"Ngapain di sini?"
Yana menoleh sekilas. Bram bersama Damara. Bocah itu tengah memakan es krim sembari menggenggam tangan Bram. Ia menatap Yana dengan tatapan datar nyaris tak perduli.
"Suasananya enak." Yana kembali mengarahkan pandangan pada hamparan sawah dan sungai yang berjarak kurang lebih 10 meter di depan mereka.
"Kamu pernah ke desa kayak gini?"
Yana menggeleng.
"Pernah main di sungai?"
Sekali lagi gadis itu menggeleng.
"Such a city girl.."
Yana menyipitkan matanya.
"Dam, om antar pulang dulu ya. Main sama mami," kata Bram tiba-tiba.
Damara menatap Bram. Ia mengerucutkan bibirnya. "Om mau ke mana?"
"We'll go to Vivi's house after this. Ok?"
Seketika Damara mengangguk dengan semangat. Menurut begitu saja. Bram berlalu, membawa Damara pergi. Yana hanya menyaksikan tanpa berkata apa-apa.
Tak lama kemudian Bram kembali sendirian.
"Ayo.."
"Hah?"
"Ayo.."
"Kemana?"
"Ke sungai.."
Yana menggeleng. "Nggak mau ah. Ngapain?"
"Katanya belum pernah main di sungai."
"Tapi kan aku nggak bilang pengen main di sungai."
"Udah ayo. Cari pengalaman. Nggak akan nyesel deh."
"Enggak ah.."
"Udah ayo.." Bram menggamit tangan Yana, setengah menarik gadis itu menuju ke jalan setapak yang terarah menuju ke sawah yang juga mengarah ke sungai.
Untung saja jalannya tidak terlalu sulit. Jadi tidak butuh usaha ekstra bagi Yana untuk sampai di sana.
"Bagus kan?"
Yana mengangguk.
"Kamu mau ke mana?"
"Masuk ke sungai.."
"Ngapain?"
Bram tak menjawab. Ia membuka sendal, melipat sedikit celananya ke atas. Ia kemudian masuk ke dalam sungai. Yana hanya melihat tanpa memberi reaksi.
"Segarnya.." Bram merentangkan tangan. Ia memejamkan mata, menikmati angin segar yang menyapa.
"Ayo sini.." panggil Bram.
Yana menggeleng. "Kamu aja. Aku di sini aja."
"Udah nggak apa-apa. Mau ngerasain air segar sungai nggak?"
Yana awalnya terlihat ragu. Tapi lama-lama ia luluh juga karena Bram terus menatapnya. Ia membuka sendal dan melipat celananya. Perlahan Yana melangkah ke dalam sungai.
"Ini aman kan?"
"Aman.."
Begitu kakinya menyentuh air, Yana tersenyum takjub seketika. "Wuahhj, seger banget..."
Bram tersenyum. "Nah kan dibilangin.."
Yana tak henti-hentinya berdecak. Benar-benar kagum. Ia bahkan mencuci wajahnya di sana. Untung ia tidak terlalu menor berdandan tadi. Untungnya lagi make upnya tahan air.
Tak hanya ke sungai dan sawah. Bram juga membawa Yana berkeliling lingkungan desa tempat tinggal eyangnya. Mereka tak banyak bercerita. Bram juga tak menceritakan apa-apa tentang dirinya. Paling Bram hanya akan menjelaskan tentang sesuatu yang mereka lihat atau jika Yana bertanya.
Meski mereka jalan kaki, Yana hampir tak merasa lelah. Mungkin karena suasana yang damai dan nyaman. Orang-orangnya juga ramah. Beberapa kali orang yang lewat menyapa karena mereka mengenal Bram. Tapi Yana tak bertanya pada Bram siapa mereka dan bagaimana mereka mengenal Bram. Yana hanya menyimpulkan bahwa kemungkinan dulu Bram pernah tinggal di sini.
Bram berhenti saat mereka melewati sebuah sanggar seni. Yana mengira Bram ingin masuk. Tapi tidak. Mereka hanya berdiam di depan dengan Bram menatap gerbang sanggar. Yana pun tak bertanya. Membiarkan Bram hanyut dengan dirinya.
Selang beberapa menit Bram pun melanjutkan langkah diikuti Yana. Dan masih terlalu banyak teka-teki tentang semuanya.
