5. Nasehat Deni

1034 Words
Suara deru mesin mobil yang berhenti di depan rumah, membuat Deni gegas menuju ruang tamu depan. Menyingkap tirai yang menutupi kaca jendela. Melihat sang putri yang datang dengan diantar seorang pria. Tentu saja Deni sudah kenal siapa pria itu. Rio Sadewa yang merupakan atasan putrinya. Deni masih mengawasi interaksi yang terjalin di antara Rhea dengan Rio. Sebagai seorang Ayah, tentu saja ada terselip rasa khawatir melihat kedekatan yang terjalin di antara keduanya. Rhea tampak tertawa lepas di depan Rio. Begitu bahagia. Deni justru merasa tidak suka akan hal itu. Bagaimana pun juga yang Deni tahu dari cerita Rhea bahwa Rio sudah berkeluarga. Berkali-kali pula Deni mengingatkan agar Rhea tidak terlalu akrab dengan sang atasan. Namun, pada kenyatannya mereka berdua masih saja tak ada batasan. Deni membuang napas kasar. Tak mau terus-terusan melihat sesuatu yang tidak ia suka, lelaki paruh baya itu memilih duduk di sofa ruang tamu menunggu putrinya masuk ke dalam rumah. Rhea. Gadis itu mengucapkan banyak terima kasih pada sang atasan yang sudah berbaik hati mengantarnya pulang. "Terima kasih Pak Rio sudah mengantar saya pulang." "Sama-sama. Besok pagi saya akan menjemputmu lagi." Sontak Rhea menggelengkan kepalanya. "Eh tidak usah, Pak. Saya bisa naik taksi online besok." "Tapi kamu meninggalkan mobil di kantor karena urusan pekerjaan dan saya sebagai atasan harus bertanggung jawab akan hal itu." "Tidak perlu, Pak. Beneran. Anggap saja itu sudah menjadi konsekuensi akan pekerjaan saya." "Yakin kamu mau berangkat sendiri besok?" Kepala Rhea mengangguk. Mana mungkin dia akan membiarkan Rio menjemput, lalu mereka pergi ke kantor bersama. Bisa-bisa gosip yang akan menyebar di kantor semakin luas jika melihat dia dan sang atasan datang berduaan. "Yakin. Lagipula rumah saya ini jauh dari rumah bapak. Bisa-bisa bapak harus berangkat subuh agar tidak terlambat sampai kantor nanti." Rio tertawa. "Kamu ini bisa saja. Ya sudah jika kamu beneran menolak. Kalau begitu saya pulang dulu." "Maaf ya, Pak. Tidak menawari bapak untuk masuk ke dalam. Saya nggak enak hati dengan anak istri bapak jika Pak Rio pulang kemalaman." Nampak senyum yang dipaksakan di bibir Rio. Lalu, pria itu pamit undur diri. "Saya pulang dulu. Sampaikan salam saya pada Ayah dan Ibumu." Rio melemparkan seulas senyuman sebelum masuk ke dalam mobil miliknya. Rhea melambaikan tangan begitu mobil mulai melaju. Baru saja Rhea ingin berbalik badan, ketika suara raungan motor membuatnya kembali menoleh ke belakang. Rhea sungguh tak tertarik dengan kedatangan Haris Saputra yang saat ini sudah memarkir motor di halaman rumah kontrakannya dan pria tinggi itu turun dari atas motornya. Rhea melenggang masuk begitu saja ke dalam rumah. Mengabaikan Haris yang menatapnya sembari melepas helm yang membungkus kepala. Entah apa yang sedang dipikirkan oleh Haris saat ini karena selalu saja dicueki oleh Rhea. Setelah melepas sepatu dan menyimpannya di rak yang ada di teras depan, Rhea membuka pintu rumah. Langsung terkejut mendapati tatapan penuh selidik dari sang Ayah. Sampai-sampai Rhea harus mengusap dadaa sebab jantung yang berdetak kencang akibat keterkejutannya. "Yah, sendirian?" tanya gadis itu, mendekati sang Ayah untuk dapat mencium punggung tangannya. "Baru pulang kamu?" "Iya. Masih belum terlalu malam kan?" sindir Rhea. Pasalnya selama ini sang Ayah selalu saja tak suka ketika melihat dia selalu pulang malam. Rhea tahu dia salah karena terlalu sibuk dengan pekerjaan. Tapi itulah jalan hidup yang dia pilih dan Rhea ingin kedua orang tuanya menghormati keputusannya itu. "Duduk!" titah Deni yang tak mungkin dibantah oleh Rhea. Perempuan itu masih ada hormat serta sopan santun pada ayahnya. Meski pun lelah dan ingin istirahat, tak ayal Rhea pun duduk di kursi yang ada di samping ayahnya. "Ada apa lagi, Yah?" "Mobilmu mana? Kenapa kamu pulang bersama Pak Rio?" "Oh, itu. Mobil aku tinggal di kantor." "Kenapa?" "Ish, Ayah. Dengar dulu ceritaku. Tadi aku dan Pak Rio baru saja meeting dengan klien. Karena selesainya sudah sore, jadi Pak Rio menawarkan diri langsung mengantar pulang saja. Jika harus kembali ke kantor kejauhan dan pasti terjebak kemacetan. Bisa-bisa aku pulang malam dan diomeli Ayah lagi." Deni menghela napas lelah. Beliau tak tahu lagi bagaimana menghadapi sikap dan sifat keras kepalanya sang putri. "Re, kamu masih ingat kan jika atasanmu itu sudah memiliki keluarga?" "Ya ingat lah, Yah. Memangnya apa hubungannya? Yang namanya pekerjaan dengan urusan pribadi itu tidak bisa dicampur adukkan. Aku bersama Pak Rio juga karena ada kerjaan yang harus kita lakukan bersama. Seharusnya istri Pak Rio memahami itu, Yah." "Ayah tahu. Tapi alangkah baiknya jika kamu bawa mobil sendiri apabila sekiranya meeting yang kalian lakukan sampai sore. Agar Pak Rio tidak perlu repot-repot mengantar kamu pulang." "Sudahlah, Yah. Aku pusing. Ayah kenapa sih makin ke sini makin curigaan saja sama aku. Padahal aku ini tidak pernah berbohong pada Ayah. Jika aku katakan kerja ya pasti kerja. Jika lembur ya memang lembur sampai harus pulang malam. Aku tidak ke mana-mana, Yah!" "Ayah percaya sama kamu, Re. Hanya saja feeling ayah ini selalu tidak enak jika melihat kedekatan kamu dengan Pak Rio. Ayah hanya takut jika hubungan kerja di antara kalian sampai terbawa perasaan. Yang namanya sering dekat tak menampik fakta jika nantinya kalian saling nyaman. Ini ayah hanya ingin menasehatimu saja karena sayangnya ayah sama kamu, Rhea." "Aku tahu batasan, Yah. Jangan terlalu mengkhawatirkan berlebihan." Sungguh Rhea tak paham. Sebenarnya sedekat apakah dia dengan Rio di mata orang-orang sekitarnya. Kenapa mereka selalu berkomentar sama. Di kantor, hampir sebagian besar karyawan juga kerap membicarakannya. Namun, Rhea abaikan karena menganggap mereka hanya iri saja sebab melihat dia akrab dengan sang atasan. Dan sekarang ketika ayahnya juga memiliki kekhawatiran yang berlebihan, Rhea jadi berpikir apakah benar dia terlalu dekat dengan Rio? Jujur, Rhea tak menampik fakta bahwa hubungan kerja yang dia jalin bersama Rio Sadewa begitu terasa nyaman. Jarang-jarang bisa menemukan sosok atasan yang loyal dan sebaik Rio Sadewa. "Ayah tahu dan Ayah hanya mengingatkan. Jangan sampai kenyamanan yang kamu dapatkan dari Pak Rio, akan menjadi boomerang bagi dirimu sendiri." Rhea hanya menganggukkan kepalanya tak lagi membantah semua ucapan sang Ayah. Rhea merasa terusik dengan semua ucapan yang dilontarkan oleh ayahnya. Lantas, apakah Rhea harus menjauhi Rio? Mana bisa jika hampir setiap hari mereka selalu bertemu. "Jika tidak adalagi yang akan ayah bicarakan, aku ke kamar dulu. Ingin mandi dan istirahat." "Iya. Jangan lupa makan malam. Jarang-jarang kamu bisa ikut makan malam bersama Ayah dan Ibu." "Iya, Yah." Dengan gontai Rhea meninggalkan Deni Purnama.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD