Dua setengah bulan kemudian...
Lampu led pada layar telepon genggam Marshanda berkedip. Marshanda baru tersadar, bahwa sedari tadi dia mengaktifkan mode ‘silent’. Dia memang super sibuk dan ingin berkonsentrasi penuh pada deretan tugasnya yang serasa tiada kunjung habis. Bahkan, dari dia datang tadi hingga waktunya makan siang telah terlewat lima belas menit begini, bisa dihitung dengan sebelah jari berapa kali dirinya bergeser dari tempat duduknya. Itu pun, hanya untuk ke toilet atau mengambil air minum.
Kini sambil membuka styro foam berisi menu makan siangnya, diubahnya sesaat telepon genggamnya ke mode dering.
Pesan yang baru masuk adalah dari Devanno. Biasa, mengingatkan dirinya supaya tidak terlambat makan siang. Dalam pesan yang sama, Devanno juga mengatkan akan menghubunginya nanti malam. Lalu ada juga pesan lain senada dari Bu Grizelle, yang masih ditambahi juga dengan ‘pesan sponsor’ agar dirinya selalu menjaga kesehatan. Marshanda tersenyum dan segera menjawab pesan tersebut, tentu saja dia juga meminta maaf karena terlambat menjawab.
Gadis itu mengambil waktu sesaat untuk memanjatkan doa sebelum makan, sebelum meneruskan mengecek pesan yang masuk maupun panggilan telepon yang tidak terjawab.
Ada tiga buah panggilan telepon tidak terjawab, yang untuk sementara ditunda oleh Marshanda untuk menanggapinya. Ketika ia menelusuri satu demi satu pesan teks yang masuk, ada sejumlah pesan yang harus segera dijawabnya pula. Semua itu sama sekali tidak ditundanya, meski di antara kegiatannya mengunyah makan siangnya. Lalu, tibalah dia pada pesan lainnya.
“Bianca? Kok tumben. Semenjak ‘jalan’ sama Michael, kabar dari dia kan sudah makin jarang dan sporadis. Kadang lewat pesan teks, kadang hanya melalui email. Itu juga hanya sekadar say hi,” gumam Marshanda yang juga tidak terlalu memusingkan hal tersebut. Sebab selain dirinya juga sedang tidak sempat kebanyakan chit chat belakangan ini, dia juga maklum, orang kalau baru ‘jadian’ pasti lebih membutuhkan banyak waktu untuk berdua dulu.
“Hm, faktanya, aku sama Devanno, yang baru ‘nyambung’ lagi, juga tetap membutuhkan quality time berdua. Padahal kami berdua bisa dibilang sudah sama-sama mengenal. Ya apalagi mereka, kan?” gumam Marshanda lagi.
Pelan-pelan, Marshanda membaca tiga pesan dari Bianca, yang waktu dikirimnya berbeda-beda.
Dimulainya dengan pesan pertama yang rupanya dikirim pada pagi hari. Marshanda memperkirakan, saat itu Bianca baru saja tiba di kantor dan menyempatkan sarapan di pantry kantor.
From : Bianca Handayani Purnomo
Pagi Sha, apa kabar? Pasti masih sibuk, ya, pagi begini? Nanti jam makan siang boleh aku telepon nggak? Please let me know, ya. Thanks.
“Ya ampun, sorry Bi, baru lihat,” desah Marshanda pelan. Mengingat percakapannya mereka tempo hari, Marshanda ingat bahwa Bianca menunjukkan rasa tidak enak hati kalau terpaksa mengganggu kesibukannya. Karenanya, kalau sampai mau menghubunginya di jam kerja, Marshanda memperkirakan, apa yang hendak disampaikan tentu lumayan penting dan tidak bisa ditunda.
Namun begitu, dilanjutkannya juga dengan membaca pesan kedua, yang dikirimkan oleh Bianca sekitar satu jam lalu.
From : Bianca Handayani Purnomo
Sha, sorry. Sibuk banget pasti ya, soalnya belum sempat jawab. Eng.., aku cuma ingin pandanganmu, sih. Soalnya beberapa hari ini aku memang sudah membawa dalam doa, tapi kelihatannya kok belum terjawab. Aku masih ragu. Siapa tahu, pedapatmu bisa sedikit membuka pikiranku.
Marshanda mengerutkan kening.
Kenapa dia? Jangan sampai dia kenapa-napa,’ pikir Marshanda. Sebersit cemas menyapa begitu saja.
Marshanda tiba di pesan ketiga, yang dikirim sekitar lima belas menit lalu.
From : Bianca Handayani Purnomo
Sha, kamu saja deh, yang kasih tanda, kapan kamu sempatnya. Kalau aku sih, bisa dibilang at any time, lah. Hari ini aku kerjaanku cukup senggang kok, jadi sangat bisa disambi terima telepon. Aduh aku jadi enggak enak, kesannya ngejar-ngejar begini. Thanks ya Sha.
Marshanda tidak menunda lagi. Dia bukan sekadar membalas telepon, tetapi melakukan panggilan suara. Cukup satu kali nada tunggu terdengar, pada kejap berikutnya sahutan riang dan penuh kelegaan Biana telah menyapa telinga Marshanda.
“Hallo, Sha! Akhirnya! Kok tumben, bisa telepon siang-siang begini? Ini belum waktunya jam makan kan, di sana?” tanya Bianca.
“Hei Bi, maaf, aku baru lihat pesanmu. Tadi dari pagi enggak pegang telepon genggam. Nggak apa, aku juga sambil makan ini. Kamu apa kabarnya?” tanya Bianca.
Terdengar sahutan takjub dari Bianca.
“Sambil makan? Kok tumben, makan sebelum waktunya. Hebat! Begitu dong sekali-kali. Kabarku baik, Sha, aku ..., mau minta pendapatmu soal... Michael,” suara Bianca semakin melembut di ujung kalimat, nyaris seperti orang yang ragu.
Hati Marshanda berdebar.
‘Michael? Duh, semoga semua baik-baik saja,’ harap Marshanda dalam diam. Dia sampai mengabaikan komentar Bianca soal ‘makan siang sebelum waktunya’. Dia pikir, tidak perlu mengoreksinya. Sungguh tidak penting.
“Michael? Itu, yang kamu bilang sudah membawa dalam doa tadi? Bi..., kalian baik-baik saja kan?” tanya Marshanda nyaris berbisik.
Terdengar suara helaan napas dari seberang.
Hati Marshanda kebat-kebit dibuatnya.
“Bi..,” panggil Marshanda khawatir. Dia sampai menunda menyuapkan makanannya. Diletakkan sendok plastik itu di pinggiran styro foam.
Bianca mengembuskan napasnya.
“Sha, jadi begini..., Michael itu kan memang dari awal menjalin hubungan ini, sudah bilang mau hubungan yang berkomitmen. Makanya, sebetulnya aku juga sudah dikenalkan ke seluruh keluarga besarnya,” kata Bianca.
“Bagus dong itu. Terus?” tanya Marshanda, yang merasakan betapa Michael ini jah berbeda dengan Victor, mantan kekasih Bianca.
“Eng.., sebetulnya, dia juga sudah melamarku, secara pribadi,” ujar Bianca.
“Oh, ya? Selamat ya Bi. Pasti jawabannya YES dong. Kalau sudah begitu, apa yang kamu resahkan?” tanya Marshanda.
“Sha.., Michael bahkan juga sudah merencanakan untuk melamarku secara resmi. Ya kami sedang mengatur jadwal untuk pertemuan keluarga,” lanjut Bianca.
“Wow! Praise The Lord! Sekali lagi selamat ya Bi. Aku senang banget, dengarnya. Kapan, Bi?” tanya Marshanda.
Bianca diam sejenak.
“Eng.., paling cepat sih.., kemungkinan akhir bulan depan, Sha. Jadwalnya Michael juga lagi lumayan padat sih. Lagi cari waktu yang pas buat kami berdua dan keluarga kedua belah pihak,” sahut Bianca. Suaranya pelan.
“Hei..., itu kan berita bahagia, Bi. Ini kenapa nih? Kamu mendadak ada ragu soal apa? Takut ya, melepas masa lajang? Ini mustinya konsultasi sama teman-teman Gereja yang sudah melaluinya, Bi. Pasti mereka bisa memberikan pandangan. Konon, seorang Cewek kalau mendekati hari ‘ha’ itu suka dilanda keraguan. Beda sama Cowok. Eh, ini yang aku bilang sih, teori ya. Soalnya aku kan belum mengalami. Harus tanya ke Kak Sandra, Ci Lian, Shiane dan Bella. Masih sering ketemu sama mereka, kan? Mereka kan nikahnya juga belum lama itu, baru sekitar tiga tahunan gitu, kan?” Marshanda melempar kalimat retorik.
“Aku bukan ragu sama orangnya. Kalau perasaanku ke Michael sih, aku sudah merasa mantap, Sha. Cuma...,” Bianca menjeda ucapannya.
Saat itu lah, pesawat telepon di meja kerja Marshanda berbunyi.
“Bi, sebentar, ya, takutnya ada telepon penting dari kantor di Jakarta,” kata Marshanda, lantas mengangkat gagang telepon.
Di seberang sana, dahi Bianca mengernyit.
‘Kantor Jakarta? Memang sekarang kamu lagi tugas di mana?’ pikir Bianca.
“Oke, Barry, nggak apa. Nanti aku cek emailmu dulu, ya. Oke, sampai nanti. Kalau ada kendala lain, info ke aku secepatnya,” pungkas Marshanda setelah mendengarkan beberapa informasi dari sang penelepon.
“Iya, Bi, sorry, tadi sampai mana? Maaf ya, aku sambi kerja dan sambi makan pula. Lanjut gih, Bi,” kata Marshanda.
“Kamu lagi tugas di luar kota, Sha? Di mana?” Bianca justru balik bertanya.
“Di luar negeri, tepatnya, Bi. Aku di Penang, sudah dua bulan terakhir ini. Sudah, nggak penting ngomongin ini. Nah, ayo balik ke bahasan tadi, Bi,” tepis Marshanda.
Bianca tercengang.
“Di Penang, Sha? Sampai kapan kamu di sana? Nggak lama, kan, tapinya?” tanya Bianca.
Harap-harap cemas dia.
LL