1. Rheania Purnama
"Kenapa malam sekali pulangnya, Rhea?" teguran Deni Purnama pada sang putri tercinta, ketika malam ini gadis cantik itu baru saja turun dari dalam mobil.
Rhea mendengus. Ini bukan kali pertama baginya pulang malam menyentuh pukul sepuluh. Namun, ayahnya selalu saja mempertanyakan hal yang sudah pasti tahu jawabannya.
"Tadi lembur, Yah," jawab Rhea singkat, mendekati ayahnya untuk dapat mencium punggung tangan lelaki berusia lima puluh tujuh tahun itu. "Aku masuk dulu, capek ... ingin istirahat," pamitnya kemudian melenggang pergi meninggalkan sang ayah di teras rumah. Mengabaikan sosok orang lain yang sedang duduk bersama Deni Purnama. Bahkan Rhea tak perlu repot-repot menyapa apalagi menolehkan kepalanya untuk dapat melihat rupa pria tampan yang malam ini sedang menemani Deni main catur.
Begitulah Rhea. Yang belum mengenal, pasti akan langsung menilai jika wanita itu sombong sebab tak seberapa mau peduli dengan orang-orang di sekitarnya jika itu tak ada kaitan dengannya. Rhea terlalu malas mengurusi hidup orang lain karena hidupnya sendiri saja sudah cukup rumit untuk dia pahami.
Menjadi sosok wanita berusia dua puluh tujuh tahun dengan status jomlo saja sudah kerap membuatnya sakit kepala sebab akan ada banyak orang yang mempertanyakan perihal statusnya. Seperti kapan kamu menikah? Mana calonmu, kok tidak pernah terlihat jalan bersama lelaki.
Duh, kepala Rhea akan meledak seketika jika soalan hidupnya dijadikan bahan ghibah orang-orang di sekitarnya. Oleh karena itulah kenapa ia sangat malas jika berhubungan dengan orang lain di sekitarnya. Dalam kamus hidupnya, Rhea hanya akan menghabiskan waktu setiap harinya untuk bekerja, berkumpul dengan keluarga inti seperti ayah, ibu dan kakak lelakinya. Juga tak lupa, menyenangkan dirinya sendiri sebagai bentuk reward atas kerja kerasnya selama ini.
Wanita muda dengan wajah lelah itu kini menyeret langkah kakinya masuk ke dalam rumah, hingga punggungnya tak lagi terlihat oleh Deni, sang ayah.
"Begitulah putri Om. Setiap hari hanya sibuk bekerja tanpa memikirkan kehidupan pribadinya," gumam Deni yang terdengar jelas di telinga Haris Saputra.
Ya, sosok pemuda yang saat ini sedang bersama Deni, bermain catur di teras rumah, menghabiskan waktu malam mereka untuk melepas penat setelah seharian sibuk bekerja.
"Om pasti bangga karena memiliki putri yang hebat. Wanita karir yang mandiri dan juga cantik." Tanpa sadar Haris justru memuji Rhea. Bagaimana pun, dia akan menyanjung putri dari sosok Deni Purnama. Lelaki baik yang menjadi panutan olehnya. Di lingkungan komplek perumahan ini, Deni salah satu warga yang disegani oleh para tetangga sekitar tempat tinggalnya. Selain orangnya baik, sikapnya juga santun serta ramah pada siapa pun juga. Jadi, tak heran jika Haris pun mengidolakan lelaki itu. Menganggap Deni sebagai pengganti sosok bapaknya yang berada jauh darinya. Karena kedua orangtuanya tinggal di sebuah kampung yang jauh dari pusat kota. Dari Deni juga Haris banyak belajar akan perjalanan hidup yang penuh lika liku. Sebagai seorang bujangan yang mengontrak rumah tepat di depan tempat tinggal Deni, Haris juga mencoba mendekatkan diri pada para tetangganya. Beruntung ia selalu dipertemukan dengan orang-orang yang baik dan selalu membantunya.
"Skak!" Dengan lantang Deni berucap mengagetkan Haris akan lamunan. Ya, dia sedikit lengah tadi sebab Deni harus membahas mengenai Rhea dengannya. Salah satu hal yang membuat Haris mendadak kepikiran. Entah apa sebabnya.
Pria itu menggaruk belakang telinganya karena kalah telak melawan Deni Purnama.
