CHAPTER DELAPAN BELAS : IN BETWEEN (2)

1768 Words
              Marshanda melangkah menuju ruang rapat 2. Ia sedikit memperlambat langkah kakinya kala telinganya mendengar sayup-sayup, percakapan dua orang laki-laki dari dalam ruang rapat yang sedikit terkuak itu. Ia mengenali suara mereka.               ‘Pak Hartono sudah duluan tiba di ruang rapat? Pasti masalahnya super serius dan super urgent. Dan itu..., bukannya suara Pak Jonathan? Uh, pasti ada hal yang super duper serius,’ pikir Marshanda.              Marshanda mengetuk daun pintu dan menanti sesaat.             “Masuk!” terdengar suara Pak Hartono dari dalam ruang rapat.              Marshanda mendorong daun pintu dan mendapati wajah tegang Pak Hartono serta Pak Jonathan, salah satu di antara empat bersaudara pemilik group Modern Electronics, tengah menatap ke ambang pintu. Stella, Mathilda dan yang lainnya, menyusul di belakang Marshanda.              Tepat benar firasat yang didapatkan oleh Marshanda tadi pagi. Tak seperti biasanya, kali ini Pak Hartono terkesan enggan membuang waktu barang sedetikpun dan hendak membahas hal penting secepatnya. Sang Direktur keuangan itu hanya mengucapkan selamat siang kepada semua yang telah hadir di ruang rapat, lantas langsung masuk ke pokok bahasan utama.              “Rencananya, Pak Jonathan dan keluarga akan segera mengambil alih operasional di pabrik dan kantor di Penang. Pak Wong, mitra lokal yang di sana, telah resmi menginformasikan akan mengundurkan diri karena ada permasalahan keluarga yang serius dan harus diatasinya. Pak Wong meminta agar dia dapat segera menarik keseluruhan dana miliknya di perusahaan,” urai Pak Hartono.              Seketika ruangan rapat menjadi sehening area pekuburan. Hening yang cukup mencekam. Masing-masing peserta rapat pasti memiliki pemikiran sendiri terhadap berita  yang disampaikan oleh Pak Hartono ini. Dan tentu saja, di alam bawah sadar mereka, segera memikirkan, apa dampaknya atas diri mereka. Hati mereka sama berdebarnya. Mulut mereka terkunci rapat, menanti kelanjutan berita dari Pak Hartono.              “Marshanda, saya harap kamu bisa sesegera mungkin membantu saya selama proses pengambilalihan ini supaya bisa berlangsung lancar. Nanti setelah rapat ini kita bahas bertiga mengenai keperluan pembiayaannya,” lanjut Pak Hartono.              Marshanda tertegun.             ‘Itu saja? Maksudnya bertiga saja, aku, Pak Hartono dan Pak Jonathan, kan? Mengapa Pak Hartono meminta beberapa anggota timku untuk hadir juga dalam rapat ini?’ Tanya Marshanda dalam hati.              “Akan tetapi, ada sesuatu yang lebih mendesak. Selama ini kita memang tidak terlalu terlibat dalam kegiatan operasional di Penang, karenanya saat Pak Wong mengabarkan rencana pengunduran dirinya, terkuak sejumlah hal lainnya,” sambung Pak Hartono.              Sontak Marshanda mengernyitkan alisnya, sementara beberapa anggota timnya saling berpandangan sesaat.              “Rupanya ada konflik yang lumayan berat terjadi di sana. Antara departemen keuangan dengan akunting ternyata kurang akur. Posisi manager akunting sudah kosong sejak sebulan lalu dan belum ada penggantinya sampai sekarang. Asisten Manajer Akunting juga dikabarkan hanya akan bekerja hingga akhir minggu ini. Dua hari lalu, secara berturut-turut pula, dua orang supervisor Akunting mengirimkan surat pengunduran diri yang ditembuskan kepada Pak Jonathan,” Pak Hartono mengambil jeda sekian detik, memanfaatkannya dengan menatap satu persatu Marshanda dan para anggota tim gadis itu. Seakan-akan dia tengah menimba, apa yang kiranya mereka pikirkan saat ini.              “Memang, masih ada satu orang supervisor Akunting yang tertinggal. Tapi kan, harus selekasnya mencari pengganti untuk yang dua orang ini, supaya sempat dilakukan serah terima. Jadi Marshanda, kamu kirimlah dua orang tim terbaikmu untuk membantu sekitar enam bulan ke depan di sana. Kamu dampingi mereka berdua seminggu hingga mungkin sepuluh hari, sambil mencari kandidat yang pas untuk pos-pos yang kosong tadi. Ambillah waktu untuk mewawancarai para kandidat dan pilihlah yang terbaik. Nggak mungkinlah kita hanya berharap dari satu orang supervisor dan para staf yang tertinggal. Laporan bisa keteter semua nanti,” imbuh Pak Hartono.              “Bagaimana kalau Mathilda dan Stella saja? Saya rasa Barry bisa menangani pekerjaan di sini untuk sementara waktu ini,” cetus Pak Jonathan tiba-tiba. Padahal, sedari tadi Pak Jonathan diam menyimak.              Stella dan Mathilda langsung saling berpandangan.             Marshanda paham dan sangat mengenal apa arti pandangan itu. Stella dan Mathilda keberatan, namun mustahil mengungkapkannya di depan salah satu pemilik perusahaan, yang bisa jadi tak terlampau mengenal secara pribadi satu per satu karyawannya. Bahkan kemungkinan besar, tiga nama yang disebut barusan olehnya juga karena sudah beberapa kali bertemu dengannya atau disebut-sebut prestasi kerjanya baik oleh Marshanda maupun Pak Hartono dalam rapat dan diskusi mereka.              ‘Itu urusan internal di tim aku. Aku sendiri yang harus membereskannya. Nggak mungkin aku sampai melibatkan atasanku apalagi pemilik perusahaan segala, untuk hal kecil semacam itu,’ pikir Marshanda.              “Pak Hartono, saya boleh bahas secara internal dengan tim saya setelah rapat ini?” tanya Marshanda setengah berbisik kepada sang atasan langsung yang duduk di sebelahnya.             Pak Hartono langsung mengangguki Marshanda.               “Saya minta waktu sebentar sebelum meneruskan pembahasan pembiayaaan dengan Bapak  dan Pak Jonathan nanti,” pinta Marshanda.             “Oke,” sahut Pak Hartono.             Pak Jonathan juga mengangguk setuju.             *             “Mbak, aku minta maaf. Tapi, aku benar-benar nggak bisa meninggalkan Mamaku sendirian dalam jangka waktu lama. Jujur saja, aku nggak tega, Mbak. Papa belum lama meninggalkan kami. Dan enam bulan, sama sekali bukan waktu yang singkat. Itu pun kalau lancar dan sesuai rencana, bagaimana kalau ternyata meleset?” Stella mengungkapkan keberatannya di depan Marshanda.              “Terlebih aku, Mbak. Pak Jonathan kelihatannya lupa, anakku itu masih bayi, masih butuh asi eksklusif,” sambar Mathilda cepat. Tak terhindarkan, dia mengerling tajam pada Stella. Rasa simpati yang muncul ketika Papanya Stella meninggal sekitar seratus hari lalu, kini lenyap entah kemana. Dia hanya merasa, tak seharusnya Stella menghindar dari tanggung jawab.              Marshanda menatap keduanya bergantian. Nyata sekali betapa dia berpikir keras. Sekalipun telah memperkirakan kemungkinan ini, toh kepalanya berdenyut sesaat lantaran pening yang menyerang. Sejumlah opsi yang telah digagasnya sewaktu berjalan dari ruang rapat dan kembali ke ruangannya, seketika terkendala.              Marshanda telah memperkirakan ini. Semula ia sempat berpikir bahwa dia dapat menginstruksikan Barry dan Stella, atau mengambil resiko dengan menugaskan Barry serta Chiko, meski berdasarkan evaluasi terakhirnya, kemampuan Chiko belum setara dengan Mathilda maupun Stella betapapun dia telah berusaha memotivasi Chiko dan memberikan tugas tambahan kepada Cowok itu.             Marshanda sadar sepenuhnya, kombinasi Namira serta Zafran yang sejatinya lebih senior dari Mathilda dan Barry juga bukan altenative yang dapat ia ambil saat ini. Baik Namira maupun Zafran tengah diserahi proyek lain. Apalagi Hesti! Anggota timnya yang satu itu sudah ia daftarkan dalam program pelatihan kepemimpinan, jadwalnyapun dua bulan mendatang. Artinya, ketiga orang itu harus fokus sepenuhnya atas tugas mereka masing-masing. Intinya, tidak dapat diganggu gugat.              Marshanda mengetuk-ngetukkan ujung kukunya ke meja, berpikir keras. Dalam kebuntuan pemikirannya, terlintaslah solusi terakhir, dirinya sendiri yang harus berangkat menyertai Barry. Terdesak oleh keterbatasan waktu, sebenarnya Marshanda hendak langsung memutuskan pada detik itu juga, tetapi mendadak dia teringat hal pelik lain yang bakal terjadi bila dia tak ada di antara Stella dan Mathilda. Terbayang olehnya kedua anggota timnya itu takkan segan beradu mulut, dan melakukan perang terbuka!             Marshanda menggelengkan kepalanya kuat-kuat, mengusir bayangan buruk itu. Diam-diam dia berharap agar Chiko yang sikapnya lebih dewasa itu dapat diandalkannya untuk sedikit meredakan rasa saling tak suka yang ada di antara Mathilda dan Stella. Terlintas di benak Marshanda, dia akan memberikan tugas khusus pada Chiko berkaitan soal ini. Sebab ibarat virus, bila dibiarkan, sikap Mathilda dan Stella itu bisa menjalar sampai ke junior-junior di bawah mereka. Dan itu sungguh-sungguh tidak dikehendaki oleh Marshanda.              “Mathilda sama Stella boleh kembali ke ruangan sekarang. Da, tolong kasih aku updated forecast dan posisi keuangan. Di-email saja,” kata Marshanda kemudian.              “Baik Mbak, segera saya email. Terima kasih ya Mbak,” ucap Mathilda lalu bangkit dari duduknya.              “Mbak, aku benar-benar minta maaf. Kalau sekiranya ada sanksi yang harus  aku terima karena menghindari penugasan, aku siap sepenuhnya Mbak. Sekalipun ada tugas-tugas tambahan yang harus aku kerjakan, atau bahkan mungkin surat peringatan, aku juga siap,” ucap Stella menunjukkan ketegarannya.              Diam-diam, Mathilda mencibir kepada Stella.              ‘Huh! Lip service. Kamu itu jadi beban buat Mbak Marshanda,’ batin Mathilda dengan perasaan iri. Sukar ditampiknya perasaan cemburunya yang mengamuk hebat saat ini. Oh, bukan saat ini saja, sebetulnya. Sudah lumayan lama, dan jika dia mau jujur, rasa cemburu tersebut sudah lebih dari cukup untuk menjadi sebuah penyulut untuk menempatkan Stella sebagai rival abadinya.              Sebabnya jelas, begitu Marshanda menjadi atasannya, Mathilda memang merasa nyaman bekerja dengan Marshanda yang cerdas dan tak pernah pelit untuk berbagi wawasan. Mathilda terlanjur menjadikan Marshanda sebagai idola sekaligus panutannya. Mathilda sudah meyakinkan dirinya sendiri, bahwa suatu saat kelak, dia bisa menjadi tangan kanannya Marshanda dan membuat bangga sang idola. Dia begitu bangga dengan inisial nama mereka yang sama, yakni M. Dalam hatinya, ‘duo M’ itu keren : Marshanda dan Mathilda. Dia juga tidak ragu untuk meng-klaim bahwa dirinyalah anggota tim yang paling dekat dengan Marshanda. Karenanya, tanpa ragu dan tanpa diminta, dia sering membawakan kue-kue kecil hasil kreasinya, dikemas dalam wadah cantik kemudian ditaruhnya di meja kerja Marshanda.              “Mbak Marshanda kalau keasyikan kerja kan, seringnya lupa waktu istirahat dan menunda-nunda makan. Ini bisa untuk ganjal perut sementara. Tenang Mbak, ini bebas gelatin dan rendah kalori, kok. Kalau soal rasa, saya berharap semoga nggak mengecewakan Mbak Marshanda. Saya belum lama belajar bikin kue, soalnya,” terang Mathilda ketika Marshanda mengucapkan terima kasih dan berkata tak semestinya Mathilda serepot itu membuatkan kue untuknya.              Kini saat mengingatnya, tak pelak Mathilda merasakan ada yang berkurang, bahkan kian memudar dan mungkin akan lenyap tanpa bekas. Apalagi jika bukan perhatian Marshanda yang demikian besar padanya? Bukan sekadar perhatian kepada anggota tim, Mathilda malah merasakannya sebagai kasih sayang tulus dari seorang saudara sedarah. Ya, saudara sedarah!             Betapa tidak? Mathilda masih ingat benar, Marshanda sering mengingatkannya agar menjaga asupan gizi dalam makanan yang dikonsumsinya demi janin yang ada dalam kandungannya, selain kerap menegaskan bahwa dia tak perlu memaksakan diri untuk lembur demi mengejar tenggat waktu. Hal-hal demikian justru menambah semangat kerjanya, dan memacu dirinya, mau selalu memberikan hasil kerja yang terbaik dan betah berlama-lama berada di kantor. Marshanda juga terkesan sedikit cemas dan amat serius saat meneleponnya, menanyakan kondisinya serta sang bayi yang lahir lebih awal dari perkiraan, yakni hanya seminggu setelah dia resmi mengambil cuti melahirkan.              Betapa Mathilda tersanjung karenanya, pada saat itu! Dia takkan pernah melupakan ungkapan kelegaan, kecupan di pipi kiri dan kanannya diiringi dengan ucapan selamat dari Marshanda kala menengoknya di rumah sakit. Semua masih membekas, terpelihara dengan baik di memori Mathilda.              ‘Tapi itu dulu. Begitu Stella masuk, sikap negatifnya bikin Mbak Marshanda repot. Sibuk memoles dan mengarahkan dia seperti seorang ibu ke anaknya yang masih bocah, rewel dan cari perhatian melulu. Apalagi pas aku masuk lagi seusai cuti melahirkan, huh, rasanya Stella berhasil merebut semua perhatian Mbak Marshanda buatku. Dia pasti nempel terus sama Mbak Marshanda, cari muka melulu, selama aku nggak ada. Kalau tahu begitu, rasanya aku cuma mau ambil cuti melahirkan selama dua bulan saja, atau bahkan satu setengah bulan, supaya aku nggak kehilangan momen-momen barang Mbak Marshanda, yang dirampas paksa sama si Stella,’  kata Mathilda dalam hati.              “Mathilda,” panggil Marshanda yang menyadari gerakan minim di bibir Mathilda. Cukup keras, sehingga membuat Mathilda terkejut.             - Lucy Liestiyo -
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD