Haris tersenyum kecut masuk ke dalam rumah. Entah apa salahnya sampai anak tetangga depan rumah selalu sinis dan menunjukkan ketidaksukaan padanya. Padahal dia tidak pernah mencari masalah. Kadang-kadang saja Haris akan menegur sebagai wujud dari keramahan dengan tetangga. Namun, sepertinya Rhea memang tidak mau kenal dengannya.
Pria itu mendengus. Hari ini dia pun harus dipertemukan dengan Rhea di hotel tempatnya bekerja. Rhea tidak sendiri tapi masih dengan pria yang sama dengan yang tadi mengantar gadis itu pulang. Bahkan dengan lelaki tadi saja Rhea bisa senyum. Haish! Haris menghalau rasa kecewanya karena memang Rhea bukanlah siapa-siapanya. Untuk apa juga dia memusingkan perihal kelakuan gadis itu. Jika memang Rhea sengaja tak ingin berbaik hati padanya, biarkan saja.
Gegas masuk ke dalam rumah, selalu saja sepi yang melanda. Haris jadi merindukan rumah sederhana milik keluarganya yang ada di desa. Meski rumah yang ada di kampung terkesan kecil dan apa adanya, jauh dari kata mewah, akan tetapi mampu memberikan kehangatan bagi para penghuninya.
Tak mau terlarut akan keadaan, Haris melepas seragam kerjanya, lalu pergi mandi. Seperti biasanya, jika dia bekerja shift pagi maka malam ini usai dengan ritual membersihkan diri, Haris kembali meninggalkan rumah untuk menuju masjid yang terletak di dalam kompleks perumahan ini.
Hampir pukul sembilan malam ketika Haris memutuskan untuk kembali pulang, setelah sebelumnya lelaki itu sempat mengisi perutnya dengan makanan yang ia beli di pinggir jalan depan komplek perumahan. Tidak hanya untuk makan malamnya seorang, tapi tak lupa juga ia bagi dengan satpam kompleks yang malam ini sedang berjaga.
"Haris!" Panggilan dari seseorang yang sangat dia hafal diluar kepala, mengurungkan langkah kaki Haris yang sudah berbelok menuju pintu rumah kontrakannya. Ya, pria itu memang sengaja hanya berjalan kaki karena jarak rumah dengan masjid tidak lah jauh. Pun halnya dengan beberapa fasilitas umum yang terdapat di area depan kompleks perumahan.
Haris memutar kepala, seulas senyuman tersungging di bibirnya. "Selamat malam, Pak Deni," jawabnya, tidak jadi masuk ke rumah, tapi lelaki itu justru melipir ke rumah tetangga sebelah.
Pagar rumah Deni Purnama memang masih terbuka lebar. Begitu pula dengan pintu yang belum tertutup karena si empunya rumah sedang duduk di teras ditemani dengan segelas teh hangat. Papan catur, sudah teronggok di atas meja. Siap dimainkan seperti biasanya.
"Dari masjid, Ris?" Deni bertanya ketika pria muda tetangga depan rumahnya sudah duduk bersamanya. Deni memperhatikan penampilan Haris yang masih mengenakan sarung, baju koko dan juga peci.
"Iya, Om. Tadi baru jamaah di masjid. Lalu mampir sebentar beli nasi goreng."
"Jadi kamu sudah makan?"
Haris menganggukkan kepalanya. "Sudah. Makan bareng di pos satpam."
Deni tersenyum penuh kekaguman. Pria di hadapannya ini memang baik dan perhatian pada sekitarnya. Hampir setiap hari, Haris akan memberikan makanan pada satpam kompleks. Padahal mereka petugas keamanan sudah mendapatkan gaji setiap bulan.
"Mau kopi?"
"Jangan repot-repot, Om. Nanti saya bisa bikin kopi sendiri di rumah."
"Sudahlah, ngopi bareng di sini saja. Kita main catur dulu. Lagian ini masih sore juga. Belum ada jam sembilan."
Belum sempat Haris menolak, Deni sudah lebih dulu memanggil istrinya. Sungguh, membuat Haris tidak enak hati karenanya.
"Bu! Tolong buatkan kopi satu!" teriak Deni langsung terdengar di telinga Arni. Perempuan itu memang masih menonton televisi. Barulah setelah sinetron kesukaannya selesai tayang, maka Arni akan bisa tidur nyenyak.
Arni keluar menuju teras. "Eh, ada Nak Haris."
"Iya, Bu. Belum tidur?"
"Sebentar lagi. Sinetronnya masih seru. Ini Ayah mau dibuatin kopi sekalian apa hanya untuk Nak Haris saja?" tawar Arni yang mendapat gelengan kepala dari Haris.
"Bu Arni, tidak usah repot-repot. Saya tidak usah dibuatkan kopi. Nanti malah saya susah tidur." Alasan yang Haris bagi karena dia tak mau merepotkan tetangganya ini. Sudah bagus dia diijinkan main di rumah ini sehingga tak perlu kesepian di dalam rumah seorang diri.
"Ya sudah kalau begitu saya buatkan wedang jahe saja. Biar badannya anget dan nanti tidurnya nyenyak," ucap Arni bersemangat masuk ke dalam rumah. Sampai-sampai Haris tak berhasil menolak.
Deni terkekeh. "Sudahlah Haris. Jangan merasa sungkan begitu. Kamu ini sudah kami anggap seperti anak sendiri. Sambil menunggu wedang jahe, kita main saja. Bagaimana?"
Mana mungkin Haris menolak karena Deni sudah membuka papan catur dan mulai menatanya. Haris hanya mengikuti saja dengan permintaan Deni Purnama. Matanya sesekali mengedar ke dalam rumah mencari sosok Rhea yang tidak terlihat. Entah kenapa Haris selalu saja merasa terusik dengan keberadaan gadis itu. Apakah itu tandanya dia ada ketertarikan pada anak dari Deni Purnama? Haris tak tahu dan enggan mencari tahu. Rasa hormatnya pada Deni, membuatnya tidak berani sekedar mendekati Rhea.
Sementara itu di dalam rumah, dua cangkir wedang jahe panas sudah siap untuk dibawa keluar. Sayangnya mendadak perut Arni mulas dan harus segera menuntaskan hajatnya.
"Re! Rhea!" panggil Arni pada putrinya yang nampak keluar kamar.
Rhea memang sedang ingin mencari camilan dengan membuka kulkas dan mencari ada makanan apa yang bisa dia makan malam ini. Tanpa melihat ke arah ibunya, Rhea menjawab. "Kenapa, Bu?"
"Ibu minta tolong bawa minuman ini ke depan. Sudah ditunggu Ayah di depan!" teriak Bu Arni tak kalah lantang sebelum akhirnya menghilang masuk ke dalam kamar mandi.
Rhea mendengus. Tak jadi mengambil makanan. Gadis itu kembali menutup pintu kulkas dan menuju meja makan. Keningnya mengernyit heran. Ada dua buah cangkir minuman yang Ibunya buat. Menerka-nerka apakah sang ayah sedang ada tamu. Tanpa berpikir panjang, gadis itu mengangkat nampan yang tak hanya berisi minuman tapi juga ada satu piring kue coklat yang Rhea tahu adalah hasil bikinan sang ibu sendiri. Bukan dari beli.
Begitu sampai di ruang tamu, telinga Rhea menangkap suara-suara yang ditimbulkan oleh sang Ayah bersama seseorang. Barulah Rhea paham jika di depan bukannya ada tamu tapi ayahnya memang tengah bersama tetangga depan rumahnya.
Rhea mendengus keras. Langsung merasa tidak suka ketika mengetahui fakta yang ada. Rhea kecewa. Sudah dia bela-belain buru-buru ternyata hanya demi Haris seorang. Entahlah. Rhea tak paham kenapa ayah dan ibunya terlalu baik pada Haris Saputra. Padahal pria itu bukan siapa-siapa mereka.
"Loh, kamu Re yang buat minuman?" tanya yang Deni lontarkan karena terkejut melihat putrinya datang mengantarkan minuman.
"Ibu yang buat. Aku hanya diminta mengantar saja karena Ibu sedang sakit perut."
"Oh!"
Mengetahui jika Rhea lah yang kini meletakkan minuman di atas meja, Haris mendongakkan kepala. Dasarnya Haris yang memang ramah, bisa-bisanya pemuda itu justru mengulas senyuman sebagai perwujudan rasa terima kasihnya. Namun, siapa sangka jika Rhea juga tanpa sengaja sedang menoleh padanya hingga tatapan keduanya beradu.
Senyum Haris perlahan luntur. Niatnya untuk mengucapkan terima kasih pun urung dilakukan sebab delikan mata Rhea yang menyiutkan nyalinya.