Rainy 01
"Mas Fuji mau ngenalin lo sama seseorang.." Adira menarik tangan Yana. Gadis itu menghela napas. Sebenarnya malas mengikuti perkataan Adira. Tapi akhirnya dia duduk juga. Meski tak ada sedikitpun senyum di wajahnya.
"Senyum dikit dong, Yan. Mas Fuji udah di jalan nih. Katanya bentar lagi sampai..." Adira menatap Yana setengah memelas.
Yana lantas memutar bola matanya. "Emang Mas Fuji mau ngenalin gue sama siapa sih? Kalau sama teman-teman Jepangnya gue nggak mau ya. Malas. Lo tau gue nggak bisa bahasa Jepang dan gue nggak tertarik.."
"Kalau ganteng gimana? Kayak Shuuhei Nomura. Nah loh?"
Yana mencebikkan bibirnya. "Ngimpi aja ada yang mirip Shuuhei Nomura. Dia itu one and only.."
Adira terkekeh. Ia tau betul betapa sukanya sahabatnya itu dengan aktor Jepang yang satu itu. Walaupun faktanya Shuuhei Nomura lebih muda dari mereka. Tapi saking gilanya saat itu, Yana pernah meminta bantuan Fuji untuk menghubungi teman-temannya di Jepang hanya untuk mendapatkan tanda tangan Shuuhei. Itu semua karena Yana tidak pernah punya kesempatan untuk ke Jepang. Padahal Adira sudah dua kali ke sana.
Yang pertama memang niat jalan-jalan dengan teman-temannya yang sialnya saat itu Yana ada tes untuk kenaikan jabatan. Dan yang ke dua adalah untuk bertemu dengan calon mertuanya, yang tak lain adalah keluarga Fujiyama Hashira. Tunangan Adira.
"Mau dia mirip tetap aja dia bukan Shuuhei. Lagian niat banget sih Mas Fuji mau ngenalin gue segala. Ini pasti lo kan yang nyuruh? Lo cerita apa ke Mas Fuji? Bilang kalau gue patah hati?"
Adira menyipitkan matanya. "Ih lo kok negatifan gitu ke gue. Niat gue kan baik. Lagian lo itu nggak move on- move dari patah hati lo. Ini tuh udah hampir satu tahun. Lo lupa sama janji kita yang pengennya nikah bareng-bareng?"
Yana menghela napas berat.
"Gue bukannya nggak mau tapi.." Yana tak melanjutkan kalimatnya. Ini adalah masalah hati. Lebih dari itu ini adalah tentang pernikahan. Itu bukan hal main-main. Yana tak pernah punya pikiran untuk taaruf. Dikenalkan oleh orang, pendekatan sebentar, cocok lalu menikah. Sungguh skenario semacam itu tidak ada di dalam rencana hidupnya. Baginya sangat tidak mungkin dirinya bisa menikah dengan orang yang baru dikenalnya. Bagaimana bisa orang melakukan itu?
Lo bakalan hidup sama orang itu selamanya, man? Terus lo bakal nikah sama sembarang orang gitu? You must be joking.
"Ya anggap gue bakalan srek sama orang yang bakal dikenalin Mas Fuji. Tapi tetap aja itu nggak mungkin, Ra.."
"Apanya yang nggak mungkin?"
"Nggak mungkin juga kita nikahnya bareng."
"Loh kenapa enggak?"
"Lo gila? Lo nikah tuh akhir tahun ini. Dan sekarang udah bulan Oktober. Terus maksud lo gue pedekate dua bulan terus nikah? Sorry, tapi lo tau kalau gue bukan penganut sistem cepat saji."
"Ya enggak cepat saji juga. Ya gini aja, minimal lo kenal dulu deh. Seenggaknya lo bisa ganti suasana gitu. Lo sadar nggak sih beautyku, kalau hari lo itu hujan terus setahun ini. Lo itu butuh matahari sunshine. Ok.."
Yana kehabisan kata-kata untuk menolak niat Adira. Sahabatnya itu kalau sudah dalam mode gencet terus pantang mundur, maka tak akan bisa dihentikan. Jadi sebaiknya Yana menerima saja. Selanjutnya akan dipikirkannya nanti. Ya semoga saja.
"Semoga aja nggak ganteng," batin Yana.
***
"Gila apa si Adira ya? Gue nggak segitunya juga patah hati. Apa? Hari gue setahun ini hujan terus?" Yana geleng-geleng kepala mengingat kata-kata Adira. Yana selesai mencuci tangannya. Ia menatap pantulan dirinya di kaca. "Semangat, Deyana!!"
Yana keluar dari toilet. Ia menarik napas dalam. Tiba-tiba dia jadi grogi. Seperti remaja yang hendak pergi kencan untuk pertama kali. Ia merapikan bajunya sekali lagi. Lalu dengan mantap melangkah menuju mejanya.
Samar-samar Yana melihat kalau orang yang ditunggunya sudah datang. Ia bisa melihat Fuji dengan jelas karena pria itu duduk di sebelah Adira. Sedangkan si pria teman Fuji berada dalam posisi membelakanginya. Yana benar-benar menarik napas dalam.
"Nah nih dia anaknya.."
"Hai Yan.." sapa Fuji. Pria dihadapan Fuji lantas membalik badannya. Yana menahan napas. Dan..
"What!" jerit Yana di dalam hati.
***
Yana membeku. Adira lantas melirik sahabat dan pacarnya bergantian.
"Duduk, Yan.."
Yana mengerjap beberapa kali. Ia berharap kalau dia salah lihat. Tapi tidak. Berapa kalipun Yana menutup dan membuka matanya, pemandangan di depannya sama sekali tidak berubah.
Yana duduk, dengan perasaan yang aneh tentunya.
"Yan, kenalin ini Bramanaka Yash. Bram, kenalin ini Deyana.." Fuji mengenalkan keduanya.
Baik Bramanaka maupun Yana tak ada yang berkutik. Sampai Bram mengulurkan tangan lebih dulu. Dengan canggung Yana menjawab uluran tangan Bram. Lalu semua kembali seperti normal. Kecuali Yana tentunya.
Yana mencuri pandang pria di sebelahnya itu. Ia mengernyit. Apa dia salah orang? Rasanya tidak. Namanya pun sama. Tapi kenapa sikap pria di sebelahnya ini biasa saja? Kenapa Naka yang dikenalnya bersikap seolah tak mengenalnya? Kenapa pria itu acuh saja seolah ini memang pertemuan pertama mereka?
Mereka bahkan bisa dikatakan lebih dari kenal. Ya tentu saja.
"Mau makan apa nih? Rata-rata menunya seafood ya. Kayaknya kita salah tempat nih," kata Fuji.
"Kenapa?" tanya Adira.
"Si Bram kan nggak makan seafood. Aku lupa kasih tau kamu.."
Adira manggut-manggut. Sungguh Yana ingin tersedak meski tak ada apa-apa di kerongkongannya. Bramanaka tidak makan seafood? Yang benar saja? Sejak kapan?
"Yah, kenapa nggak bilang dari tadi? Harusnya kita ke restoran Italy aja tadi. Kirain suka seafood. Soalnya Yana kan setan seafood.." kata Adira.
Yana memutar bola matanya. Masih merasa tak masuk akal dengan semua ini. Alhasil dia tak mengucapkan sepatah katapun.
"It's okay. Gue nggak apa-apa kok. Ada menu lain juga kan.." akhirnya Bramanaka bersuara. Ia melihat menu. Mereka semua sudah menyebutkan pesanan. Kecuali Yana. Pandangan dan pikirannya entah sedang di mana saat ini.
"Lo nggak makan, Yan?" Adira membuyarkan lamunan Yana. Tiba-tiba Yana merasa lebih baik seseorang yang mirip Shuuhei yang datang.
"Apa aja deh.." jawabnya. Dia hilang nafsu makan. Yana bahkan rasanya ingin pulang saja.
Adira sebagai sahabat terlalu peka sehingga ia menyadari kalau ada yang salah dengan Yana. Ia menatap sahabatnya itu lama. Tapi karena tak enak bertanya, akhirnya Adira memilih memendam dulu.
"Jadi sekarang kerja di mana, Bram?" itu Adira yang bertanya. Dia merasa butuh membantu Yana. Ia mengira kalau Yana malu-malu. Sebab dia sendiri punya ekspektasi tinggi tadi saat pertama kali bertemu Bramanaka. Pria itu tampan, manis, baby face, dan tinggi. Jelas masuk dalam semua kategori most wanted guy. Barang yang terlalu bagus untuk disia-siakan. Dan Adira berharap Yana benar-benar work out dengan sahabat kekasihnya itu.
"Bantu usaha keluarga, terus ada usaha sampingan juga.." bahkan suaranya saja merdu.
Adira manggut-manggut.
"Usaha sampingan, huh," ledek Fuji. Adira melirik Fuji. "Punya showroom dia," sambung pria itu. Fuji benar-benar sudah mirip orang Indonesia. Bahasa Indonesianya saja sangat lancar.
Adira manggut-manggut. Takjub.
