7. Mau Tidak Om Jodohkan Kamu Dengan Rhea?

1130 Words
Usai meletakkan nampan di atas meja, Rhea balik badan dan begitu saja melenggang masuk ke dalam rumah. Bukan Deni tak tahu jika Haris masih memperhatikan punggung Rhea hingga anak gadisnya itu tak lagi terlihat. Berdehem sekali sampai mengejutkan Haris. Pemuda itu nampak gugup, membuang pandangan dari sosok Rhea dan kembali fokus pada permainan catur mereka. "Diminum dulu, Ris. Selagi masih hangat." Haris menganggukkan kepalanya. "Terima kasih, Om." Dua orang pria berbeda usia itu sama-sama mengangkat cangkir masing-masing lalu menyesap isinya. Benar kata Arni, karena yang Haris rasakan kini adalah hangatnya wedang jahe yang mengalir di tenggorokannya. "Maafkan Rhea ya, Ris. Dia memang seperti itu. Kurang ramah dengan orang lain. Entahlah Om sendiri tak paham kenapa dia bisa bersikap sedingin itu pada lelaki. Padahal dengan atasannya saja, Om bisa melihat dia bisa tertawa lepas seolah tanpa beban." "Atasannya?" "Iya. Bosnya di kantor. Tadi Om tak sengaja melihat saat bosnya itu mengantar Rhea pulang. Mereka tertawa bersama di depan." "Jadi yang tadi mengantar Rhea pulang itu atasannya?" "Iya. Apa kamu juga melihatnya?" Kepala Haris menggeleng. "Tidak. Hanya sekilas saat saya datang, mobil yang mengantar Rhea meninggalkan halaman." Tanya dalam benak Haris terjawab sudah. Dia pikir pria yang dua kali dalam sehari ini dia lihat bersama Rhea adalah kekasih gadis itu. Tapi rupanya bukan. "Itulah Ris yang membuat Om cemas pada Rhea. Jika dengan pria lain saja Rhea sama sekali tak pernah menggubris dan suka bersikap sinis. Bagaimana dia bisa segera dapat jodoh kalau membuat lelaki takut dengan sikapnya itu. Tapi jika dengan Rio yang jelas-jelas sudah berkeluarga, Rhea bisa sedekat itu. Om sungguh takut jika tanpa Om tahu Rhea dan Rio menjalin hubungan." "Sebentar Om. Saya masih sedikit bingung dan kurang paham. Rio yang Om maksud itu apakah nama atasannya Rhea?" "Iya benar. Rio Sadewa. Pemilik perusahaan properti tempat Rhea bekerja. Lelaki yang sudah beristri dan memiliki anak. Begitu lah yang Om tahu dari cerita Rhea." "Om jangan terlalu khawatir begitu. Mungkin memang Rhea dekat dengan atasannya hanya karena urusan pekerjaan." "Om berharapnya demikian, Ris. Hanya saja feeling Om sebagai seorang Ayah ini tak dapat dibohongi. Om sungguh cemas. Takut Rhea dan Rio malah membuat kesalahan. Andai Rhea memiliki kekasih atau teman dekat, mungkin Om nggak akan secemas ini." "Om harus percaya pada Rhea. Saya yakin Rhea tidak mungkin menjalin hubungan dengan seorang pria beristri." "Ya. Semoga saja. Ris, apa kamu belum ada keinginan untuk menikah?" Haris terkejut ditodong pertanyaan seperti itu. "Keinginan menikah sih ada, Om. Calonnya yang belum ada," jawabnya sembari terkekeh. "Mau tidak jika kamu Om jodohkan dengan Rhea?" Mata Haris membulat sempurna karena terkejut mendengar permintaan Deni Purnama. ••• Keesokan paginya. Rhea selesai sarapan dengan ayah dan ibunya. Dia harus buru-buru pergi ke kantor karena hari ini Rhea tidak membawa kendaraan sendiri. "Apa mau Ayah antar saja kamu ke kantor?" tanya Deni yang langsung dijawab dengan gelengan kepala Rhea. "Tidak usah, Yah. Nanti Ayah harus putar-putar jika mengantarkan aku ke kantor dulu," tolak Rhea karena dia tidak mau merepotkan sang Ayah. Deni Purnama memang setiap hari selalu mendatangi tempat usahanya. Ada beberapa toko kelontong yang terletak di kawasan pasar tradisional, juga di beberapa tempat yang lainnya. Total sekitar lima toko yang Deni punya. "Untuk anak Ayah, apa sih yang merepotkan. Nggak ada!" "Nggak papa, Yah. Aku naik taksi online saja. Pagi-pagi pasti macet di mana-mana. Ayah akan kecapekan nanti jika terjebak macet." "Baiklah jika seperti itu." Rhea melangkahkan kaki keluar rumah sembari membuka sebuah aplikasi untuk memesan ojek online melalui ponselnya. Namun, begitu gadis itu membuka pintu rumah, ia sudah dikejutkan dengan keberadaan mobil seseorang. Mata Rhea memicing mencoba membenarkan penglihatannya bahwa tidak salah karena kini yang ia lihat adalah mobil milik Rio Sadewa yang parkir di depan pagar rumahnya. Gegas Rhea mendekat, bertepatan dengan Rio yang keluar dari dalam mobil. Menyapa Rhea dengan senyuman lebar. "Selamat pagi, Re!" "Loh, Pak Rio kok bisa ada di sini?" "Sengaja mau jemput kamu." "Kok gitu? Kemarin saya sudah mengatakan pada bapak jika saya naik taksi saja." "Saya tidak enak sama kamu karena gara-gara mobil ditinggal di kantor, kamunya harus kerepotan berangkat kerja." "Tapi saya beneran nggak apa-apa, Pak." "Its okay. Yang penting sekarang saya sudah ada di sini. So, bisa kita berangkat sekarang? Keburu siang nanti." Rhea tak ada pilihan menolak. Toh, Rio sudah ada di rumahnya. Tak enak hati jika Rhea tetap bersikeras menolak ajakan berangkat kerja bersama. Untung saja tadi dia belum sempat memesan taksi online. Kepala wanita itu mengangguk tanda setuju, yang makin melebarkan senyuman di bibir Rio. Dengan cekatan Rio membukakan pintu mobil agar Rhea dapat masuk ke dalamnya. Tanpa mereka berdua tahu jika di rumah depan, ada Haris yang sengaja mengintip dari kaca jendela. Pria itu tadi memang akan berangkat kerja. Namun, diurungkan karena melihat keberadaan mobil milik Rio terparkir di halaman rumah Deni. Haris memperhatikan interaksi keduanya dengan alis terangkat. Dalam benaknya bertanya, apa iya keduanya hanya sebatas atasan dan bawahan saja? Ah, Haris memukul kepalanya sendiri karena terlalu ingin tahu urusan orang lain. Mungkinkah hatinya mulai terusik sebab tawaran yang Deni Purnama berikan semalam? Beruntungnya Rio lekas menjalankan mobil dan meninggalkan kediaman Deni Purnama. Hingga Haris tak perlu melihat lagi bagaimana berserinya wajah Rhea saat mengobrol dengan Rio Sadewa. Pantas saja Deni sampai khawatir karena yang Haris lihat, keduanya memang tampak sangat akrab. Pria itu melangkah keluar rumah menuju motornya. Di saat itulah ia melihat Deni keluar dari dalam rumah. Memperhatikan jalanan di mana Rhea tak lagi terlihat. "Pak Deni, selamat pagi!" Sapaan dari Haris mengejutkan Deni. Jujur, Deni memang tidak memperhatikan sekitar karena fokusnya adalah Rhea dan Rio. Pria paruh baya itu tersentak lalu menolehkan kepala pada tetangga depan rumahnya. "Eh, Haris. Sudah mau berangkat?" "Iya. Om sendiri belum mau berangkat?" "Sebentar lagi." "Baiklah, Om. Saya duluan." "Silahkan. Hati-hati di jalan." Haris menganggukkan kepalanya. Memasang helm dan menaiki motor yang terparkir di teras rumah. Sebelum benar-benar meninggalkan rumah, Haris membunyikan klakson sembari menganggukkan kepalanya menyapa Deni. ••• Sementara itu, Rio dan Rhea sampai juga di kantor setelah menempuh perjalanan sekitar satu jam dan terjebak macet di jalanan. "Pak Rio, terima kasih tadi sudah jemput saya." "Sama-sama. Ya sudah. Kita keluar." Sebenarnya Rhea sedikit was-was saat turun dari dalam mobil Rio. Kepalanya celingak celinguk memperhatikan sekitar. Bukan apa-apa, hanya saja dia malas sekali mendengar omongan tidak enak tentangnya dan Rio dari para karyawan kantor ini yang melihatnya berdua dengan atasan mereka. Jujur Rhea akui, Rio adalah sosok lelaki idaman untuk dapat dijadikan pasangan. Hanya saja Rhea mencoba untuk tahu diri jika Rio tidak mungkin ia jangkau. Rio, pria beristri dengan dua orang anak. Dengan cepat Rhea berjalan menuju pintu masuk kantor. Rio yang tak menyadari bahwa Rhea sengaja menjauh darinya, justru menyusul wanita itu. Tanpa mereka berdua sadari, jika ada saja karyawan usil yang menangkap gambar mereka berdua dan dijadikan bahan gosip dalam grup ghibah para karyawan.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD