Perjalanan menuju ke Gunung Bayangan ternyata tidak semudah yang dipikirkan oleh Fahmi. Letaknya begitu jauh dan memakan waktu satu hari satu malam.
Fahmi, Ryan dan anak buah Raz singgah untuk beristirahat.
Menuju Gunung Bayangan, memakan waktu yang lama. Dia harus berjalan sehari semalam untuk tiba di tempat Wa Pasang.
Karena kelelahan mereka pun beristirahat dan berubah wujud menjadi manusia. Kedua anak buah Raz dengan setia menemani.
"Tuan, kau pasti lelah. Kami akan mencari makanan untukmu."
Fahmi hanya menatap mereka, niat baik kedua manusia jelmaan itu tak di tanggapinya. Ryan yang merasa sungkan segera menyetujui usul mereka.
"Baiklah, tolong jangan bunuh hewan apapun. Dia tidak akan suka."
Fahmi terbelalak mendengarnya.
"Baik, kami akan mencari buah di sekitar sini."
Kedua anak buah Raz berlari ke hutan.
Ryan duduk di bawah pohon, wujud desanya tak terlihat karena terhalang dua bukit yang tinggi.
"Apa maksudmu dengan jangan membunuh hewan?"
Ryan menoleh, dia hanya tersenyum datar.
"Tidak apa-apa. Oh ya, kenapa Abang ingin sekali menemui Wa Pasang?"
"Kau mengenalnya?"
Ryan mengangguk. Fahmi bingung untuk menjelaskan.
"Aku punya pertanyaan yang serius. Kuharap kita tidak tinggal berlama-lama disini."
Fahmi lalu bersandar di batang kayu dan menutup mata. Ryan tidak berani untuk mengganggunya.
Setengah jam kemudian, anak buah Raz datang membawa buah-buahan. Ada sirsak liar dan kelapa muda. Juga beberapa buah seperti jambu dan pisang.
"Maaf menunggu lama hingga Tuanku tertidur."
Sikap sopan yang ditunjukan oleh kedua anak buah Raz membuat Ryan bertanya-tanya.
"Tidak apa-apa, eh bagaimana kita bisa memakan kelapa itu sedang kita tak memiliki parang atau pisau untuk membukanya?"
Kedua manusia jelmaan itu, tersenyum. Dalam sekejap dia bisa membuat kelapa muda itu bocor hanya menggunakan kayu.
Fahmi tersentak dan bangun dari tidurnya saat mendengar suara krek. Yang begitu menganggu.
"Minumlah, Tuan. Kita akan segera melanjutkan perjalanan."
Ryan terkesima melihat perhatian kedua saudaranya pada Fahmi yang baru bergabung beberapa jam yang lalu.
Bukannya langsung meneguk air kelapa itu, Fahmi justru menatap Ryan.
"Minumlah, aku juga punya."
Mereka pun menyantap makanan yang ada. Fahmi melihat senja dan matahari sebentar lagi akan terbenam.
"Apa tempatnya masih jauh? Aku tidak mau menginap di jalan."
"Satu gunung lagi, Tuan. Kita akan tiba saat malam nanti."
Fahmi tak menyangka jika membawa anak buah Raz akan sangat berguna seperti ini.
Setelah memulihkan tenaga dan rehat sebentar, mereka pun bersiap untuk pergi.
Ryan melihat luka yang teramat di kaki dan tangan Fahmi.
"Ini perjalanan pertama yang begitu lama bagimu, hindari batu besar dan cari jalur aman. Jangan sampai terluka lagi."
Fahmi tersenyum dan kembali pada wujudnya. Detik-detik seperti ini, kadang membuat Fahmi ketakutan. Dia takut melihat kulitnya yang berubah kasar dan di tumbuhi banyak bulu.
Kedua serigala yang bersama mereka berlari terlebih dahulu untuk membuka jalan. Fahmi dan Ryan mengikuti dari belakang.
Sosok Fahmi begitu mencuri perhatian, karena bulunya yang putih dan sangat berbeda dengan serigala lainnya. Dia bagai sosok yang tak tersentuh melenggang dengan indah di atas bebatuan.
Saat menemui jalan yang buntu, sang jelmaan manusia serigala itu pusing.
"Kita telah tiba," ucap Ryan melolong panjang.
Auwww. Suara serigala itu melengking memperkenalkan diri sebelum memasuki perbatasan yang di lindungi ajian khusus oleh sang empu.
"Kau gila! Jelas-jelas kita tersesat," ucap Fahmi.
Sebuah portal terbuka dengan cahaya yang menyilaukan. Ryan meminta Fahmi untuk masuk setelah kedua serigala tadi berjalan lebih dulu.
"Kita tidak tersesat, ayo! Dibalik portal ini kita akan menemui orang kau cari."
Fahmi berjalan dengan keraguan di hati. Saat dia melewatinya, seorang lelaki berdiri tegak menatapnya.
Ryan dan kedua serigala lainnya mengucapkan salam dalam keheningan. Fahmi bingung, kini diapun berubah menjadi manusia.
"Kalian datang berkunjung malam-malam seperti ini?" tanya lelaki tua itu.
Ryan mendekat, dia tersenyum dan menoleh pada abangnya.
"Kenalkan saya Fahmi putra Magadang." Raut wajah lelaki tua itu berubah drastis.
Wa Pasang menatapnya lama.
"Benarkah, sang penerus akhirnya tiba. Kami memberi hormat." Lelaki tua itu akan bersujud dihadapan Fahmi membuat Ryan terkejut.
"Jangan lakukan itu, saya bukan siapa-siapa."
Wa Pasang memindai wajahnya. Diapun mengerti dan tidak ingin mengusik ketenangan sang pemilik darah suci.
"Silahkan duduk, Tuanku."
Mereka duduk di atas batang pohon yang telah di potong. Duduk tak jauh dari rumah kayu yang berdiri kokoh. Api unggun dinyalakan. Sebagai pencahayaan.
"Panggil saya dengan sebutan Fahmi saja, tolong."
Lelaki tua itu mengangguk hormat.
"Perkenalkan nama saya Wa Pasang. Saya sahabat datukmu, senang sekali karena kau datang berkunjung."
"Wa ada siapa?" teriak seseorang dari dalam rumah.
Pandangan Fahmi teralihkan, orang itu bergegas keluar dan menghampiri mereka.
"Dia putra pamanmu Wa Magadang," ujar Wa Pasang.
"Benarkah, dia adalah sosok yang sangat di tunggu. Kenalkan, saya putra tertua Wa Pasang nama saya Malik."
Fahmi tercekat, lalu dia menjabat tangan lelaki di hadapannya.
"Saya Fahmi."
Malik memindai penampilan Fahmi, luka di tangan dan kaki lelaki itu membuat keningnya berkerut.
"Sepertinya kau kurang tanggap," ucapnya meremehkan.
Wa Pasang terkejut mendengar ucapan putranya.
"Malik, ingat siapa dia bagi koloni kita," gertak Wa Pasang.
Ryan dan yang lainnya hanya bisa menyaksikan.
"Bukan begitu Wa, tapi sepetinya Fahmi tidak menikmati wujudnya. Sebagai manusia serigala. Fahmi cenderung biasa saja."
"Sudah cukup, minta adikmu mengantarkan minuman untuk tamu kita." Dengan malas Malik berlalu melaksanakan perintah Uwa nya.
Sikap Wa Pasang sedikit keterlaluan.
Tak lama seorang gadis muncul di hadapan Fahmi. Gadis cantik berkulit bersih, dia putih bagai bidadari yang tersesat di tengah hutan.
Ryan menyenggol lengan abangnya saat gadis itu membawa minuman.
"Zean, perkenalkan dirimu pada tamu kita," pinta Wa Pasang pada putrinya.
Wanita yang akan menjadi jodoh Fahmi itu tersenyum hangat.
"Saya Zeana, biasanya uwa memanggil saya Zean."
Suaranya sangat lembut, sejenak Fahmi terhipnotis dibuatnya.
"Dia sama sepertimu Fahmi. Zean, Malik dan Arjuna adalah manusia serigala."
Fahmi mendengarkan dengan serius.
"Ibu mereka menerimaku apa adanya. Ibu mereka manusia biasa sama seperti ibumu. Aku membawa keluargaku jauh dari perkampungan karena pengendalian emosi mereka belum sepenuhnya stabil. Mereka akan keluar di saat kematangan mereka cukup. Bukan hanya soal usia tapi juga soal sikap. Selama ini aku menjaga mereka disini. Tempat yang mustahil di datangi manusia biasa."
"Uwa saya datang untuk menanyakan hal yang serius. Semua ini mengenai bapak saya."
Wa Pasang menatap penuh pada Fahmi. Ryan dan anak buah Raz sedang berbincang dengan Malik dan Zean.
"Tentu. Kau ingin menanyakan apa?"
Fahmi tertunduk dengan bibir bergetar.
Wa Pasang menunggunya bicara tapi lelaki itu tak kunjung buka suara.
"Datukmu Magadang tak pernah membuka diri pada ibumu. Selama pernikahan mereka ibumu tak pernah tahu kalau Magadang seorang manusia serigala, dia menutup rapat jati dirinya demi bisa hidup berdampingan dengan wanita yang di cintainya."
"Apa bapak saya orang baik, Wa?"
Wa Pasang mengangguk.
"Ya, Datukmu sangat baik hingga mengorbankan diri demi melindungi mu, melindungi ibumu dan warga desa. Dia mempertaruhkan segalanya demi kesetaraan. Dia murni dari bangsa kami, tapi kecintaannya membuat Datukmu rela berkorban untuk manusia."
Tangis Fahmi jatuh begitu saja.
"Bisakah Uwa menceritakan siapa dalang dalam pembunuhan bapak saya?"
Wa Pasang menoleh pada Ryan dan anak-anaknya. Kisah itu panjang, sedang malam telah sangat larut.
"Istrahatlah Fahmi, kita akan bicarakan semuanya besok, tentu setelah kita semua pulang dari berburu."
Fahmi tidak mengerti, dia datang hanya untuk mendengarkan cerita lengkap pembunuhan Magadang. Tak mendapatkan jawaban membuatnya menoleh dengan tatapan serius.
"Kenapa? Apa kau tak pernah berburu?"
Fahmi menggelengkan kepala.
"Itu sebabnya Malik bilang kau tak cukup tanggap," ucapnya terkekeh.
Wa Pasang berjalan masuk ke rumah meninggalkannya sendirian.
Tubuh Fahmi lelah luar biasa, dia tak pernah melewati perjalanan yang begitu menantang seperti ini sebelumnya.
"Ibu telah menyiapkan tempat tidur, silahkan masuk untuk beristirahat." Zean muncul tiba-tiba membuatnya terkejut.
Malik dan Ryan mendekati mereka.
"Sudah sangat larut, besok jadwal berburu. Tidurlah untuk memulihkan tenaga," sahut Malik.
Fahmi mengangguk dan berjalan bersama memasuki rumah.
"Disini mereka hidup dengan insting, berbeda dengan kita yang menjaga diri di perkampungan. Tidak seperti abang yang takut ketahuan. Disini mereka bergerak bebas," terang Ryan.
Rumah itu cukup luas. Fahmi memilih tidur tepat di samping Ryan. Dia tidak terbiasa dengan orang baru.
Tanpa sepengetahuan Fahmi, Zean terus menatapnya dari balik tirai, wanita itu sangat senang, karena pada akhirnya penantiannya tiba.
***
Pagi menjelang, suara burung berkicau menjadi alarm tersendiri. Istri Uwa Magadang tengah berkutat di dapur.
Badan Fahmi remuk dan tak bisa bangkit dari tempat tidur.
Ryan dan Malik sudah bangun dari tadi, Juna si bungsu menatapnya yang merintih kesakitan.
"Hay, kami telah menunggumu dari tadi."
Fahmi bangun di bantu dengan Juna.
"Maaf, aku kecapean."
Suara Ryan dan Malik terdengar dari luar. Mereka sangat akrab dan seperti sahabat karib.
"Ayo sarapan, ibu telah memasak singkong." Zeana tersenyum dan membawa sepiring singkong keluar dari rumah.
Fahmi bangkit dan mencuci mukanya di depan kendi. Juna menunggunya dengan setia lalu bergabung di halaman.
"Hari ini kita akan mengajari Fahmi berburu, kita akan membagi dua kelompok. Terdiri dari tiga orang. Hari ini ibu akan masak makanan yang enak." U
ucap Wa Pasang menoleh pada istrinya.
Semua yang hadir tampak bersemangat. Fahmi mengusap wajahnya, lelaki itu sangat tampan walau baru bangun tidur.
"Baiklah, mari kita mulai."
"Aku akan satu tim bersama saudaraku," ucap Fahmi.
Hening.
Semua orang menatapnya lalu tertawa bersama-sama.
"Ha ha haa haa."
"Disini kita semua saudara Fahmi, kita semua satu tidak ada yang berbeda, kecuali kau," ucap Malik.
Ryan menatap bingung.
"Maksudku aku akan tetap bersama Ryan."
"Itu curang," ucap Juna.
Wa Pasang tersenyum mendengar mereka.
"Jadi mau mu bagaimana, Malik?"
Malik terdiam, takut membalas ucapan Datuknya.
"Aku akan bergabung dengan mereka Wa," ucap Zean, dan berjalan ke tengah Fahmi dan Ryan.
Malik menatap mereka lesu.
"Baiklah kita telah sepakat, aturannya adalah. TIDAK ADA PERATURAN. Finis jika buruan sudah sampai ke tangan ibu di dapur. Jadi jaga buruanmu jangan sampai di rampas oleh LAWAN MU" ucap wa Pasang menekan kata lawan dan membidik ke arah Fahmi.
"Aturan macam apa itu," protes pemuda itu.
"Kita berburu dan berlatih. Jika ingin menang kau harus kuat" ucap zean meninju d**a lelaki tersebut.
Fahmi menatap kepalan tangan wanita itu. Lalu menatap lurus dan mengunci pandangannya.
"Wow, tenanglah, jangan meremehkan abang ku." Ryan menjauhkan tangan Zean.
"Oh ya, semoga dia bisa membuat kita menang dalam perburuan ini."
"Tentu, tenang saja."
Wa Pasang menengahi mereka.
"Baiklah dari sini kalian akan memencar. Silahkan jelajahi hutan dan kembali dengan buruan yang lebih besar," ucap Wa lelaki tua itu bersemangat.
Kedua anak buah Raz membagi diri, satu ikut kubu Malik dan satu mengawasi Fahmi di timnya.
"Yuhu, perburuan dimulai."
Fahmi masih terpaku di tempatnya, sebelum benar-benar berpencar, dia sempat mendekati Zean.
"Lain kali, jaga tanganmu Nona." Dia memberikan peringatan kecil yang mampu merubah raut wajah Zean.