"Yes! Akhirnya Om menang juga anak muda!" pekik kegirangan Deni sebab mampu mengalahkan pemuda tampan itu malam ini dalam permainan catur mereka.
Haris hanya cengengesan harus menerima nasib kekalahannya malam ini. Deni membereskan anak catur dan menutup kotaknya karena permainan catur mereka telah usai dengan kemenangan diraih oleh Deni Purnama. "Ini sudah malam. Sebaiknya kamu lekas istirahat. Besok harus kerja, kan?"
"Iya, Om. Tapi malam ini saya ada jadwal ronda."
"Loh, bukannya kemarin kamu sudah ronda?"
"Iya, Om. Kemarin saya menemani Pak Roni dan kawan-kawan."
"Astaga, Haris! Kamu ini buang-buang energi saja. Daripada kamu sibuk ngeronda setiap malam, ada baiknya kamu pergunakan saja waktumu untuk istirahat. Badanmu ini pasti capek dan lelah karena seharian sudah bekerja keras."
"Mestinya sih begitu, Om. Tapi jika belum lewat tengah malam ... mata saya ini susah terpejam."
"Jaga kesehatan, Haris. Kurang tidur itu tidak baik bagi kesehatan. Akan mendatangkan banyak penyakit. Kamu ini masih muda. Perjalanan hidupmu masih panjang. Mana belum menikah."
Lagi-lagi Haris cengengesan ketika mendapatkan petuah dari tetangganya yang baik hati ini. "Iya, Om. Mungkin besok saya akan coba untuk tidur lebih awal. Karena jika hari ini saya terlanjur dapat jadwal dan tidak bisa mengubah sembarangan."
"Iya itu benar. Kamu memang harus mencoba dan membiasakan diri untuk tidur lebih awal."
"Semoga saya bisa ya, Om. Soalnya jika di rumah sendirian saya selalu merasa kesepian. Jadi itulah yang menyebabkan saya susah tidur. Ujung-ujungnya pasti saya akan mendatangi pos ronda untuk cari hiburan juga teman ngobrol."
"Nah, ini akar permasalahannya. Sebaiknya kamu segera menikah saja agar tidak lagi kesepian jika di rumah sendirian."
"Haduh, Om. Siapa juga yang mau sama saya. Wong saya ini hanya seorang satpam. Gadis-gadis jaman sekarang itu pasti yang dicari adalah para pengusaha atau abdi negara. Orang biasa seperti saya ini hanya numpang lewat saja," ucap Haris diakhiri dengan kekehan.
"Jangan minder begitu. Nggak boleh merendahkan diri sendiri. Meski pekerjaanmu hanya satpam, yang penting kan pekerjaan halal. Kamu ada penghasilan juga. Wajah pun boleh diadu ketampanannya."
Haris justru tertawa. "Om Deni ini bisa saja memuji saya. Ya, sudah. Saya ke pos ronda dulu ya, Om. Besok kita tanding lagi. Saya jamin jika besok sayalah yang akan kembali jadi pemenangnya," ucap Haris menyombongkan dirinya lalu beranjak dari duduk.
"Jangan sombong kamu anak muda! Kita lihat saja besok. Om pasti bisa mengalahkan kamu lagi seperti malam ini."
"Saya pamit, Om."
"Hati-hati di jalan. Terima kasih Karena sudah menemani Om malam ini."
"Sama-sama."
Haris melangkah keluar dari halaman rumah milik Deni Purnama. Hampir setiap malam di saat jadwal kerja Haris adalah shift pagi, pasti pemuda itu akan bertandang ke rumah sang tetangga. Apalagi jika bukan untuk mencari hiburan. Meski hanya bermain catur saja, setidaknya Haris tak lagi kesepian karena ada teman. Tinggal seorang diri di dalam rumah kontrakan tentu saja sudah menjadi konsekuensinya jika harus merasa kesepian ketika dulu memutuskan untuk meninggalkan kampung halaman tercinta. Demi sebuah pekerjaan yang layak dan demi mendapat penghidupan yang jauh lebih baik lagi. Haris pun juga memiliki cita-cita tinggi untuk membahagiakan Ibu dan bapaknya di kampung. Meski begitu menginjakkan kaki di kota, hanya pekerjaan sebagai satpam lah yang mampu ia dapatkan. Namun, Haris tak pernah lupa bersyukur. Setidaknya Tuhan telah memberikan dia kemudahan ketika dua tahun lalu ia memutuskan untuk mengadu nasib di kota besar ini.