. Terkesan tiba-tiba. Seperti seseorang yang baru terbangun dari tidur saja. Atau minimal dari sebuah lamunan singkat.
“Iya, Pak?” Marshanda kembali duduk.
Tatap matanya bersirobok dengan tatapan Pak Hartono. Dan, Marshanda merinding tanpa direncana. Ditemukannya sesuatu yang berbeda dalam tatapan mata Pak Hartono kepadanya. Ya, Pak Hartono yang baru satu bulan bercerai sebelum Marshanda bergabung dengan perusahaan ini.
‘Ups, semoga barusan aku salah lihat dan keliru menilai,’ kata hati Marshanda.
Marshanda menahan napas. Berusaha keras untuk tak menunjukkan rasa tak nyamannya.
“Begini saja, Marsha. Sementara ini, kamu alihkan tugas-tugasmu yang berhubungan dengan operasional sehari-hari kepada Mathilda. Saya akan turun tangan langsung mengawasinya. Kamu fokus saja pada urusan pembenahan pekerjaan di Penang dan bantu saya dalam proses pencarian pembiayaan sampai pengawasan penggunaannya nanti. Kalau keadaan di Penang benar-benar sudah kondusif, kamu bisa kembali ke posmu yang semula,” tegas Pak Hartono.
Kening Marsha sontak berkerut.
“Maksud... Bapak?” Marshanda menggantung kalimatnya. Sungguh, hatinya tergelitik. Marshanda sungguh-sungguh berusaha menahan rasa gelinya membayangkan alangkah bapak direktur keuangan-nya yang terhormat ini bakal bertambah kesibukannya dan harus super sabar menghadapi sikap Mathilda yang terkadang masih sering moody.
“Oh... eh... Baik kalau begitu, Pak. Terima kasih. Saya permisi.” saat memergoki lagi tatapan Pak Hartono yang amat sulit dimengertinya, Marshanda cepat-cepat mohon diri.
'Semoga kecurigaanku nggak terbukti. Lebih cepat aku berangkat ke Penang mungkin lebih baik,’pikir Marshanda pula.
*
“Dev, kok nggak bilang kalau kamu mau kemari? Tadi pagi kan nggak ada ngomong apa-apa. Untung saja aku belum terlanjur pesan taksi online. Biasanya memang baru aku pesan pas sampai di lobby begini. Bukannya apa, soalnya berdasarkan pengalamanku selama ini, nggak sampai 5 menit mereka sudah nongol. Kasihan kan, kan jadi kelamaan menunggu kalau akunya masih di atas. Ngomong-ngomong, kamu sudah lama nunggu di sini?” tanya Marshanda beruntun, sewaktu mendapati Devanno menghampiri dirinya yang baru saja melintasi pintu kaca. Pintu utama gedung kantornya.
Devanno melihat arlojinya dan tersenyum tipis.
“Hm. Baru 45 menit, kok. Kan, aku amati, biasanya juga kamu pulang sekitar jam segini. Kita makan dulu ya, di food court searah apartemenmu. Temanku ada buka outlet di sana,” sahut Devanno.
Marshanda merengut mendengar penjelasan sang kekasih.
“45 menit, kamu bilang baru, Dev? Itu lumayan lama, tahu! Kalau tahu kamu mau jemput kan, aku bisa cepat-cepat, tadi,” protes Marshanda serius.
Devanno mesem kecil saja menanggapi protes dari Marshanda.
“Tadi pas balik dari Cikarang, aku sempat singgah ke kantor sebentar, terus ketemuan rekanan di sekitar sini. Agak dadakan, sih, ngajak ketemunya dan karena aku nggak tahu bakal kelar berapa lama jadi aku nggak bisa ngabarin ke kamu. Takutnya perkiraanku malah meleset dan kamu jadi kelamaan nunggu. Eh, ternyata nggak lama. Mau langsung balik ke rumah, tanggung. Jadi mendingan jemput kamu saja, deh,” jelas Devanno.
“Dasar. Akhirnya jadi kamu yang kelamaan nungguin aku. Lagian, kamu tuh, sudah jadwalnya padat begitu bukannya langsung pulang, istirahat,” ucap Marshanda.
Devanno baru akan menyahuti Marshanda ketika mendadak ada suara yang lain, yang mendadak menyela.
“Marsha, sudah mau pulang?” tegur sebuah suara.
Marshanda pun langsung menoleh. Dilihatnya, Pak Hartono berada di belakangnya. Entah sejak kapan, dia tidak tahu pasti. Yang jelas, dia melihat, wajah itu keruh.
“Iya, Pak. Bapak belum pulang?” tanya Marshanda yang mendadak merasa tak nyaman.
Pak Hartono hanya membalas pertanyaan Marshanda yang terkesan retorik itu dengan anggukan kecil. Lalu, pandangan Pak Hartono bertemu dengan pandangan Devanno. Secuil perasaan tak suka menyeruak begitu saja di hatinya. Padahal, baru sekali ini dia melihat Devanno. Marshanda menangkap suasana yang canggung. Sedangkan Devanno, melihat sesuatu yang aneh dari cara orang yang dipanggil ‘Bapak’ oleh kekasihnya. Mata yang menyiratkan ajakan untuk berkompetisi secara terang-terangan dengan dirinya.
“Dev, kenalkan ini Pak Hartono, direktur-ku, atasan langsungku,” Marshanda menjawil lengan Devanno demi mengakhiri suasana yang terasa ganjil tersebut.
Devanno mendahului mengulurkan tangan dan berkata, “Saya Devanno, Pak. Senang berkenalan dengan Pak Hartono.”
Pak Hartono menyambut uluran tangannya, mengucap kalimat senada. Namun tak pelak, Devanno memperhatikan kilat cemburu di mata Pak Hartono. Tentu saja Devanno terusik, ingin protes. Devanno merasa, aksi Pak Hartono itu sungguh tidak pada tempatnya. Bahkan bila memungkinkan, ingin benar Devanno membalas kilat cemburu itu dengan tatapan kemenangan lantaran telah memenangkan hati seorang Marshanda, sekaligus meremehkan Pak Hartono yang ‘terlambat datang’ dan tampil sebagai pecundang. Tetapi, sewaktu mengingat Pak Hartono dan Marshanda satu kantor serta setiap hari kerja bertemu, selintas kecemasan timbul di benak Devanno, tanpa dikehendakinya. Cemas yang menuntun Devanno pada kecurigaan, menyadari Kekasih hatinya belum pernah menyebut bahkan bercerita tentang atasannya ini. Betapa ingin dikirimkannya kode keras, agar Pak Hartono tidak coba-coba mengusik mereka dan berpikir untuk menempatkan diri sebagai orang ketiga dalam hubungan mereka.
“Mari, Pak, kami duluan,” Marshanda segera mengambil inisiatif untuk membebaskan diri dari situasi kurang nyaman itu.
“Mari, Pak Hartono,” ucap Devanno pula, menyambung ucapan Marshanda.
“Silakan,” sahut Pak Hartono singkat.
Devanno menggamit lengan Marshanda, melangkah ke tempat di mana ia memarkir kendaraannya.
Baru melihat dari jauh saja, mata Marshanda terbelalak, menyebabkan dirinya segera mempercepat langkah menuju mobil Devanno.
“Astaga, Deva, cepetan deh. Aku nggak enak, kamu parkir tepat sebelahan sama mobil Pak Hartono,” cetus Marshanda.
Devanno terperangah.
“Hah? Kok bisa? Kenapa juga satpamnya nggak ngelarang atau ngarahin ke area lain?” Devanno pun buru-buru membukakan pintu mobil bagi Marshanda. Kali ini, Marshanda tak sempat melarangnya.
“Barangkali karena sudah jam segini, jadinya sudah banyak mobil yang meninggalkan tempat parkir,” gumam Marshanda.
“Oh, gitu,” sahut Devanno, lalu secepatnya memutari setengah badan mobil dan membuka pintu di sisi kanan mobil.
Segera Devanno menstarter mobil dan membunyikan klakson perlahan sambil menganggukkan kepala ketika melewati Pak Hartono yang tampak masih berdiri di depan lobby gedung. Entah apa maksud pria itu dengan hanya diam terpaku di tempat semula tanpa melakukan apa-apa. Bahkan bisa jadi, menghubungi pengemudinya saja belum.
“Syukurlah sudah lewat. Maaf, ya! Semoga atasanmu enggak tersinggung,” kata Devanno yang menarik napas lega.
Kendaraan yang dikemudikannya segera melaju, menembus kemacetan menjelang malam hari itu.
“Kamu kan nggak sengaja, Dev. Jadi, tenang saja. Kami nggak akan sering ketemu dalam satu kantor, kok. Lagi pula, dia bakal lebih sibuk setelah ini karena mengambil alih beberapa tugas harianku,” sahut Marshanda.
“Maksudnya?” tanya Devanno seraya mengernyitkan dahinya. Ia menangkap sesuatu yang tidak beres. Karenanya, matanya mengerling penuh selidik.
Marshanda paham arti kerlingan Devanno barusan. Sekian lama mengenal Devanno, Marshanda telah lebih dari sekadar terbiasa dengan gaya berkomunikasi Devanno yang tak sebetulnya tidak selalu banyak mengumbar kata. Lantas dengan gayanya yang barusan, Marshanda tahu Devanno meminta sebuah penjelasan. Lewat kerilingan mata barusan, jelas Devanno sekaligus mengirim sinyal protes, lantaran menengarai adanya sesuatu yang disembunyikan Marshanda darinya.
“Ih, apa sih ngelihatnya begitu,” ucap Marshanda pelan.
“Nanti kita obrolin sambil makan, gimana?” usul Marshanda setelahnya. Jelas ia berusaha meredam kecurigaan Devanno.
“Oke,” kata Devanno pendek sambil meremas jemari Marshanda.
“Aku kok jadi merasa ada ancaman buat hubungan kita, ya,” gumam Devanno pelan. Namun tak urung, telinga Marshanda mendengar gumamannya itu.
“Apa, Dev?” tanya Marshanda terkejut.
“Nanti sajalah Sha. Nah, kita sudah sampai. Yuk!” Devanno menekan tombol safety belt, lalu bergegas turun dan membukakan pintu untuk Marshanda. Untuk kedua kalinya, gerak cepat Devanno tidak tercegah oleh Marshanda. Bisa jadi, disebabkan Marshanda sedang memikirkan sesuatu hal yang lain, yang mengusik perasaannya. Sesuatu hal, yang harus ia sampaikan kepada Devanno, malam ini juga. Dan ia masih belum dapat memperkirakan, akan seperti apa reaksi Devanno nanti.
- Lucy Liestiyo -