...
"Setelah menikah kalian akan tinggal di mana?"
Yana hampir tersedak makanannya sesaat setelah eyang bertanya.
"Kami belum bahas itu eyang," Bram yang duduk di sebelah Yana menjawab.
Yana menyeka bibirnya dengan tisu. Seperti yang Bram bilang. Mereka memang belum membahas masalah tempat tinggal. Sejauh ini yang mereka bahas adalah masalah pekerjaan, personal life, dan masalah anak.
"Bram sudah beli rumah?"
"Belum eyang."
"Ini sudah H-11 tapi kalian belum bahas masalah tempat tinggal."
"Bram punya apartemen eyang."
Eyang membuang napas pelan. "Apartemen dan rumah itu beda, Bram."
Tak ada yang bisa Yana lakukan selain diam dan mendengarkan.
Bram menatap piringnya.
"Atau mau eyang yang belikan? Hadiah pernikahan kalian?"
Bram langsung menggeleng. Yana pun sama.
"Nah kan. Dibelikan juga ndak mau. Gimana kalian ini.."
"Nanti Bram akan beli rumah eyang. Tapi buat sementara di apartemen dulu," kata Bram.
"Terus sudah pikirkan mau bulan madu ke mana?"
Gantian Bram yang tersedak air putih.
"Pelan-pelan, Bram.." ujar Widya. Suasana terasa makin dingin dan awkward bagi Yana. Ia kehilangan nafsu makan.
"Jangan bilang kalian juga belum memutuskan akan bulan madu ke mana?"
Kebungkaman Bram dan Yana membuat eyang geleng-geleng kepala.
"Haduh kalian berdua ini. Eyang ndak mau ya kalian punya pikiran buat nunda-nunda punya anak. Eyang sudah ndak sabar pengen punya cicit dari kamu Bram."
Yana hanya bisa tersenyum kikuk. Benar-benar tak bisa bicara. Bram juga hanya bisa menghela napas. Orang tua. Kalau sudah menikah pasti bahasannya selalu saja anak. Tck.
...
Saat menaiki tangga menuju kamar setelah tertekan dan nyaris tak bisa bernapas karena eyang, perhatian Yana tertuju pada satu frame yang terpajang di dinding. Dalam foto itu berisi Bram dan kedua orang tuanya. Orang tua sesungguhnya. Hanan dan Nora. Foto itu diambil saat Bram wisuda. Hampir tak ada senyum di wajah Bram. Yana menghentikan langkah.
"Kayaknya susah banget ya buat senyum.." ucap Yana nyaris berbisik.
Yana menatap foto itu lama.
"Dulu aku pernah minta sama kamu buat kenalin aku ke keluarga kamu. Tapi bahkan sampai kita putus sekalipun kamu nggak pernah bawa aku ke keluarga kamu. Sekarang aku ketemu keluarga kamu bahkan tanpa aku minta. Hidup lucu ya, Bram.."
...
October, 30
Deyana & Bramanaka Wedding
******
Yana menunduk menatap cincin yang tersemat di jari manisnya. Anehnya ia hampir tak merasakan apa-apa meski kini ia telah sah menikah dengan Bram. Ia telah sah jadi istri Bram. Menangis saja tidak. Padahal kedua orang tuanya berlinang air mata tadi. Meski kedua kakak kembarnya tampak santai, Yana tau mereka pasti juga terharu.
Yana juga sempat melihat orang sekeliling saat prosesi akad tadi. Rata-rata semua kerabat dan sahabatnya menangis terharu. Hanya Yana yang biasa.
"Yan.." panggil Adira pelan. Yana tersadar. Ia kemudian membubuhkan tanda tangan di atas berkas dan buku nikah. Kinipun ia sudah sah menjadi istri Bram secara hukum. Yana melirik Bram sekilas. Sama sepertinya, Bram menunjukkan ekspresi tenang.
"Ayo foto dulu.." Yana dan Bram bangkit. Adira dan Lelia membantu merapikan kebaya yang Yana kenakan.
"Senyum ya mbak dan mas. Satu.. dua.. tiga.."
...
"Duh pengantin baru kita mikirin apaan sih? Berat amat kayaknya.." Kemunculan Lelia mengagetkan Yana. Ia tersenyum.
"Kak Lel.."
"Duh udah cantik gini jangan ngelamun dong.." Lelia tersenyum. Ia duduk di pinggiran kasur. "Kenapa bajunya belum diganti? Tadi kata perias make up kamu udah selesai.."
Yana hanya tersenyum. Make up memang sudah selesai. Tadi ia juga yang meminta perias meninggalkan kamar. Yana butuh sendiri. Ia merasa tak tentu arah hari ini. Kosong tapi sesak.
"Maaf ya, Yana malah duluin kakak sama bg Zafa.."
"Duh kenapa harus minta maaf.." Lelia tergelak. Sebenarnya masalah ia dan Zafa pun belum selesai. Atau bisa dikatakan belum jelas. Ia belum tau akan ke mana jadinya karena belum ada titik terang sama sekali.
"Apapun yang terjadi, pokoknya Yana dukung kakak sama bg Zafa."
"Hahaha, kamu ini. Nggak udah bahas kakak ya. Kan ini hari spesial kamu. Btw, itu suami kamu ganteng banget. Nemu di mana?"
"Emang barang bekas, nemu.."
"Bukan barang bekas tapi barang hilang.." lalu keduanya tertawa. Sejenak Yana lupa masalahnya. Meski ia sendiri tak tau apa masalah yang ia punya.
...
"Mana Yana, kak?" tanya Diah yang baru sampai. Beberapa tamu juga sudah datang untuk menikmati resepsi. Sesuai permintaan Yana, acara akad dan resepsi diadakan di rumahnya dan tidak menyewa gedung. Yana berspekulasi setidaknya kalau acara di rumah tidak akan terlalu merepotkan karena harus bolak-balik.
"Bentar lagi keluar.." Leila tersenyum. Ia bertemu dengan Ama dan Zafa. Leila menyapa wanita itu sekilas, namun memilih untuk tidak menatap Zafa.
"Bram mana?" tanya Lelia.
"Baru selesai ganti baju. Bentar lagi ke sini, eh tuh dia.."
Bram terlihat menyapa beberapa tamu sekilas, lalu menghampiri Lelia dan lainnya menunggu kedatangan Yana.
Tak lama Yana pun muncul. Ia tersenyum.
"Yan, ini beneran lo?" Diah terkejut.
"Duh cantiknya pengantin baruku," Adira juga terpukau.
Ama tersenyum. Ia memeluk putrinya itu. "Duh lagi hari bahagia, ya, nggak boleh sedih dong." Ia menyeka bawah matanya dengan tisu. Terlalu terharu dan bahagia. Semua yang di sana tertawa.
"Ayo. Tamu udah pada datang.."
"Bram, gandeng dong.." goda Diah.
Bram mendekat, mengulurkan tangan. Yana tersenyum tipis lalu menerima uluran tangan Bram. Ia melingkarkan tangan di lengan Bram menuju ke pelaminan.
...
Yana menatap Rayga yang tengah bernyanyi di panggung dengan Diah bermain piano. Persembahan untuknya. Yana tak bisa menahan air matanya. Setelah berjam-jam air matanya baru keluar sekarang. Yana segera menyeka air matanya.
Lagu Why I Love You milik Major mengalun sangat merdu. Ditambah permainan piano milik Diah membuat semua terbuai dalam suasana.
Tepuk tangan meriah mengakhiri penampilan Rayga dan Diah. Mereka menunduk memberi salam kemudian kembali ke tempat duduk. Yana menyeka lagi air matanya. Ia memandang seluruh keluarganya. Semuanya tersenyum. Semuanya bahagia. Tapi di dalam hati Yana hanya bisa mengucapkan maaf. Sebab ia terpaksa mengumbar senyum palsu. Sesungguhnya dia tidak merasakan kebahagiaan seperti yang semua orang rasakan saat ini.
Sementara itu, Bram juga sedang menatap ke satu tempat. Satu titik. Di sana Antita tengah tersenyum tulus menatapnya. Hal itu membuat d**a Bram terasa semakin sakit, karena ia tau bahwa senyum Antita adalah senyum palsu. Kemudian gadis itu berlalu. Menandakan bahwa Bram benar-benar telah kalah.
***