Rainy 05

1018 Words
Yana bergerak gelisah di kasurnya. Ini sudah satu minggu sejak kejadian pertengkarannya dengan Bram. Yana yakin kalau dia sudah melupakan kejadian itu. Ia tak ingin mengingatnya lagi. Bahkan ia tak ingin berurusan lagi dengan pria itu. Bram juga sepertinya tak punya iktikad baik untuk menemuinya. Yana bersyukur karena dia tak mau repot-repot menolak permintaan maaf Bram. Tapi entah kenapa matanya tak mau terpejam kali ini. Padahal jam sudah menunjuk di angka 3. Harusnya dia sudah tidur karena besok ada meeting. Tapi matanya seperti tak bersahabat. Yana kemudian bangkit, mengambil ponsel lalu iseng membuka sosial medianya. Tapi itu hanya bertahan beberapa menit saja. Bahkan tag tag dari temannya yang berisi konten lucu sama sekali tak menghiburnya. Ia akhirnya bosan. Yana meletakkan kembali ponselnya ke meja nakas, lalu memutuskan untuk mengambil minum. Saat di tangga, samar-samar Yana mendengar perdebatan. Yana mengintip dari balik tembok. Tampak di pantry kedua abangnya yang sangat tampan itu tengah berbicara. Yana menafsirkan kalau ada perdebatan di antara keduanya. Melihat rahang tegang Zafa dan kening berkerut Ruga. "Udah berapa kali aku bilang? Jangan pikirin aku. Aku nggak masalah kalau kamu memang maju duluan. Sejak kapan kita jadi kolot?" tanya Ruga. Zafa memejamkan mata. "Rule is the rule, mas. Masalahnya nggak hanya di aku. Ama dan Apa pasti akan bilang hal yang sama." "Kalau itu masalahnya aku yang akan ngomong sama mereka." Zafa menggeleng. "Nggak. Keputusan aku udah bulat. Aku nggak akan menikah kalau mas Ruga belum nikah." Ruga menghela napas kasar. "Ayolah, Zaf. Jangan kayak gini. Kamu mempersulit diri sendiri. Kalau kamu nunggu aku, itu akan memakan waktu yang lama. Kamu tau, aku belum kepikiran untuk nikah." Zafa menatap pria yang hanya tua 6 menit darinya itu. Wajah mereka sama, tapi kenapa sifat mereka sangat jauh berbeda. Memang tidak dalam semua hal. Tapi perbedaan itu sangat bertolak belakang dalam beberapa hal. Seperti Ruga yang sangat simple dalam menghadapi sesuatu. Sedangkan Zafa terlalu kompleks. Tapi ada satu persamaan yang sangat penting di antara kembar itu. Selera wanita. Mereka punya selera wanita yang sama. Dan itulah masalahnya. Perdebatan ini tak hanya tentang siapa yang harus menikah lebih dulu, tapi tentang sesuatu yang lebih dari itu. Dan Yana tak mengerti tentang itu. Yana menghela napas. Melihat dan mendengar perdebatan kedua abangnya membuat Yana memilih kembali ke kamar. Membatalkan niat mengambil air. Ia duduk di kasur. "Kenapa mereka harus berdebat tengah malam begini? Sekalinya pulang malah ribut." Yana berbaring. Memandang langit-langit kamar. Yana jadi rindu masa kecilnya. Di saat dia tidak harus memikirkan apapun. Ketika dia bisa melakukan apapun sesuka hati. Ketika ia tak perlu pusing memikirkan pilihan di antara banyaknya jawaban. Ketika ia bisa tersenyum saat ingin tersenyum dan menangis saat ingin menangis. Se simple itu. Jadi dewasa membuat semua terasa rumit. Ia bahkan harus berpikir matang-matang di saat harus memilih di antara dua pilihan. Dia bahkan harus mempertimbangkan banyak hal hanya sekedar untuk menggunakan pakaian. Dan kadang dia bahkan tidak bisa tertawa di saat bahagia. Kebebasan rasanya seperti direnggut. Bukankah harusnya ia mendapat freedom nya di saat sudah dewasa? Benar kata orang. Kadang menjadi anak kecil yang tak tau apa-apa lebih menyenangkan daripada menjadi orang dewasa. Yana menghela napas. "Kenapa malah jadi nyewotin jadi dewasa sih. Sadar Yana. Nggak mungkin juga jadi anak kecil selamanya." Ia menarik selimut, kemudian perlahan ia mulai terlelap. *** Meeting berjalan sukses. Yana bersyukur ada teknologi yang disebut make up yang berhasil menutupi mata pandanya. Kalau tidak entah bagaimana penampilannya hari ini. Dia sampai shock saat bangun dan melihat betapa hitam lingkaran matanya. Suara ketukan pintu menyadarkan Yana. "Maaf, buk, ada tamu.." "Ya.." Yana mengerutkan kening. Merasa kalau tak ada janji dengan siapa-siapa hari ini. Pintu ruangan terbuka. "Selamat siang, mam.." Selama beberapa detik Yana masih terpaku di tempat. Bengong. Menatap tamunya dengankl tampang terbodohnya. "Sa-Sayn?" Yana memelotot. Tak percaya dengan nama yang ia sebut. Sayn tersenyum. "Hallo, pie.." Yana langsung bangkit, lalu menabrak Sayn dan memeluk pria itu kuat. Yang dipeluk hanya tersenyum, balas memeluk Yana. "Dey, kamu kurusan.." Yana memukul lengan Sayn. "Jahat banget kamu. Kemana aja ngilang? Aku nyariin, ya ampun.." Sayn tertawa. Mengacak rambut Yana. "Kamu nggak berubah ya.." Yana menuntun Sayn menuju sofa. "Sekarang cerita sama aku. Kemana aja kamu kok ngilang? Kamu bahkan nggak kasih tau aku kamu di mana selama ini.." Sayn menatap jarinya, lalu mengangkat wajah. "Sesuatu terjadi. Nggak menarik untuk diceritain. Mending cerita tentang kamu. Aku dengar cutie pie aku ini belum nikah. Kenapa? Patah hati?" Yana cemberut. "Nggak usah bahas nikah ya, please. Kita cerita yang lain aja selain masalah nikah. Ok. Cerita kamu aja. Jadi kamu di mana selama ini?" Tak lama pintu diketuk. Sekretaris Yana datang mengantar minuman. "Swiss." "Swiss? Ngapain?" Sayn hanya menahan senyum, tak memberi jawaban. Yana pun tak mau menerka dan menekan Sayn terlalu jauh. Meskipun pria ini adalah salah satu sahabat terbaiknya di SMA hingga kuliah, tak lantas membuatnya semena-mena pada privasi Sayn. Apalagi Yana sangat mengenal Sayn. Jadi dia paham bagaimana sifat dan karakter pria itu. "Hmm, gimana kamu sama Dara?" Sayn tak memberi jawaban. "Sebenarnya aku ketemu Dara beberapa waktu lalu. Walaupun aku nggak bertegur sapa sama dia. Aku juga cuma liatnya sekilas." "Hm. Dia gimana?" tanya Sayn. "Aku nggak yakin, tapi dia terlihat berbeda. Tapi entahlah. Kamu tau aku nggak ketemu lagi sama dia sejak waktu itu." Sayn hanya tersenyum saat Yana menekan kata waktu itu. "Nah, btw, kamu udah nikah? Jangan bilang kalau kamu udah nikah. Tega banget nggak undang-undang aku..." Tawa Sayn pecah. "Belum. Aku belum nikah." Yana tersenyum. "Pokoknya kalau kamu nikah aku harus jadi bridesmaidnya. Nggak mau tau. Maninda apa kabar? Duh, jadi kangen deh.." "She is good. Katanya dia emang mau nemuin kamu. Ngasih sesuatu." "Sesuatu?" Sayn mengangguk. "Rahasia." "Ih apa sih? Aku kepo nih jadinya." "Tunggu aja Ninda datang.." Yana memanyunkan bibirnya. Tapi hanya sesaat ia sudah kembali tersenyum. Tiba-tiba di tengah obrolan ponsel Yana berbunyi. Melihat nama di layar ponselnya membuat raut wajah dan mood Yana berubah seketika. Sayn menyadari itu. "Kenapa nggak diangkat?" Yana menggeleng. "Nggak penting." Sayn menyipitkan matanya. Wajahnya berubah serius. "Deya, what's going on? Siapa Bram?" Yana menghela napas. Ia lupa kalau sahabat baiknya ini bisa membaca pikiran orang. ***
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD