H-12
"Astaga Ta, kompornya..!!!" Antita tersentak dari lamunan. Ia terkejut saat kualinya sudah gosong. Viola sudah mematikan kompor.
"Kamu ini kenapa melamun sih? Untung aja nggak kebakaran.." omel Viola.
Antita berkali-kali meminta maaf.
"Kamu lagi mikir apa sih? Sampai nggak sadar gini.."
Antita menatap kosong kualinya.
"Tante ngerti kamu lagi banyak pikiran. Tapi jangan kayak gini. Ini bisa bahayain diri kamu sendiri.." Viola menepuk bahu Antita.
"Kamu istirahat dulu. Dari kemarin istirahat kamu kurang.."
"Tante Nora udah tidur?"
Viola mengangguk. "Kamu juga mending pulang. Istirahat. Biar tante yang urus ini.."
Sekali lagi Antita meminta maaf. Ia kemudian pamit. Sebelum berlalu, Antita memandangi tangga menuju ke lantai atas. Dulu ia bisa dengan mudah menaiki tangga itu. Sekarang melangkah saja terasa berat. Meski Bram sudah tak di sana. Tetap saja ia tak bisa sekedar untuk melihat kamar pria itu. Antita menghela napas, kemudian berlalu.
Viola menyaksikan dari kejauhan. Ia pun mengerti dengan kondisi gadis yang sudah dianggapnya ponakan itu. Tapi Viola pun tak punya kuasa apa-apa. Viola kembali ke dapur.
...
Antita sampai di rumah. Ia menyalakan lampu. Menatap kosong ruang tamu. Tempat itu tak berubah. Antita tiba-tiba menangis. Tak tahan lagi dengan beban yang ditahannya beberapa bulan terakhir. Antita jongkok di lantai, menangis kencang.
Tiba-tiba ada yang mengetuk pintu.
"Antita, buka pintunya!!"
Antita bergegas menyeka air matanya.
"Bram, kamu ngapain di sini?" tanyanya terkejut saat mendapati Bram di depan pintu rumahnya.
Bram nyelonong masuk.
"Bram.."
Bram menarik lengan Antita.
"Aku udah nggak tahan lagi.."
Antita mengerutkan kening.
"Aku nggak bisa.." ucap Bram lirih. Di tatapnya gadis itu.
"Bram kenapa—" Antita lebih dulu bungkam saat Bram menciumnya. Sesaat Antita masih terkejut. Ia mendorong Bram.
"Kamu kenapa? Bram jangan gini.." Antita memohon.
Mata Bram sudah berkabut. Dia menangkup wajah Antita.
"Kita nggak usah perduliin orang-orang. Kenapa kita harus berkorban untuk mereka?"
"Apa maksud kamu?"
"Kita akan buat mereka merestui kita. Kalaupun mereka nggak setuju, kita nggak usah perduli.."
Antita benar-benar tak mengerti. Ia menggeleng. "Tenang dulu Bram. Ada apa?"
Tiba-tiba Bram menarik Antita ke dalam kamar. Di dorongnya gadis itu ke kasur. Antita terkesiap kaget. Sebelum sempat bicara Bram sudah lebih dulu membungkam mulutnya. Antita cukup kesusahan mengendalikan Bram.
Blousenya sudah terangkat setengah badan. Mengekspose perut ratanya. Jari-jarinya menyatu dengan jari Bram. Antita terlena. Tenggelam dalam buaian.
Ciuman Bram makin merajalela. Bram melempar bajunya asal. Ia kembali mencium Antita.
Nyari saja. Antita nyaris ikut tenggelam. Antita nyaris terbuai. Untung ia cepat sadar bahwa yang mereka lakukan salah. Salah besar.
"BRAM!!"
Gerakan Bram terhenti seketika.
"Ini bukan jalan terbaik. Ini salah.." ucap Antita lirih. Ia terisak.
Tangan Bram mengepal. Ia bangkit dan berlalu menuju kamar mandi. Setelahnya yang Antita dengan adalah bunyi kaca pecah. Antita bangkit berlari menuju kamar mandi.
"BRAM!!" Antita kalang kabut melihat darah mengucur dari sela jari-jari Bram. Kaca kamar mandi sudah pecah dengan darah di bekas pecahan. Antita berusaha mengontrol diri di tengah situasi yang sangat-sangat tak mendukung.
Bram meluruh ke lantai.
"Kenapa kamu tega sama aku, An?" Isak pria itu lirih.
Antita pun membeku. Ia menggigit bibir, meredam isakan.
"Kenapa mereka tega sama aku, An?!!"
Antita langsung memeluk Bram. Tangis Bram pecah dalam pelukan Antita.
...
Yana tersentak dari tidurnya. Ia beku dalam beberapa detik. Jam di meja nakas menunjuk di angka 3 pagi. Ponselnya menyala, pesan masuk. Yana meraih ponselnya.
SAYN : undangannya udah sampai. You look so fairy ?❣️
Yana tersenyum. Ia meletakkan kembali ponsel ke meja nakas. Kemudian Yana melanjutkan tidurnya.
...
Pesawat yang membawa Yana dan Bram sudah mendarat. Mobil yang menjemput juga sudah menunggu.
"Kalau masih ngantuk tidur aja. Perjalanan masih 40 menit," kata Bram sembari memperbaiki posisi duduknya. Mencari posisi terenak.
Tiba-tiba perut Bram berbunyi. Yana menoleh. "Kamu lapar?"
"Dikit. Tadi nggak sempat sarapan soalnya.."
"Mau makan dulu?"
Bram menggeleng. "Ntar aja. Eyang pasti udah masak." Laki-laki itu memejamkan matanya. Yana memandang sebentar lalu mengalihkan pandangan ke arah luar.
Tak ada lagi obrolan apa-apa. Bram tidur. Sementara Yana fokus pada pemandangan di sepanjang perjalanan yang mereka lalui.
"Mungkin suatu saat aku akan ke sini lagi, sendiri. Jadi aku harus ingat tempat ini baik-baik," batin Yana.
...
Yana terpana. Terpaku di tempatnya dengan pandangan lurus ke rumah dengan gaya klasik mediteran. Mewah. Elegan.
Yana benar-benar terpukau. Ia tau kalau Bram berasal dari keluarga kaya. Cuma dia tak menyangka akan sekaya ini. Mungkin eyang Bram konglomerat.
"Ayo.."
Yana mengikuti Bram menuju ke pintu utama. Barang-barang sudah dibawakan oleh pelayan. Sepanjang langkah Yana menerka-nerka ada berapa pelayan di rumah itu. 10, 15, 20 ? Atau lebih dari pelayan yang dipunyai keluarga A6?
"Wah sudah datang, cucu eyang.." suara berat yang hebatnya terdengar anggun tapi seram secara bersamaan itu berhasil menarik Yana dari keterpukauannya terhadap furnitur di dalam rumah. Mereka masih di ruang tamu dan Yana nyaris tak bisa berkata-kata. Jangan-jangan Eyang Bram ratu minyak dari Arab.
"Eyang.." Bram langsung menyalim wanita yang sudah berusia 76 tahun itu. Anehnya dia masih sangat segar. Cantik. Anggun. Elegan. Dan... ramah, mungkin.
"Eyang kangen sama kamu. Susah banget pulang ngunjungin eyangnya.." wanita itu mencubit pipi Bram. Laki-laki itu hanya tersenyum manis.
Yana hanya bisa beku di tempat. Tak melakukan apa-apa.
"Ini pasti Deyana, ya? Ayo sini, kenapa diam aja di situ?"
Yana memaksa senyumnya muncul. Lalu dengan ragu melangkah mendekat dan masuk ke pelukan eyang yang sudah merentangkan tangan. Ia mengusap-usap punggung dan rambut Yana penuh kasih.
"Cantiknya.." pujinya.
Eyang melepaskan pelukan. Namun ia menahan tatapannya lama pada Yana. Meneliti wajah gadis itu. Yana jadi risih dan kikuk.
"Eyang, capek nih. Kita boleh duduk nggak?" Bram memecah keheningan. Yana menghembuskan napas lega.
"Eh iya, duh boleh dong sayang. Ayo duduk. Bikinin minum ya, Widya.."
Wanita yang Yana tak tau sejak kapan ada di sana itu mengangguk. Yana menerka siapa wanita bernama Widya itu. Sepertinya bukan pembantu karena gayanya terlalu elegan untuk seorang pembantu.
"Gimana perjalanannya? Lancar?"
"Alhamdulillah eyang.."
"Gimana Deyana? Eyang ya tinggal di sini. Desa.." ia tersenyum lagi.
Yana mengangguk. Berusaha tersenyum manis dan tidak canggung. "Suasananya enak eyang. Adem. Sejuk."
"Suka?"
"Suka eyang. Banget malah.."
"Wah, kalau gitu tinggal di sini saja. Gimana? Habis menikah kalian bisa tinggal di sini. Kita bisa tinggal di sini sama-sama.." eyang langsung bersemangat. Bram mengernyit.
"Eyang, eyang. Nggak bisa gitu.."
"Loh kenapa? Deyananya suka kok di sini.."
Bram harus cepat bertindak sebelum kata-kata eyangnya menjadi kenyataan.
"Kita kerja eyang. Bram kerja. Yana juga. Nggak mungkin kerjaan kita ditinggalin." Alasan yang bagus.
"Walah.." seketika semangat eyang memudar.
"Eyang sayang, kan kami bisa sering-sering main ke sini. Eyang nggak usah khawatir ya," Bram membujuk eyang.
Sementara ketiga orang itu larut dalam obrolan, terdengar suara anak kecil berlari dari arah pintu depan.
"Om Naka....!!!" Anak laki-laki yang memakai pakaian jas lengkap itu langsung menghambur ke dalam pelukan Naka.
"Damara, panggilnya kakak, bukan om.." tegur wanita cantik bergaun pastel yang langsung menyalami eyang. Di belakangnya berdiri seorang pria dengan pakaian jas lengkap tengah bicara di telfon.
"Bukan. Ini om bukan kakak.." ujar anak kecil bernama Damara itu dengan wajah yang sangat imut.
"Loh kenapa sudah pulang?" tanya eyang.
"Ini, Damara ngotot minta pulang. Acara bahkan baru mau mulai. Tapi dia nangis, nggak mau di sana. Mau ketemu Bram.."
Bram tersenyum tipis.
Yana yang tak tau apa-apa hanya bisa diam. Jika Yana menebak, wanita itu sepertinya ibu tiri Bram. Kalau ini ibu tiri Bram, lalu Widya tadi siapa.
Tak lama Widya muncul dengan nampan berisi minuman.
"Loh, mas mbak kok sudah pulang?" ia pun sama kagetnya.
"Ini Damara, nangis mau ketemu Bram. Tadi dia denger papanya nelpon. Langsung nangis pas tau Bram udah di rumah.."
Bram dan Damara sudah sibuk bermain berdua. Seperti punya dunia sendiri. Hanya Yana yang seperti kambing congek.
"Ini ya Deyana, calon istrinya Bram.." wanita itu tersenyum. "Saya Asifa, ibu Bram.."
Yana manggut-manggut sambil tersenyum. Pura-pura sudah tau seolah Bram sudah menceritakannya. Padahal nyatanya Bram tak mengatakan apa-apa. Nama ibu tiri Bram Asifa saja Yana tak tau.
"Itu Damara, anak saya, adiknya Bram. Ayo Damara sayang salim dulu sama kakaknya.." panggil Asifa.
Bocah itu terdiam sebentar. Memandang Yana lurus selama beberapa detik.
"Mami itu bukan kakak, itu tante..." katanya.
Sontak saja Eyang dan Widya tertawa sementara Asifa geleng-geleng kepala. Yana pun tersenyum. Damara kemudian sudah kembali asyik bercanda dengan Bram.
"Maaf ya Deyana, dia memang kalau sudah sama Bram bisa lupa lingkungan.."
Yana mengangguk.
"Buk.." suara bariton itu terasa membekukan ruangan seketika. Pria berbadan tegap itu berdiri kokoh di samping kursi yang diduduki eyang.
"Sudah datang."
Yana langsung bangkit, menyalami. Sementara Bram masih di posisinya. Selang beberapa detik barulah ia bangkit, ikut menyalami ayahnya itu.
"Gimana perjalanannya Deyana?" Pria itu mengukir senyum ramah di wajahnya. Meski masih terlihat tegas.
"Lancar, om.." ucap Yana ragu-ragu.
Hanan, papa Bram mengangguk. Ia kemudian mengatakan sesuatu kepada eyang. Setelahnya ia pamit. Sepertinya ada urusan.
"Damara, kasih kak Naka istirahat dulu, sayang.."
Seperti sudah menulikan telinga, bocah itu sama sekali tak perduli.
"Oh iya, bagaimana kalau kita makan dulu? Kalian lapar kan? Ayo.." ajak eyang.
...
Selesai makan siang, Yana menuju ke kamar yang sudah disediakan. Dia diantar oleh Widya. Sedangkan Bram entah ke mana. Mungkin ke kamar miliknya.
"Ini kamarnya Bram.." kata Widya membuat Yana terkejut.
"Hah?"
"Ayo masuk.."
Yana masih melongo. "Ka-kamar Bram? Maaf tante, mungkin tante salah nganter saya. Kenapa ke kamar Bram?"
Widya tersenyum. "Nggak salah kok. Ini memang kamar buat kamu. Bram di kamar yang lain. Lagian dia nggak akan istirahat juga. Pasti Damara bakal ngoceh seharian.."
Yana mau tak mau menerima. Ia menelan ludah. Kamar Bram? Sungguh?
"Kamar ini udah lama juga nggak ditempati. Sekitar 2 tahun. Kalau dulu Bram masih sering pulang ke sini, tapi dua tahun terakhir nyaris nggak pernah nginap lagi. Pulang juga palingan sekali sebulan. Itupun nggak nginap. Biasalah, alasan kerjaan.." jelas Widya.
Yana manggut-manggut. Perhatian Yana tertuju pada jejeran figura yang bertengger di atas meja hias. Banyak foto Bram di sana. Rata-rata adalah foto dia bersama eyang dan Damara. Meski kebanyakan adalah foto dirinya dan Damara.
"Damara memang sangat lengket sama Bram. Jangan kaget ya.."
Yana tersenyum tipis sembari menggeleng.
Matanya kemudian tertuju pada satu foto. "Bram sepertinya juga sangat dekat dengan Antita.." di foto itu Bram dan Antita tengah bermain sepeda dengan Bram di depan dan Antita dibonceng di belakang. Jika dilihat sepertinya foto itu diambil sekitar 3 atau 4 tahun lalu. Di sana Bram tersenyum sangat lebar. Antita pun sama.
"Oh, hm, iya. Mereka sepupu. Bram itu dulu anak tunggal. Sepupunya yang lain jauh, hanya Antita yang dekat. Makanya mereka cukup akrab," jelas Widya.
Yana menatap foto itu lagi, tanpa kata.
"Kalau gitu tante tinggal dulu ya. Kalau ada apa-apa jangan sungkan buat ngomong. Kamu istirahat ya. Tante tinggal dulu.."
Pintu tertutup. Meninggalkan Yana sendiri di dalam kamar yang dipenuhi nuansa Bramanaka. Yana belum duduk. Masih menyisir seluruh ruangan dengan pandangan yang bisa ia jangkau. Tak terlalu banyak aksesori mencolok. Kamar Bram sama seperti kamar pada umumnya.
Yana membuang napas pelan. Ia merebahkan tubuh di kasur. Telentang menghadap langit-langit.
Ia bahkan sudah di kamar Bramanaka. Tapi tak ada clue apa-apa yang bisa Yana dapatkan.
"Apa aku memang harus nikah sama kamu, Naka?" Yana menghela napas.
***