Raz murkah, karena Ryan dan Zeana tidak kembali, hari sudah gelap dan orang suruhan Fahmi telah berangkat. Semua orang berkumpul di meja makan termasuk Bu Laksmi dan Ibunda Zeana.
Malik, Fahmi dan Juna diam mendengarkan semua kekesalan Raz.
“Aku tidak mau tahu, siapa yang mengizinkan Ryan ataupun Zean menginap di Desa? Kalian bertindak semaunya tanpa meminta persetujuanku. Apa kalian sudah tidak menganggap aku sebagai bagian penting dalam klan kita?”
Wa Pasang merasa tidak enak hati, walau bagaimanapun juga. Ryan adalah menantunya.
“Tenanglah, aku yakin maksud mereka tidak seperti itu. Mereka hanya peduli.”
Malik dan Juna tidak berani menyela pembicaraan.
“Ini adalah peringatan, aku harap kalian akan mengingatkan Raja dan Ratu atas tindakan mereka. Susul mereka dan minta kembali secepatnya.”
Malik tunduk dengan hormat.
“Baik, Tuan.”
Raz meninggalkan meja makan, dia tak berselera setelah mendengar kejadian hari ini. Semua orang termenung, sadar jika situasi ini adalah masalah serius.
“Mari makan atau hidangannya akan dingin,”ibunda Zeana melayani semua orang. Wanita itu selalu menjaga perasaan Bu Laksmi yang masih sedikit canggung.
Wa Pasang mengkhawatirkan putrinya yang kini berada jauh dari jangkauannya.
“Malik, Juna. Kalian pergilah di Desa dan temui Zean. Besok ajaklah mereka kembali ke gunung. Jangan buat Tuan Raz semakin geram,” ucap lelaki tua itu.
Fahmi merasa semua itu adalah tanggung jawabnya.
“Aku akan menemui mereka jika itu yang Uwa mau, jujur saja. Keadaan di Desa saat ini begitu kacau. Ryan pasti berpikir sama denganku. Dia tinggal untuk memastikan semuanya baik-baik saja.”
Wa Pasang terdiam di tempatnya.
**
Di Desa saat ini, Ryan bersyukur karena rumah milik ibunya hanya mengalami kerusakan di bagian dapur, selebihnya masih bisa di tempati untuk berteduh. Zean menjalani harinya sebagai manusia biasa. Membuka pintu dan bersantai di ruang tengah.
“Selamat datang di rumah kami,” ucap Ryan dan mengibas debu yang ada di kursi.
“Aku akan bersih-bersih dulu, lalu membuat makan malam untuk kita.”
“Aku akan membantumu,” ucap Zeana bersemangat.
“Jangan. Kau duduklah dan tunggu,” ucap Ryan tegas.
Pemuda itu menyalakan penerangan dan mengambil sapu. Sedang istrinya tengah memperhatikan patung serigala yang ada di ruang tengah. Ya, inilah potret rumah Magadang yang selalu dia dengar sedari kecil dulu.
“Kau ingin mandi? Kau bisa memakai baju ibu nanti,” tanya Ryan membuat istrinya tercengang, Zeana tidak menjawab tapi juga tidak menolak.
Ryan ingin Zean nyaman di rumah itu. Setelah bertanya, lelaki itu pergi dan kembali lagi membawa pakaian ibunya untuk di kenakan oleh Zeana.
“Mandilah dan keluar setelah kau selesai.” Ryan membawanya ke kamar pribadinya.
“Ini.” Zeana menatap tempat itu.
“Kamarku, memang sedikit berantakan. Aku akan bereskan semuanya nanti, jangan khawatir.”
Ryan pergi sebelum Zean mengajukan pertanyaan lagi. Lolongan serigala semakin kuat, tidak hanya dua tapi jumlahnya lebih dari itu.
“Apa ada serigala lain yang datang?” tebaknya.
Ryan bergegas keluar, pagar api yang terbuat dari obor masih menyala mengelilingi desa.
“Semuanya aman. Aneh, lalu tadi itu apa?” Kedua serigala yang menjaga desa itu tetap berdiri di luar garis. Dia tidak menemukan kejanggalan.
Cahaya di rumah warga telah di matikan, semua orang sedang ketakutan.
“Aku akan berjaga malam ini setelah membuat makan malam untuk Zean,” ungkapnya. Tiba-tiba saja, Malik dan Juna muncul mengagetkannya dari belakang.
“Woy!”
Ryan terlonjak dan memegang dadanya.
“Kalian, sialan!! Pantas saja aku mendengar suara serigala tadi.”
Juna tersenyum sumringah.
“Iya, kami datang untuk menjaga saudara dan Raja kami.”
Ryan sedikit membungkuk menerima penghormatan itu.
“Terimakasih, kau sangat berdedikasi.”
Juna menggaruk kepalanya yang tidak gatal.
“Jadi begini keadaan di desamu jika malam hari?” tanya Malik dan memandang kesekeliling.
“Iya, tidak ada yang berubah. Dari dulu memang seperti ini, kegiatan hanya berlangsung di siang hari.”
Malik bisa membayangkan betapa membosankan nya tempat itu.
“Kami datang membawa makanan, kau dan Zean pasti sangat lapar,” ucap Malik.
Ryan sangat bersyukur mendengarnya.
“Ya, kau benar. Masuklah.”
Mereka masuk ke dalam rumah, sama seperti Zean. Juna dan Malik juga memperhatikan rumah itu dengan teliti.
“Jadi inilah rumah Datuk Magadang, rumah yang kita dengar sedari kecil.”
Juna mendekat dan berjalan ke dalam. Ryan sendiri bingung melihat apa yang dilakukan oleh kedua iparnya.
“Bahkan patung serigala itu masih ada di sana. Itu artinya Bibi tidak pernah mengubah tatanan rumah ini.”
“Cukup, aku tidak tahu kalian sedang bicara apa? Oh ya, bagaimana dengan keadaan ibuku?”.
“Aman, Fahmi dapat mengatasinya. Dia baik-baik saja.”
Di tengah pembicaraan mereka, Zeana keluar dari kamar memakai setelan lusuh pakaian ibu mertuanya.”
Kedua saudaranya terperangah melihat pemandangan yang terjadi.
“Kau, aku sampai tidak mengenalimu, Zean.
“Oh ya, apa aku cantik?” Kedua saudaranya mengangguk.
“Kau cantik.”
Ryan tertegun melihat penampilan istrinya. Wanita itu datang dan bergabung di kursi sederhana di ruang tengah.
“Kalian pasti lapar, makanlah dulu.” Malik membuka bingkisan yang di bawanya dan membantu menyiapkan lauknya.
Ryan tidak percaya diri untuk duduk berdampingan dengan Zeana saat ini. Wangi segar jelas tercium dari tubuh istrinya sedangkan dia, hanya ada bau keringat karena bekerja seharian.
“Aku akan mandi, dan kembali lagi nanti. Kalian makan saja duluan.” Ryan segera pergi ke kamar.
Tingkah Ryan membuat istrinya tersenyum. Setelah kepergian Ryan, Malik pun menyampaikan sesuatu pada adiknya.
“Tuan Raz ingin kau segera kembali, beliau sangat marah mengetahui kau dan Raja tidak berada di istana.” Juna menyambar kedua saudaranya.
“Aku mengerti, tolong jangan membahasnya di depan Mas Ryan, dia benar-benar kelelahan dan tidak bisa kembali malam ini. Tunggulah hingga pagi esok, aku sendiri yang akan mengajaknya pulang.”
Malik dan Juna sedikit merasa ragu.
Tak lama Ryan pun kembali dan bergabung dengan mereka. Zeana bersikap manis dan menyembunyikan seolah semuanya baik-baik saja.
“Ayo makan, Ibu mengirimkan makanan ini untuk kita.”
Ryan mengangguk dan duduk di kursinya. Malik dan Juna tidak ingin menganggu mereka dan beralasan akan keluar untuk berjaga bersama Serigala yang lain.
“Kami akan bergabung dengan yang lain, kalian istrahat saja di sini.”
“Kalian tidak makan?” sahut Ryan.
Keduanya menggeleng. Lalu pergi dari sana. Zean menyajikan makanan dan mereka pun makan malam. Tidak ada kata terucap, mereka makan dalam diam.
Setelah selesai, keduanya pun masih tidak saling bicara. Hingga Ryan memberanikan diri mengungkapkan keinginannya.
"Aku akan menemani mereka berjaga di luar, kau tidurlah di kamar."
Zean tertegun. Tatapannya yang teduh membuat Ryan terpaku.
"Tidak akan ada apa-apa. Percayalah."
Zeana sedikit kecewa dia bangkit tanpa bicara dan masuk ke kamar. Ryan menyusul untuk mengambilkannya selimut.
Saat suaminya sibuk mencari selimut di dalam.lemari, satu ucapan Zean menghentikannya.
"Aku mendengar pembicaraan Tuan Raz dan Datuk, soal mengalahkan Rogiles."
Ryan mendapatkan apa yang di cari dan meletakkannya diatas kasur.
"Apa kau tak bisa mundur? Jangan menghadapinya," sorot kecemasan jelas terlihat di sana.
"Kau bicara apa? Musuh klan kita satu-satunya adalah dia. Dan, Hafizah. Dia akan selamanya seperti itu jika kita tidak melawannya."
Perasaan cemburu menggebu.
"Apa semuanya karena Fizah? Kau berkorban untuknya?"
Ryan menghela napas, berulang kali menjelaskan pada Zean rasanya sia-sia saja.
"Kau tahu jawabannya."
Airmata Zean luruh, tangisnya jatuh membasahi wajah. Ryan terkejut melihat reaksinya, ada rasa nyeri di hati melihat wanita yang di cintainya menangis.
"Zean, aku pernah bilang. Aku melakukan ini karena dia sudah seperti keluargaku. Ibu sangat menyayanginya dan dia adalah hidupnya Bang Fahmi."
"Lalu aku?" ucapnya di sela tangisan.
Ryan menatapnya dan Zean tak kuat membalas tatapannya.
"Apa malam itu kurang jelas? Aku melakukannya karena mencintaimu Zean."
Zeana tidak percaya itu.
"Pergilah, aku ingin sendiri." Zean meraih selimut dan menutupi tubuhnya. Dia berbaring dan membelakangi suaminya.
Ryan merasa frustasi, dia pun bangkit dan menutup pintu kamar memastikan tidak akan ada yang bisa masuk setelah ini. Pemuda itu meredupkan penerangan dan naik ke atas ranjang. Apa yang dia lakukan sontak saja membuat Zean terkejut.
"Kau?"
Ryan memeluknya dan menciumnya. Dia tidak memberi Zean kesempatan untuk bertanya.
"Aku tidak suka jika kau meragukan aku, Zean."
Ryan mengulang kembali malam yang pernah dilalui.
"Aku hanya milikmu," bisiknya di telinga istrinya.
Mereka memadu kasih tanpa keraguan, perlakuan lembut Ryan membuat Zeana nyaman.
Malam yang panjang berlalu dengan sentuhan syahdu dari kedua insan merenggu manisnya cinta.