"Yan, ngomong dong. Lo nggak mau nanya apa gitu? Zodiac nya mungkin," celetuk Adira tiba-tiba.
Yana tersadar. Kembali tertarik ke dunia nyata. "Hah?"
Yana memandang Bram. Sementara pria itu memandang jari-jarinya.
"Hmm, lahir tahun berapa?" alhasil itulah pertanyaan yang meluncur dari mulut Yana.
"92.."
"Lah, tua si Yana dong.." lagi-lagi Adira nyeletuk. Yana harusnya melotot. Tapi tidak. Ia sama sekali tak terkejut dengan jawaban Bramanaka. Yana lantas mengangguk dua kali.
"Lo nggak nanya Yana lahir tahun berapa?" kali ini Fuji ikut andil. Dua sejoli itu benar-benar berusaha keras. Dua orang yang dihadapan mereka seolah tak tertarik pada masing-masing. Entah karena malu atau memang tak tertarik. Padahal Fuji merasa pilihannya sudah tepat. Seperti yang Adira jelaskan. Semua kriteria Yana ada pada Bramanaka.
"Perlu banget gitu Mas? Ketahuan dong aku tuanya," kata Yana akhirnya. Fuji tertawa pelan.
"90?" tebak Bramanaka.
"Wahhh.. kok lo bisa langsung bener gitu, Bram? Jangan bilang lo juga tau bulan lahir dia.." ujar Fuji sembari tertawa. "Jangan-jangan jodoh.." niatnya sih bercanda.
"Akhir tahun?"
"Wew.." kali ini Fuji benar-benar terkejut. "Jodoh beneran kalian.."
Adira pun sama terkejutnya. Semua ketakjuban itu akhirnya memudar setelah pesanan mereka datang. Dan Yana bersyukur Adira dan Fuji tak bertanya yang aneh-aneh lagi. Keduanya sudah sibuk dengan makanan mereka. Yana menatap makanan di depannya. Nafsu makannya benar-benar hilang.
***
"Wah, nggak nyangka Mas Fuji punya temen kayak gitu. Harusnya minta kenalin dia dari dulu aja ya. Kan bisa lebih cepat prosesnya..."
Yana masih fokus menyetir. Perhatiannya tertuju pada jalanan yang sedikit macet. Mobil berhenti di lampu merah.
"Barang bagus emang keluarnya terakhir gitu yaa.."
Yana menghidupkan musik. Lagu Because I Love You Boy milik Suzy menggema di dalam mobil. Yana melirik jam tangannya. Adira masih berceloteh tentang pertemuan tadi. Namun tak lama ia menyipitkan matanya. Memandang Yana.
"Jadi kenapa dengan lo?"
"Hah?"
"Lo kenapa?"
"Apanya yang kenapa? Gue nggak kenapa-kenapa.."
Adira melipat tangannya. "Gue kenal lo, Yan. Muka lo tuh terlalu jelas tau nggak. Lo kayaknya nggak tertarik sedikitpun sama Bramanaka.."
Yana tersenyum canggung. "Siapa bilang? Gue tertarik kok.."
"Nggak usah maksa gitu deh. Muka lo nggak bisa bohong. Lo sadar nggak kalau lo cuma ngomong 2 kalimat doang tadi. Et, jangan pakai alasan malu atau grogi.."
Yana memutar bola matanya.
"Jujur sama gue. Jangan bilang lo masih belum move on. Ayo dong, Yan. Gimana bisa move on kalau lo aja nggak ada niat dan usaha untuk itu."
Yana lantas menghela napas.
"Bram kurang apa coba? Dia mapan coy. Nggak cuma mapan. Dia ganteng, terus tajir melintir gitu."
Yana masih diam.
"Apa yang salah? APa yang kurang? Coba bilang ke gue.."
Yana masih diam.
"Kalau lo merasa belum srek wajar aja. Kalian baru sekali ketemu. Pedekate dulu. Ketemu beberapa kali lagi, habis itu pasti dapat feel.." Adira membujuk.
Lampu menyala hijau.
"Gue udah ketemu dia berkali-kali.." Yana akhirnya menjawab.
"Hah?"
Yana menoleh. "Kalau lo mau tau apa yang salah. Gue kasih tau. Bramanaka itu mantan gue."
Adira melotot. Tak bisa menahan keterkejutannya.
"Anjir. Lo serius? Kapan? Kok bisa?"
Yana menghela napas. Terlalu malas menjawab. Atau lebih tepatnya terlalu malas mengulang cerita. mengulang sama saja dengan mengungkit. Untuk hal satu itu Yana benar-benar tidak tertarik.
"KAPAN LO SAMA BRAMANAKA JADIAN?!"
***