Chapter 48 meminta ajian cakar maut

1044 Words
Fahmi terkejut saat melihat Fizah mendekat ke arahnya. Wanita itu datang dalam keadaan sadar. Tidak ada penutup mata di kepalanya. Tidak ada reaksi menyeramkan dan tampak begitu tenang. Dia seperti Fizah yang dulu. Lelaki itu perlahan memperbaiki posisi duduknya, dia terpaku saat Fizah menyentuh tangannya. Pandangan mereka bertemu, Fizah mendekat dan membisikkan sesuatu. “Kau tidak akan bisa menahan ku.” Fahmi menatapnya dengan seksama, sorot mata yang di pancarkan Fizah sama seperti ketika pertama mereka bertemu. “Fizah, kau ingat aku. Kau sembuh?” Wanita itu diam dan perlahan menyerangnya, dia membuat Fahmi membeku dan tidak bisa bergerak di tempatnya. “Aku akan membawanya, dia dan sesuatu yang ada dalam dirinya adalah milikku.” Sorot mata itu berubah, lensa mata Fizah berubah menjadi abu-abu pekat, Fizah dalam pengaruh kuat Rogiles. Bayangan lelaki itu terlintas dan menyeringai menertawakan ketidakberdayaan Fahmi. “Selamat tinggal,” ucap Fizah dan melangkah dengan tenang. Fahmi berusaha bergerak, tubuhnya seperti diikat oleh sesuatu yang tidak kasat mata. Sesak dan tertindih. “Ber-henti Fizah, sadar-lah,” ucapnya sekuat tenaga. Usahanya menjadi sia-sia setelah Fizah menghilang di balik pintu. “Tidak!” Fahmi bangun dengan keringat membasahi sekujur tubuh, napasnya ter senggal seperti orang yang baru saja sedang berburu. “Fizah, dimana dia?” Fahmi takut mimpinya berubah jadi nyata, segera dia keluar dan berlari ke kamar ibunya. Mimpi itu seolah sangat nyata, rasa takut kehilangan membelenggunya. Tanpa mengetuk pintu, Fahmi masuk ke dalam kamar ibunya. Pemandangan di depan sana membuat dia tertunduk sejenak, ibunya baru saja selesai mengganti pakaian wanita itu. “Fahmi! Apa yang kau lakukan? Kenapa kau tidak mengetuk pintu terlebih dahulu!” Fahmi tidak peduli dan segera menghampiri ketika ibunya selesai. Dia menarik Hafizah dalam pelukannya. “Hey, masih ada ibu di sini.” Bu Laksmi hanya bisa menggeleng melihat kelakuan putranya. “Ya, harusnya kalian tidak di pisahkan. Suami istri harusnya tinggal di kamar yang sama.” Fahmi menyadari sesuatu. “Bu, aku bawa Fizah sebentar.” "Kemana?" Fahmi langsung keluar saat itu juga, langkahnya cepat menuju ke ruangan Raz. Ryan dan istrinya baru saja tiba dan berpapasan dengan mereka. “Selamat pagi, Bang.” Fahmi yang akan membuka pintu, berhenti untuk menyapa mereka. “Pagi, syukurlah kalian sudah kembali.” Zean menatap Fizah yang berdiri di hadapannya. “Ada apa? Kenapa Abang membawa Fizah kesini?” tanya Ryan penasaran. “Aku ingin bicara sesuatu yang serius dengan Tuan Raz, sebaiknya kalian istrahat dulu. Kalian pasti lelah karena baru kembali.” Tanpa menunggu lebih lama lagi, Zean meninggalkan tempat itu. Ryan dan Fahmi sempat melihat perubahan raut wajah wanita itu. “Aku pergi dulu, Yan.” Fahmi mengetuk pintu dan masuk ke ruangan Raz, sedang Ryan menyusul istrinya. Tujuan Fahmi datang kepada Raz agar lelaki itu segera menikahkan mereka. Fahmi tidak ingin ibunya tahu jika mereka belum sempat menikah. “Fahmi, ada apa kalian kesini?” tanya Raz saat mereka berdiri tepat di hadapannya. Fahmi menyampaikan maksudnya, walau kecewa dengan apa yang terjadi. Raz setuju untuk mengabulkan keinginan pemuda itu. “Aku bermimpi Rogiles datang membawa Hafizah pergi, aku ingin mencegah hal seperti itu dengan menikahinya.” Raz tersenyum mendengarkan. “Apa maksudmu?” “Jika kami menikah dia akan tinggal bersamaku. Aku akan mengawasinya dan menjaganya." “Baiklah, datanglah ke menara nanti, tepat Pukul 12:00 malam. Aku dan Wa Pasang akan menikahkan kalian disana.” Fahmi tersenyum dan sangat bahagia. “Terimakasih. Bisakah ini menjadi rahasia kita. Tidak perlu mengatakannya pada yang lain.” "Tentu." Fahmi sangat bahagia. Setelah pembicaraan mereka selesai, Fahmi pun berniat pergi. “Oh iya, Ryan dan Zean baru saja tiba, tolong jangan memarahi mereka,” ucap Fahmi sebelum membuka pintu ruangan. “Aku tahu, latihan kalian akan diperketat. Segera bersiap dan tunggu aku di luar.” Fahmi pun mengangguk dan meninggalkan ruangan itu. Genggaman tangan Fizah terasa hampa dan dia seperti kehilangan sosok ceria yang selalu mendampinginya. Ryan mendapatkan hukuman. Raz menambah waktu berlatihnya menjadi 3 kali lipat. Demi menyiapkan Ryan dan Fahmi, Raz menjadi begitu keras pada mereka. "Kalian akan mempelajari gerakan atau jurus baru, setelah menguasai. Kalian akan langsung mempraktekkannya dengan pasukan kita." "Baik, Tuan." Malik, Juna dan juga Zean tidak diperkenankan memasuki arena, mereka hanya menyaksikan semuanya dari jauh dan tidak di perkenankan untuk berlatih bersama. Ryan dan Fahmi sendiri tidak keberatan menjalani pelatihan tersebut. Terik mentari tidak menyurutkan semangat mereka. Tuan Raz sendiri yang turun membagi ilmunya, mereka berlatih dengan sungguh-sungguh. Setelah di nilai cukup, para pasukan mendekat dan langsung menyerang. Mereka dalam posisi terkepung. "Pikirkan bagaimana kalian bisa selamat dalam situasi seperti ini. Di luar sana kalian akan selalu mendapatkan bahaya." Fahmi dan Ryan berlatih bekerja sama. "Hyat!" Pertarungan terjadi, para pasukan menyerang dengan sungguh-sungguh. Tubuh keduanya remuk menjalani pelatihan ini, tetapi tak sekalipun mereka mengeluh. Pembawaan diri keduanya dalam menghadapi masa genting terlihat tenang dan fokus. Tangan dan kaki spontan untuk menyerang dan menghindari pukulan. Wa Pasang dan Raz bangga melihat kemajuan itu. Beberapa jam berlangsung, Wa Pasang turun tangan untuk mengajarkan jurus yang bisa akan begitu berguna bagi mereka. “Cukup, sepertinya tingkat kemajuan pelatihan kalian semakin meningkat. Adakah jurus atau ajian khusus yang ingin kalian kuasai?” tanya lelaki tua itu. Fahmi dan Ryan mengatur napas yang kelelahan, Ryan memikirkan jurus yang di maksud oleh mertuanya. “Aku ingin mempelajari ajian yang dipakai Raksana untuk membunuh Bapak.” Wa Pasang dan Raz terkejut mendengar itu. “Fahmi, mengapa kau menanyakan hal yang kami tidak memilikinya?” Fahmi tidak percaya akan hal itu. “Ajian itu melumpuhkan lawannya dengan menggunakan cakar beracun. Zeana pernah mengatakannya padaku. Aku percaya Datuk menguasainya." Ryan tertunduk di samping Fahmi. Sedang wa Pasang merasa sungkan membahas ajian itu di depan Ryan. Bagaimanapun, Ryan pasti tak enak hati karena Fahmi mengungkitnya. “Uwa akan mengajarimu jurus yang lebih sakti dari itu,” Fahmi menggeleng tegas. “Aku ingin menghadapinya sendiri dengan ajian yang sama. Bapak sekarat karena mendapatkan serangan darinya.” Wa Pasang tak bisa berkata-kata lagi. “Baiklah, kalau begitu. Kalian silahkan istrahat dulu.” Wa Pasang meninggalkan mereka, Ryan tertegun dan menatap Fahmi. "Belajarlah bersamaku, lawan kita bukan serigala biasa." Fahmi masih belum tahu jika Ryan adalah anak dari orang yang ingin dia bunuh. "Baik, Bang." Hati Ryan, bimbang. "Tidak, aku tidak boleh lemah. Dia adalah pembunuh, dia pantas mendapatkan balasan dari Bang Fahmi, ucapnya meracau sendirian."
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD