Rainy 04

1721 Words
Yana sungguh mengantuk. Matanya terasa benar-benar berat. Rasanya sehari ini ia ingin tidur saja, tak beranjak dari kasur. Rasanya tak ada yang lebih nikmat daripada memeluk guling dan bergelung di dalam selimut kesayangannya. Namun rencana itu batal saat Adira dengan lancang dan kurang ajar merenggut kenyamanannya. Menarik paksa selimut dan bantalnya, lalu memaksa Yana bangun. Tujuannya apalagi kalau bukan untuk mendengar cerita Yana tentang kencan tadi malam. Yana rasanya ingin melempar Adira dengan lampu tidur. Tapi tak jadi saat ingat kalau Adira sebentar lagi akan menikah. Kasihan Fuji. "Ini masih pagi, Ra. Lo nggak tau betapa berharganya waktu gue hah? Jarang-jarang gue bisa tidur kayak gini di hari Minggu. Mumpung nggak ada deadline project nih!!" Yana memaki. "Ini udah jam berapa, Yan? Cewek masa kesiangan. Keburu jodoh ditikung orang.." Yana mengumpat dalam hati, mengucapkan segala macam sumpah serapah yang ia punya sejak SD hingga sekarang. "Gue gak perduli. Tidur gue lebih penting! Sini balikin guling sama selimut gue!!" "Nggak mau. Lo bangun sekarang, terus mandi dan dandan yang cantik. Temenin gue buat lihat souvenir nikahan." "Anjir!" Adira terlihat tak perduli. Ia melangkah menuju walk in closet Yana, memilihkan baju untuk sahabatnya itu. "Mending lo bunuh aja gue, Ra." *** Saat Yana turun ia menemukan Ama dan Adira tengah tertawa. Sepertinya keduanya tengah membahas sesuatu yang asyik. Kalau Yana tebak sepertinya tak akan jauh dari masalah kue. Sebab Adira memang seorang pattisier dan sudah membuka cabang toko di hampir semua kota besar di Indonesia. "Nah kan cantik kalau gini. Hari Minggu itu ya harusnya begini. Bangun pagi, dandan yang cantik, biar segar." Yana hanya tersenyum awkward mendengar kata-kata sang bunda. "Ama kapan sampai? Mas Zafa mana?" Yana mengalihkan perhatian sang bunda. "Ama udah dari jam 3 tadi sampai. Kamu sih tidurnya keenakan jadi nggak denger. Mas Zafa udah pergi dari pagi, balik kayaknya." "Ama ketemu mas Zafa nggak?" Wanita paruh baya itu mengangguk. "Mas Zafa bilang sesuatu?" Ama menggeleng. "Kenapa? Emang bilang apa?" Yana bergegas menggeleng. "Oh enggak kok." "Yan, ini Adira udah mau nikah. Kamunya kapan mau ngenalin ke—" "Ra, yuk, ntar keburu macet. Ama, Yana berangkat dulu ya. Bye.." Yana dengan cepat menarik lengan Adira. Membuat Adira berdiri terburu-buru dan pamitpun terburu-buru. "Selamat, selamat.." Yana mengusap-usap d**a saat sudah sampai di dalam mobil. "Buruan. Lo hutang nih sama gue," sungutnya. *** Adira melongo begitu mendengar cerita Yana. Ia jadi emosi sendiri. "Jadi cuma gitu doang?" Yana mengangguk santai sambil mengunyah marshmellow yang selalu tersedia di dalam mobil Adira. "Jadi lo sama dia cuma ngobrol 15 menit, terus tiba-tiba Bram dapat telpon habis itu dia pergi gitu aja. Ninggalin lo? Seriously?" Adira masih tak percaya dengan cerita Yana. "Iya. But, dia nggak pergi gitu aja sih. Dia pamit kok sama gue." "Tetap aja itu k*****t, Yan! Taik. Emang harusnya gue nggak bantuin dia. Udah susah-susah bikin janji, eh dia main pergi aja. k*****t banget tuh cowok. Emang ya cowok tuh dikasih hati minta jantung. Nggak ada yang bisa dipercaya." Yana tergelak sendiri melihat Adira yang sewot. Harusnya dia yang marah, tapi melihat Adira yang kesal begini membuat Yana sedikit terhibur atas kekesalannya tadi malam. Ya, date bersama Bramanaka tidak berjalan seperti yang kebanyakan orang bayangkan. Awalnya Yana memang sempat berhayal, berekspektasi. Itu juga yang kemudian membuatnya kesal dan ... agak kecewa. Bagaimana tidak? Mereka baru mengobrol sekitar 15 menit. Itupun baru bertanya tentang kegiatan mereka seharian dan waktu 5 menit habis untuk memesan makanan. Lalu tiba-tiba Bram mendapat telpon entah dari siapa, yang yang jelas ada perubahan jelas di wajahnya. Setelahnya ia langsung pamit pada Yana, meminta izin karena katanya ada urusan mendadak—penting yang tidak bisa dihindari. Yana jelas tak punya pilihan lain selain mengizinkan. Memangnya dia siapa bisa menahan Bram untuk tetap tinggal? Bahkan makanan pesanan mereka belum datang. "Anjir. Gue harus minta ganti rugi. Gue yang bayarin semua makanan tadi malam," umpat Yana. "Anjir. Lo masih sempet-sempetnya mikirin duit. Ada yang lebih penting dari itu." "Heh, jelaslah gue mikirin duit. Lo kira gue dapet duit dari jin botol apa? Gue harus beli krim mahal buat hilangin mata panda karena begadang semalaman lo tau nggak." Adira menghela napas. "Makanya nikah biar lo nggak perlu begadang lagi." "Taik. Jangan bahas-bahas nikah deh. Lagi keki gue." Yana mengalihkan pandangan ke luar jendela. Adira memandang sahabatnya itu. Separuh hatinya kasihan pada Yana, tapi separuh hati lain juga tak bisa berbuat apa-apa. Dia memang kesal pada Bram. Tapi Adira merasa memang hanya Bram lah yang cocok bersama Yana. Jadi Adira tak punya pilihan lain, selain memberi Bram kesempatan lagi. Semoga saja Bram tak kembali mengecewakan Yana. "Ke mana Mas Fuji? Biasa lo sama dia." "Dia ke Bali tadi pagi, ada urusan kerja." Yana manggut-manggut. *** Yana memilih menunggu sembari melihat-lihat souvenir yang dipajang sementara Adira tengah berdiskusi dengan pemilik toko. Saat itulah tak sengaja Yana melihat dua orang memasuki toko. Tak hanya Yana, cowok itupun terlihat terkejut saat menyadari kehadiran Yana di sana. "Yana," sapanya yang terdengar lebih seperti menyebut. "Bram," balas Yana dengan senyuman aneh. Pandangan Yana tertuju sekilas pada sosok gadis cantik yang tadi datang bersama Bram. "Kenalin ini, Antita, sepupu aku." "Hai, Antita," ujar gadis itu ramah sembari mengulurkan tangan. "Deyana," balas Yana ramah. "Kamu ngapain di sini?" tanya Bram. "Aku ke sana dulu ya," Antita pamit meninggalkan Bram dan Yana. Bram mengikuti sosok Antita sampai gadis itu hilang di sisi lain toko. "Nemenin Adira," jawab Yana singkat. Dia masih belum lupa kejadian tadi malam. Biasanya dia memang dominan melupakan dengan cepat sesuatu yang dianggapnya tidak penting. Tapi ini beda urusannya. Ini adalah masalah harga dirinya. Bram manggut-manggut. "Cuma berdua?" Yana mengangguk lagi sebagai jawaban. Bram sepertinya mengerti dengan kekesalan Yana padanya. "Buat yang tadi malam, aku benar-benar minta maaf. Urusannya benar-benar mendadak dan nggak bisa ditunda," jelas Bram. Yana melirik ke mana saja selain Bram. "Tenang aja, aku nggak marah kok. Lagian kenapa aku harus marah?" Yana berusaha mengontrol suaranya agar terdengar tetap tenang. "Yan," Bram terdiam. Entah bagaimana ia bisa melirik pada satu titik hingga matanya bertemu dengan sepasang mata bening itu. Hati Bram rasanya teriris. Ia menarik napas dalam, meski itu membuat dadanya terasa semakin sesak. "I'm really sorry." Yana kali ini memandang Bram. "Aku nggak tau kenapa kamu minta maaf dan bersikap seolah kamu benar-benar butuh maaf aku. Dan aku nggak marah sama kamu karena kamu ninggalin aku tadi malam, Bram. Tapi aku nggak bisa bohong kalau aku kesal, sebab rasanya kamu berhasil melukai harga diri aku di pertemuan pertama kita. Udahlah nggak usah dibahas." Bram menatap Yana. "Give me another change?" Pintanya. Yana tergelak, lalu menatap Bram. "Kamu sadar nggak, itu terdengar seperti kamu minta kesempata untuk bisa nikahin aku?" Bram hanya diam. Yana jadi salah tingkah saat Bram tak kunjung membantah seolah yang Yana tebak adalah benar. "Adira kayaknya udah selesai. Nggak ada yang perlu dibicarakan lagi, kan?" Yana hendak berlalu. Tapi Bram menahan tangannya. "Aku serius," kata Bram tegas. Kali ini ia menatap tepat ke manik mata Yana. "Kamu pasti udah gila!" Yana menarik paksa tangannya. Tapi Bram lebih kuat menahan tangan Yana, lalu dengan mudah menarik balik Yana, meninggalkan toko. "Bram!!" Bram menyalakan mobil, melaju meninggalkan area itu. "Kamu udah gila hah?!!" Yana hanya bisa memegang seatbelt dengan kuat untuk mengurangi sedikit rasa takutnya karena saat ini Bramanaka mengemudi mobilnya dengan kecepatan super kencang. Jeritan Yana bahkan tak keluar saat Bram nyaris menyenggol mobil yang ia lewati. Jalanan memang tidak terlalu ramai, tapi dua tiga mobil di depan mereka cukup untuk menyebabkan kecelakaan besar kalau Bram melakukan sedikit kesalahan saja. "AAAAAAA!!!" Bunyi ban mobil berdecit kencang akibat beradu dengan aspal saat rem diinjak paksa dan tiba-tiba. Kepala Yana terbentar dashboard. Dia hanya memegang kuat seatbelt dengan kedua tangan dalam keadaan mata terpejam. Bram seperti tersadar. "Yana, Yan, kamu nggak apa-apa?" Bram menyentuh lengan Yana karena gadis itu terdiam, tak bergerak. Tangan dan tubuh Yana bergetar hebat. Bram benar-benar terkejut dan merasa bersalah. Apalagi saat air mata Yana mengenai tangannya. Tak berapa lama terdengar isakan gadis itu. "Yana, maafin aku. Aku nggak maksud—" Bram tak tau harus mengatakan apa. Ia melepas seatbelt Yana lalu menarik Yana ke dalam pelukannya. Bram memejamkan mata, semakin merasa bersalah. *** "Antarin aku pulang atau aku balik pakai taksi," pinta Yana setelah tangisnya reda. Bram menatap gadis itu yang tengah memunggunginya, menghadap ke luar jendela. Bram hendak menyentuh pundak Yana, namun membatalkan niatnya. Bram menarik napas. "Aku minta maaf." "Udah aku maafin. Sekarang anterin aku." "Yan—" "Buka kunci pintunya." Bram menghela napas frustasi. Namun beberapa detik kemudian ia berusaha mengontrol emosinya. "Yana, ayo kita nikah." Yana mendengus. "Aku nggak mau," tolaknya tanpa pikir panjang. Bram kehabisan akal. Dipaksanya Yana menoleh ke arahnya. Yana menatap Bram dengan tatapan tak suka. Bram jadi iba saat melihat kening Yana yang memerah dan perlahan berubah agak keunguan. "Aku serius, Yan." "Aku juga serius." Bram masih berusaha sabar. "Untuk malam itu aku benar-benar minta maaf. Aku emang salah ninggalin kamu di sana padahal kita udah janji. Tapi itu benar-benar mendesak. Aku ninggalin kamu bukan berarti aku mempermainkan kamu. Aku serius sama kamu. Kita udah dewasa, dan aku rasa kita nggak perlu lagi main petak umpet. Memang aku yang ngotot minta Fuji kenalin kamu ke aku. Waktu itu aku nggak sengaja lihat foto kamu sama pacarnya di hape Fuji. Pertemuan itu juga aku yang minta Fuji dan Adira mengaturnya. Hari ini juga. Adira yang kasih tau kalau kamu di sana. Aku sengaja ke sana buat nemuin kamu. Kita udah dewasa, jadi aku rasa nggak ada gunanya kita melakukan pendekatan kayak remaja semacam itu. Kita udah saling kenal juga. Jadi aku mau kita sama-sama serius. Aku nggak mau buang-buang waktu." "Terus urusannya sama aku?" Bram benar-benar harus sabar. "Aku mau ajakin kamu serius, Deyana." "Kita baru ketemu 1 kali—" "Kita udah ketemu 4 kali dan bahkan lebih. Kamu lupa sama yang dulu?" Yana menyeringai. "Itu cuma roman picisan. Apanya yang harus diingat?" Bram menatap Yana datar. "Aku bakal bikin kamu ingat lagi roman picisan itu," kata Bram sembari mendekat ke arah Yana, menarik kepala Yana lalu melumat bibir gadis itu. Selang beberapa detik. Mata keduanya bertemu. Jarak wajah mereka terlalu dekat, membuat Yana bisa merasakan hembusan napas Bram di wajahnya. "Aku nggak akan setuju meski kamu lakuin ini." Yana menyeka bibirnya. Membuka kunci mobil kemudian keluar dan meninggalkan Bram yang hanya bisa terdiam. "s**t!" Umpat Bram tanpa suara sembari memukul kemudi stir. ***
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD