"Cie Yan, dari tadi liatin hape mulu. Kayak ada yang chat aja.." Tyo dengan usilnya menyenggol lengan Yana. Gadis itu lantas menoleh.
"Ih, rese aja deh. Ngapain sih?"
"Ih, bu bos. Gitu doang marah. Lagi chat sama siapa lo? Tukang kfc?"
Yana rasanya mau menyumpal mulut hombreng Tyo.
"Lo bisa nggak sehari aja nggak lemes mulutnya?!" omel Yana. Tyo langsung kejer. Biasanya dia tidak akan ciut hanya dengan omelan Yana. Tapi hari ini melihat pancaran mata Yana membuatnya terdiam.
Yana menghela napas lalu kembali sibuk dengan ponselnya. Sesekali ia terlihat berpikir sembari menggaruk kepalanya. Entah siapa yang sedang di chat nya.
"Yan, lo nggak makan? Dari tadi cuman segelas kopi doang kayaknya.."
Yana menoleh. Memang hanya ada segelas kopi di depannya. Sedangkan teman-teman kantornya yang lain terlihat memakan makanan berat. Bahkan ada yang menambah porsi.
Yana menggeleng. "Ntar aja deh. Nggak ada selera gue makan.."
Diah mengangguk. Ia melirik jam di pergelangan tangannya. "Harus balik kantor nih. Udah mau habis jam istirahat. Pada balik nggak?"
"Iya gue juga. Kerjaan gue belum selesai, bisa diamuk atasan."
"Lo, Yan?"
"Duluan aja deh. Gue masih ada urusan.."
Beberapa teman kantor Yana sudah bangkit dan meninggalkan meja. Yana masih di sana. Sebuah pesan masuk. Ia membukanya dengan segera. Hanya dalam dua detik pertama, raut wajah Yana langsung berubah. Ia langsung bangkit, ke kasir dan membayar.
"Pin nya, mbak.." pinta kasir.
Yana menekan pin dengan cepat. Saking buru-burunya ia nyaris salah menekan angka.
"Terimakasih.." ujar pelayan sopan. Yana langsung bergegas bahkan setengah berlari. Saat di pintu tak sengaja Yana menabrak seorang cewek hingga cewek itu jatuh.
"Maaf, sorry. Saya nggak sengaja. Mbak nggak apa-apa?" Yana merasa bersalah.
"Mbak ini gimana sih? Jalan lihat-lihat dong. Kan kena teman saya jadinya.." omel cewek yang satunya. Yana jadi makin tak enak. Tapi yang ditabrak malah tersenyum.
"Udah, saya nggak apa-apa kok Mbak. Saya juga salah. Harusnya saya hati-hati tadi saat masuk.."
"Mbak beneran nggak apa-apa?"
Cewek itu mengangguk.
"Saya benar-benar minta maaf ya mbak.."
Setelah berbasa-basi sebentar, Yana bergegas pergi. Samar-samar ia mendengar teman si cewek mengomel.
"Kamu kenapa sih baik banget jadi orang? Karena gini nih kamu bisa kehilangan semuanya.."
"Udah, udah. Kan mbak nya udah minta maaf juga.."
Yana menghela napas. Orang jaman sekarang. Siapa yang kena siapa yang marah. Tck.
***
"Kak Lel di mana?" Yana celingak-celinguk. Tapi tak menemukan juga orang yang dicarinya.
"Masuk aja, kakak di dalam lagi bantu anak-anak.."
Yana memutuskan sambungan kemudian masuk. Begitu sampai ia langsung disuguhi dengan pemandangan khas taman bermain anak. Bermacam mainan berserakan di lantai. Dindingnya juga digambar dengan warna-warna cerah. Terlihat Lelia tengah dikelilingi beberapa anak kecil yang usianya sekitar 4-5 tahun.
"Ngapain, kak?"
"Eh udah sampai. Sama siapa kamu?"
"Sendiri aja. Tenang aja, Mas Zafa nggak ikut kok.."
Leila tertawa pelan. "Bentar ya. Kakak bantu anak-anak dulu.."
Yana mengangguk. Cewek itu mengedarkan pandangan ke sekeliling. Ruangan ini tidak terlalu besar. Tapi nyaman. Meski terlihat berserakan, tapi sebenarnya itu normal. Mengingat ini adalah taman bermain yang sekaligus menjadi tempat penitipan anak. Yana mengambil sebuah boneka yang tergeletak di sebelahnya.
Ia teringat saat kecil dulu dia juga suka bermain boneka barbie. Tapi semakin besar ia semakin melupakan semua itu. Di kamarpun ia hanya punya dua buah boneka teddy bear ukuran besar. Yana bersyukur itu bukan boneka pemberian mantan. Kalau saja, dia harus rela membuang boneka itu.
"Hayyo lagi lamunin apa?" Lelia menepuk bahu Yana.
"Eh, nggak kok. Udah?"
Leila mengangguk. "Sorry ya, malah repotin kamu buat datang ke sini.."
Yana menggeleng. "Nggak apa-apa kok. Kakak bertengkar ya sama Mas Zafa?"
Lelia yang tengah menuang air menoleh sebentar. "Mas Zafa cerita ke kamu?"
Yana menggeleng. "Enggak. Ih dia mana mau cerita itu ke aku. Mbak kayak nggak tau Mas Zafa aja.."
Lelia mengangguk. Ia menyerahkan air ke Yana. Lelia ikut duduk di sebelah Yana.
"Soalnya aku rasa aneh aja gitu, kak. Nggak biasa-biasanya Mas Zafa itu pulang ke rumah jam segitu. Apalagi ini udah hampir seminggu dia di rumah."
Yana merubah posisi duduknya menghadap Lelia. Dipandanginya Lelia serius. "Ada apa sih, kak? Aku kepo nih?"
Lelia tak langsung menjawab. Ia menarik napas dalam.
"Lagian kakak kenapa nggak nikah aja sih? Mas Zafa juga udah mapan gitu dari kapan tau.."
Lelia menghela napas berat. "Itu dia masalahnya.."
***
Yana tengah mematut diri di depan kaca. Ia terlihat tengah mencoba baju. Namun hanya beberapa saat ia menggeleng.
"Terlalu heboh. Kayak gue ngarep aja ketemu dia." Ia melempar dress itu ke atas kasur. Bertumpuk dengan pakaian lain yang bernasib sama. Yana mengambil pakaian lain dan kembali melakukan hal yang sama.
Saat mendengar suara mobil, Yana bergegas menuju jendela kamar. Melihat siapa yang datang ia bergegas keluar kamar.
"Mas..." panggil Yana dari tengah tangga. Zafa yang baru kembali menoleh.
"Kenapa?" tanya cowok itu bingung.
Yana menghampiri abangnya itu. Raut wajah Zafa terlihat tak begitu baik. Melihat raut wajah Zafa yang kusut, Yana mengurungkan niatnya. Ia menggeleng dan tersenyum.
"Udah makan belum? Mau Yana masakin?" tawarnya.
"Emang kamu bisa masak?"
"Ih, bisa dong."
Zafa mencibir. "Yaudah. Masak apa aja deh.."
Yana mengangkat jempolnya. Zafa beranjak menuju kamarnya untuk mandi. Yana segera menuju dapur, melihat isi kulkas. Sehari-hari di rumahnya memang ibundanya lah yang memasak. Itu karena Apa Yana tidak suka masakan orang lain. Jadi mereka hanya mempekerjakan ART untuk bersih-bersih rumah saja saat siang hari dan pulang saat sore hari. Jadi kalau Ama sedang tidak di rumah, maka Yana yang harus masak sendiri. Biasanya dia memang tidak repot-repot masak. Kalau lapar dia lebih suka makan di luar. Tapi beberapa hari ini ada Zafa di rumah.
Ponsel Yana berbunyi. Ia melirik layar sebentar, lalu langsung menekan tombol jawab lalu memasang loudspeaker.
"Kenapa?"
"Lo di mana?"
"Rumah.."
"Udah siap?"
Yana sibuk membersihkan sayur. "Apanya?"
"Lah, kan lo mau jalan? Mau ketemuan sama Bram, kan?"
Yana memutar bola matanya.
"Itu lo lagi ngapain? Gue denger suara berisik-berisik. Jangan-jangan lo udah di jalan ya sama dia?"
"Ih ngaco. Gue lagi di dapur, btw."
"Ngapain di dapur?"
"Nonton konser. Ya masak lah. Emang orang ngapain lagi di dapur?"
Terdengar dengusan dari sebrang. "Lo becanda terus deh. Lagian lo ngapain tiba-tiba masak? Kan entar mau keluar juga sama Bram. Jangan bilang lo ngebatalin rencananya?"
Yana menghela napas. Lama-lama dia merasa Adira yang terobsesi pada Bram. "Cintaku, gue nggak batalin rencananya oke. Nggak usah khawatir. Lagian kalau batal juga bukan gue yang batalin, berarti dia. Ini tuh gue masak buat Mas Zafa.."
"Ohh gitu.." Adira terdengar lega.
"Lo kenapa sih ngotot banget jodohin gue sama dia? Lo sadar nggak sih kalau dia itu mantan gue?"
"Terus? Emang ada larangan gitu buat balikan sama mantan? Atau nikah sama mantan?"
"Ya enggak. Tapi kan nggak keren aja gitu."
"Eh neng, ini udah jaman digital. Kalau lo masih pakai prinsip begituan, lo keduluan ditikung sama banci Thailand."
"Anjirr.."
"Nah, makanya. Barang bagus jangan disia-siain dengan alasan konyol kayak gitu. Lagian kalian juga pacaran pas jaman purba gitu. Lo udah berapa kali pacaran dia juga udah berapa kali pacaran. Gue aja nggak yakin apa pacaran kalian bisa masuk dalam kategori beneran.."
Jleb. Yana meringis mendengar kata-kata Adira. Apa iya dulu dia pacaran sama Bram tidak masuk dalam kategori serius?
"Iya iya bawel. Udah, kalau lo ngoceh mulu kapan selesainya gue masak. Ntar makin lama lagi.." Yana menghela napas begitu sambungan terputus.
"Lagian siapa juga yang bakal nikah sama dia? Nggak ada jaminan juga balikan sama mantan bakal berakhir di pelaminan.." cibir Yana.
"Siapa yang balikan sama mantan?"
Yana tersentak kaget. Zafa sudah berdiri di belakangnya. Mengambil minuman di dalam kulkas.
"Eh, Mas. Cepet amat mandinya.."
Zafa meneguk habis isi botol air mineral yang memang hanya tersisa seperempatnya. "Kamu nggak keluar? Malam minggu loh ini.."
Yana mencibir. "Mas aja di rumah.." masakan Yana selesai. Zafa mengikuti adiknya itu menuju meja makan.
"Ini aman, kan? Mas nggak akan keracunan, kan?"
"Ih, Mas.."
Zafa tertawa pelan. Sembari menuang air ke dalam gelas, Yana melirik abangnya itu. Yana tengah berpikir. Menyusun kata-kata.
"Mas, Ama sama Apa udah kepingin nimang cucu. Udah ngode-ngode. Kalau Ama nuntut, Mas duluan ya yang nikah.."
Zafa menyuap. "Emang Ama sama Apa udah ngode?"
"Iya," Yana mengangguk cepat.
"Kuping Yana panas mas kalau Ama udah bahas-bahas itu. Apalagi kalau pas lagi sama keluarga yang lain. Itu sih mending, kalau lagi kumpul arisan. Panas kuping Yana.."
"Ya berarti kan Ama ngodenya ke kamu, dek.."
"Ih, kok gitu sih. Kan yang lebih tua Mas sama Mas Ruga. Nggak malu apa diduluin adik?"
"Alahhh, kayak kamu ada calon aja.."
Yana langsung cemberut. Jleb. "Itu makanya. Mas yang nikah duluan."
"Mas Ruga aja suruh duluan. Kan dia yang paling tua.."
Yana menghela napas. "Mas sama Mas Ruga kan sebelas dua belas. Orang lahirnya sama juga.."
"Tetap aja Mas Ruga yang duluan lahir.."
Yana mencebikkan bibirnya. "Pokoknya nggak mau tau. Kalau Ama sama Apa bahas-bahas cucu, Mas Ruga sama Mas Zafa yang harus tanggung jawab. Udah tua juga.."
Zafa menoleh. "Lihat siapa yang ngomong. Mas sama Mas Ruga mah laki-laki. Nggak apa-apa. Umur 30'an juga nggak masalah. Kamu nih cewek. Udah mau 28 tahun.."
Jleb lagi. Emang nih abang Yana tau betul bagaimana membuat adiknya terlihat ngenes.
"Emang nya Mas rela kalau adikmu satu-satunya ini dipinang orang?" Yana melipat tangan di d**a, menantang Zafa.
Zafa terlihat berpikir. Tiba-tiba ia terdiam. Cukup lama. Hal itu membuat Yana jadi tak enak.
"Kamu mau keluar, kan? Sana siap-siap. Ntar kemaleman lagi pulangnya..."
Melihat perubahan raut wajah Zafa, Yana mau tak mau mengikut. Ia kemudian meninggalkan Zafa dengan berbagai pertanyaan di kepalanya.
"Dia nggak tau aja adeknya emang suka keluyuran malam," Yana terkikik geli begitu pintu kamarnya tertutup.
***
Setelah melakukan prosesi pemilihan baju yang cukup lama, akhirnya Yana memutuskan untuk mengenakkan baju tersimpel yang ia punya. Ya, akhirnya casual style lah pilihannya. T-shirt dan rip jeans. Yap.
Ketimbang ketemuan, tampilan Yana lebih cocok untuk nongkrong. Selesai menyemprot parfum sekilas dan memastikan dandanannya, Yana segera keluar dari mobilnya.
Ia memperhatikan sebentar kafe tempat mereka janjian. Yap. Setelah pendekatan paksaan yang Adira dan Fuji setting, akhirnya Yana dan Bram setuju untuk ketemuan. Hanya berdua. Ya. Seminggu ini mereka cukup sering komunikasi lewat chatting. Sebenarnya Yana belum merasakan sesuatu yang cukup berarti.
Tak perlu susah, Yana langsung menemukan Bramanaka di salah satu meja. Entah memang Bram yang terlalu mencolok dengan penampilannya yang rapi. Atau Yana memang bisa dengan gampang menemukan cowok itu.
Kafe ini menyuguhkan gaya yang amat santai. Bisa dikatakan gaya anak muda banget. Yana bukannya tidak pernah ke kafe sejenis ini. Hanya saja biasanya dia nongkrong dengan teman-temannya. Kali ini ia mengunjungi kafe seperti ini dalam agenda 'date'.
Yana tak langsung menghampiri Bram. Sebab pria itu terlihat seperti tengah memikirkan sesuatu yang cukup serius.
"Ehm.." Yana berdehem. Bram tampak tak begitu terkejut. Ia mengangkat wajahnya dan mata keduanya bertemu. 1..2... Yana memutus kontak mata lebih dulu dan langsung duduk. Ia berdehem sekali lagi untuk mengurai kecanggungan.
"Aku nggak terlambat, jadi aku nggak harus jelasin apa-apa kan?"
Bram menaikkan satu alis, lalu menyeringai tipis. Ia mengangguk. Cowok itu lantas memandangi Yana dari atas ke bawah.
"Aku kira kamu akan tampil lebih girly, to meet a man.."
Yana yang tengah merapikan rambutnya menoleh. Memandang Bram dengan sebuah senyuman tipis. "Ohh, aku biasanya akan tampil feminin, kalau aku tertarik sama orang itu.."
Tiba-tiba Bramanaka tertawa. Yana tak menemukan sesuatu yang lucu. Jadi dia hanya memandangi Bram tanpa berkomentar.
"Jadi, kesimpulannya kamu nggak tertarik sama aku?"
Yana terdiam. Beberapa detik dia masih mencerna kata-kata Bram. Namun ia bisa dengan cepat menguasai diri.
"Jadi kita langsung bahas masalah ketertarikan sekarang? Kayaknya aku emang salah kostum kalau gitu.."
Bram lantas tertawa lagi dengan kata-kata Yana. Ia geleng-geleng kepala.
"Kamu nggak banyak berubah, Deyana.."
Mata keduanya kembali bertemu. Dan Yana untuk pertama kali sejak setahun ini merasakan dadanya kembali berdesir.
***