CHAPTER DUA PULUH : IN BETWEEN (4)

1964 Words
                Sesuai rencana, mereka berdua langsung mencari keberadaan outlet milik kawan Devanno. Hanya saja, teman Devanno sedang tidak berada di tempat saat ini. Devanno segera memesan menu andalan dari outlet untuk dirinya serta Marshanda. Pesanan mereka lekas siap. Mereka berdua pun sepertinya menikmati cita rasa yang cocok di lidah mereka.                 Marshanda tak menyangka bahwa outlet itu hanya berpaut tiga kios dari salah satu gerai makanan cepat saji milik keluarganya Stella. Dan, Stella tengah berada di gerai tersebut hari ini, menengok salah satu usaha kuliner peninggalan Papanya, Pak Pangestu Wijayantha yang diyakini oleh Stella, meninggal dalam damai. Itu terlihat nyata pada wajah Pak Pangestu Wijayantha yang seperti sedang tersenyum di saat terakhirnya. Mendiang papanya Stella meninggal tanpa sakit, tanpa pesan khusus sebelumnya.                 Bahkan Stella selalu ingat penuturan sang Mama. Menurut Ibu Saraswati, sanag Mama, pada malam hari sebelum tidur, Pak Pangestu hanya memeluk erat tubuh istrinya, dan membisikkan betapa dia mencintai istrinya. Lantas Pak Pangestu menyampaikan betapa dia bahagia akan keberadaan istri dan anaknya dalam hidupnya. Namun pada keesokkan paginya, dia tak bereaksi saat dibangunkan oleh istrinya. Sontak, teriakan panik Ibu Saraswati, membuat Stella berlari ke kamar orang tuanya tanpa mengetuk lagi sebagaimana kebiasaan yang mendarah daging sebelumnya.                 Selagi melayangkan pandang ke segenap dekorasi kios, Stella menggigit bibirnya, terkengna pada pagi yang menjadi pagi kelabu buat dirinya serta sang Mama itu. Pagi di mana ia menjerit histeris, ketika menyentuh tubuh Pak Pangestu yang mulai dingin.                 Lalu dalam deraan rasa gundah yang membelitnya, tentu saja Stella tak terpikir siapa yang harus dihubungi kecuali Rivaldo. Ya, Rivaldo. Seseorang yang terpaut usia hampir tujuh tahun di atasnya. Seseorang yang amat akrab dengan kedua orang tuanya, bahkan bermitra dengan Papanya. Seseorang yang diketahuinya menaruh hati padanya sejak dirinya masih remaja dan kerap bergonta-ganti kekasih. Seseorang, yang membuatnya sering berprasangka bahwa Papanya sengaja mendekatkan mereka berdua, tetapi tentu saja atas permintaan dari Rivaldo. Seseorang, yang dalam pikirannya hanyalah ‘anak pungut’ yang beruntung karena diadopsi oleh keluarga Arifin Meidiawan sebagai adik angkat dari Haryati dan Handayani, kedua putri mereka, bahkan mendapatkan kehormatan, dengan disematkan pula nama Meidiawan di belakang nama Rivaldo-nya. Seorang yang dipikirnya sama sekali tak pantas untuknya.                 Namun, momen berpulangnya Papanya secara mendadak, memang memengaruhi sikapnya. Tiba-tiba Stella terpaksa mengakui, Rivaldo amat tulus pada keluarganya. Rivaldo-lah orang yang paling repot mengurus pemakaman dan mendampingi Ibu Saraswati melewati masa berkabungnya. Rivaldo juga turun tangan langsung, bekerja ekstra keras demi memastikan semua pekerjaan yang selama ini ditangani langsung oleh Pak Wijayantha tidak terbengkalai.                 Terkenang semua itu, Stella menggoyangkan kepalanya.                 ‘Semua itu seolah menjadi titik balik buat aku. Aku menyesal, semasa Papa hidup, aku berkeras nggak mau melirik usaha yang digeluti Papa. Saat itu pula aku mulai merasa bahwa sesungguhnya keberadaanku nggak berarti di keluargaku. Bukannya mencari tahu usaha Papa atau kegiatan Mama, aku malah berkeras membuktikan diri dan kemampuanku dengan bekerja pada orang lain. Terlalu,’ batin Stella penuh sesal.                 “Mbak Stella mau makan apa?” tanya salah satu kru menawari, mengusik lamunannya.                 Stella menoleh.                 “Lagi malas makan, nih Mbak. Es jeruk nipis saja, deh. Saya cuma singgah sebentar, kok,” tolak Stella.                 “Baik Mbak Stella, sebentar saya siapkan. Oh ya, tadi siang juga Mas Rivaldo nengok kemari. Lumayan lama. Sekitar dua jam deh. Terus Mas Rivaldo langsung ke outlet lainnya. Wah, Mas Rivaldo makin sibuk kesana-kemari sekarang ya,” komentar kru tersebut.                 Stella enggan menanggapi. Ucapan jujur dari krunya itu tak ubahnya pengingat bagi dirinya akan kontribusi besar Rivaldo, yang sigap menyelamatkan usaha kuliner Pak Pangestu Wijayantha sepeninggal Pak Pangestu, dari kemungkinan bubar jalan. Seperti mempunyai tanggung jawab moral, Rivaldo rela pontang-panting mengurus semua bidang usaha kuliner tersebut, sebab adik-adik Pak Pangestu Wijayantha hanya mengurusi bidang usaha lainnya. Sementara para kerabat Ibu Saraswati yang merupakan anak tunggal itu pun, tak ada satu jua yang terlibat dalam bidang usaha milik Pak Pangestu.                 Mengenang masa itu, membuat kesadaran Stella bagai terlecut. Mendadak terpikir olehnya, barangkali inilah saat yang tepat baginya untuk melibatkan diri mengawasi usaha Papanya sambil mewujudkan impiannya sendiri untuk membuka toko online.                “Mungkin memang sekarang, saatnya. Kalau tidak sekarang, lalu kapan?” Stella setengah bergumam.                 “Ada apa, Mbak Stella? Nah, ini jeruk nipisnya. Selamat menikmati. Kalau sekiranya kurang asam, kurang manis, atau kurang pas, tolong bilang saja,” kru yang meletakkan sebuah gelas di depan Stella, rupanya mendengar gumaman Stella.                Stella memalingkan wajahnya.               “Enggak, kok. Enggak ada apa-apa. Terima kasih ya Mbak,” sahut Stella pendek.               “Sama-sama, Mbak Stella,” sahut kru tersebut, yang segera mohon diri dengan sopan supaya Stella dapat menikmati es jeruk nipisnya tanpa gangguan.               Selagi Stella menikmati kesegaran minuman yang tersaji untuknya, terngianglah di telinganya, kasak-kusuk teman-teman sekantornya di kantin karyawan seusai jam kantor tadi.                 -          Kilas Balik -                 ”Jadi akhirnya yang berangkat ke Penang,  Barry sama Mbak Marshanda, ya Hes?” tanya Virni yang staf keuangan itu di antara gerakan tangannya mengaduk es campur di mangkuk besarnya.                Hesti mengangguk dengan senyum miring yang terukir di bibirnya.               “Eh, beneran itu?” tanya Virni seraya menyenggol lengan Hesti.                Wajahnya menampilkan ekspresi orang yang haus gosip.                Hesti menyempatkan meneguk dulu teh manisnya, seakan-akan, menjawab pertanyaan dari Virni itu memerlukan energi yang cukup.               “Ya, gitu deh Vir! Mustinya mah, cukup mengirimkan dua mandor, ealaaah... ! Akhirnya malahan terpaksa ngirim satu orang mandor plus satu orang komandan deh. Itu sama dengan ngeboros-borosin anggaran dan menyia-nyiakan waktu berharganya Mbak Marshanda,” keluh Hesti dengan kesebalan yang tampak nyata pada parasnya.                 Virni mengelengkan kepala, terlihat jengkel mendengar keterangan Hesti.                 “Ck! Terlalu!” ucap Virni gemas.                 “Alasan Mbak Mathilda nggak bisa berangkat ke Penang sih, bisa diterima. Bisa banget. Lha dia kan, punya anak bayi. Nah, kalau Stella? Alasannya kelewat cemen. Sok mellow yellow. Mengada-ada. Dia kan, ditempatkan di sana paling untuk jangka waktu enam bulan, kok alasannya nggak bisa ninggalin Mamanya? Ya elah, Penang kan dekat. Sebulan sekali atau dua minggu sekali juga dia bisa pulang, netek ke Mamanya itu. Bahkan mau seminggu sekali juga bisa. Asal pakai duit sendiri, lah. Nah kan, jatah perusahaan itu berapa? Satu bulan sekali, kan, tiket pulang pergi ke Jakarta-nya?” timpal Larisa, resepsionis yang diterima bekerja di perusahaan tersebut karena referensi dari Mathilda dengan penuh semangat dan terperinci.                 Tidak ada yang menyahuti perkataan Larissa.                 Ia pun melanjutkannya.                 “Maklum, deh, si Stella itu! Namanya juga anak orang kaya, nggak pernah hidup susah. Kerja di sini kan, cuma mau cari pengalaman. Jadi nggak bakalan bisa berempati sama orang lain. Apalagi bersikap profesional. Jauh ke laut, deh! Nggak usah ngarep, lah, kita! Mau setiap hari disuapi pemikiran positif dan dikasih contoh nyata sama Mbak Marshanda lewat perilaku yang ditunjukkan Mbak Marshanda juga percuma. Sudah dari sononya, itu karakter. Super egois. Nggak ada obatnya,” kecam Larissa lagi.                  Terdengar helaan napas Hesti seiring gerakannya mengedikkan bahu.                  Mungkin Hesti berpikir, percuma untuk menimpali omongan Larissa. Toh, mau ditanggapi secara positif maupun negatif, tidak akan membawa kebaikan, apalagi merubah rencana yang telah ditetapkan oleh Marshanda bukan? Yang ada, mengotor-ngotori pikiran, hati dan mulut sekaligus.                 “Kasihan Mbak Marshanda ya? Dia itu terlalu baik sih, orangnya. Suka nggak tegaan, terlalu bertanggung jawab dan suka mengambil alih tanggung jawab orang lain, yang ujungnya mengorbankan dirinya sendiri. Besok langsung aku urus tiketnya, deh. Sekalian perijinan lainnya supaya semua lancar. Semoga saja dengan begitu bisa sedikit membantu Mbak Marshanda agar bisa konsentrasi, dan supaya keadaan ini kembali normal,” cetus Merliani dari bagian general affair.                 “Iya, Mer, dibantu deh, sesuai porsimu. Jangan sampai nanti sudah pusing urusan pekerjaan, Mbak Marshanda harus menghadapi urusan lain pula, soal perijinan atau tempat tinggal,” timpal Anita, salah satu staf dari bagian human resources department.                 “Pasti, Mbak. Aku juga nggak rela kalau Mbak Marshanda direpotkan hal-hal di luar urusan kerjaan,” cetus Merliani.                 “Pasti fokus Mbak Marshanda otomatis terbagi, nih. Harus mikirin yang di sini, di waktu yang sama juga harus benahin yang di sana,” gumam Cantika, teman satu bagian dengan Anita, dengan nada prihatin.                 “Iya. Sejujurnya, aku tuh meragukan kompetensi Mathilda. Terutama sikapnya yang masih sering moody.  Dia mah, nggak kenal masa mengandung, menyusui atau mungkin nanti kalau sudah nggak menyusui lagi, tetap saja bledak-bleduk, mood-nya naik turun seenak jidatnya dia. Konsisten kok konsisten moody. Ealaaah! Waduh, kebayang nggak, gimana nanti dia pas nggak ada Mbak Marshanda? Bisa berantem melulu sama Stella,” bisik Merliani pada Cantika yang duduk di sebelahnya.                 “He eh. Nggak tahu kenapa, aku menangkap ada persaingan entah apa di antara mereka berdua. Apa mungkin ya, Mathilda itu merasa insecure dengan kehadiran Stella di tim yang sama dengannya? Agak lucu ya, kalau dipikir-pikir,” Cantika balas berbisik pada Merliani.                 “Hei, pada ngomongin apa hayooo! Malah bisik-bisik begitu!” tegur Hesti tak suka.                 “Ah, enggak,” sahut Cantika tersipu. Mana mungkin dia mau berterus terang bahwa dia tengah membicarakan orang-orang yang stu tim dengan Hesti?                 “Serius?” selidik Hesti, hendak memastikan.                 “Iya,” sahut Merliani dan Cantika berbarengan.                 “Eh, aku baru ingat, ada yang mau aku tanya ke kamu, Nit, soal Stella,” ucap Ardiansyah secara tiba-tiba. Sedari tadi, staf senior gudang itu hanya menempatkan diri menjadi pendengar yang baik, menyimak saja obrolan teman-temannya sambil menikmati mie instant pesanannya.                 “Mau tanya apa Ar?” tanya Anita ringan.                 Ardiansyah menyempatkan meneguk minumannya dulu sebelum melontarkan pertanyaannya. Pertanyaan berbalut rasa penasaran, yang lumayan lama ia simpan untuknya sendiri. Sekarang, dia merasa ini waktu yang tepat untuk mencari tahu, selagi pokok bahasannya pas, menyangkut diri Stella.                 “Dulu itu, apa benar di formulir lamaran pekerjaan, Stella enggak menyantumkan nama ‘Wijayantha’ di belakang namanya? Dan apa benar, dia selalu menghindari bahasan menyangkut keluarganya? Soalnya aku masih penasaran. Apa cuma aku, atau benar seisi kantor yang terkaget sewaktu tahu bahwa dia itu putrinya Pak Pangestu Wijayantha, sewaktu papanya Stella meninggal?” tanya Ardiansyah.                                                                                                                                                                    - Lucy Liestiyo -
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD