Alif yang baru datang merasa heran. "Kok kalian bisa ketemu di sini?"
Menatap ke arah Nirmala dan Aska.
"Rencana Allah." Sahut Nirmala.
"Mas Aska apa kabar?" Tanya Alif.
Alif mengabaikan perkataan kakaknya dan menatap ke arah Aska.
Aska tersenyum. "Aku baik, lif."
"Alhamndulillah, kalo gitu." Balas tersenyum. "Mbak, mau ngobrol-ngobrol sebentar enggak sama mas Aska?" Balik menatap Nirmala kakaknya.
Nirmala menggeleng. "Lain kali aja, dek. Mbak lelah, pingin pulang, istirahat."
"Tapi kan besok kita pulang ke Jogja, mbak?" Ujar Alif sedikit kecewa.
"Kalo Allah mengizinkan,lain kali kita bisa ketemu dan ngobrol lagi." Sahut Aska.
Aska dan Nirmala sontak saling menatap penuh arti.
Alif terkekeh. "Wah, mas Aska pasti copy paste kata-kata Mbak Mala, ya?"
Aska tersenyum. "Aku duluan ya, lif." Pamitnya sembari menepuk bahu Alif pelan.
Keduanya pun bersalaman.
"Hati-hati di jalan, Mas!" Alif melambaikan tangan ke arah Aska.
Aska balas melambai. "Kalian juga." Tersenyum.
Setelahnya kembali membalik tubuhnya dan berjalan menuju mobilnya sendiri.
Nirmala masih menatapi punggung Aska yang perlahan mulai menjauh.
"Mas Aska itu ganteng dan keren, ya, Mbak!" Goda Alif pada Kakaknya.
Nirmala terkekeh kecil seraya menggeleng pelan. "Tapi dia itu aneh."
Alif menggaruk kepalanya yang tak gatal, bingung. "Aneh gimana, Mbak?"
Nirmala sekali lagi menggeleng. "Udah, lah, enggak usah di bahas lagi."
Nirmala melangkah masuk ke dalam mobil dan di susul oleh Alif. Tak lama mobilpun melaju meninggalkan areal parkir mall.
Sementara itu, Aska tak hentinya tersenyum bahkan terkekeh saat mulai masuk ke dalam mobil. Ia teringat percakapan dirinya dengan Nirmala tadi.
Aska terlihat baru saja turun dari mobil sport'nya.
Di teras rumah, terlihat Pak Andi kepala asistent rumah tangga keluarga Sanjaya bersiap menyambutnya.
"Selamat siang, Den Aska." Ucap. Andi ramah.
"Assalamualaikum, pak Andi." Balas Aska.
Sontak pak Andi tercengang dengan tingkah tak biasa anak majikannya itu. Sebelumnya Aska tak pernah mengucap salam.
"Wa-waalaikumsalam, den." Saking kagetnya pria paruh baya itu menjawab dengan gugup.
Aska tersenyum dan melenggang memasuki rumahnya yang megah.
Saat melewati ruang tengah, Aska melihat Mama dan Papanya sedang duduk di sofa ruang tengah sembari membahas sesuatu.
"Assalamualaikum, Mah , Pah."
Aska mendekat dan menyalami tangan kedua orang tuanya itu.
Sanjaya dan Renata saling menatap bingung mendapati putranya yang tak seperti biasanya.
"Wa'alaikumsalam." Sahut mereka serentak sambil menatap tak percaya ke arah Aska.
Aska beralih duduk di samping Renata dengan senyum yang terus mengembang.
"Aska..." Panggilnya.
"Iya... Ma." Aska masih setia dengan senyuman di bibirnya.
Renata kembali bertatapan dengan Sanjaya sebentar.
"Kamu kelihatan bahagia banget, kamu enggak lagi kesambet kan, nak?" Tanyanya khawatir.
Renata reflek mencubit paha suaminya. Mencoba memperingatkan.
"Apaan sih, ma. Sakit tahu." Keluhnya sambil mengusap bekas cubitan istrinya.
"Ada apa sih, nak sebenarnya?" Tak urung Renata pun merasa penasaran dengan perubahan sikap dadakan putarannya itu.
"Enggak ada apa-apa kok, ma, enggak tahu kenapa Aska bawaanya seneng aja hari ini."
"Kok bisa? Kemarin aja uring-uringan mulu. Sekarang senyum-senyum,papa kira kamu kesam...." Kalimatnya terpotong, tanpa sengaja ia melirik ke arah istrinya yang sudah tampak melotot. "Emang kamu abis ketemu siapa sih?" Buru-buru meralat pertanyaannya.
Renata tersenyum dan tampak menunggu jawaban dari Aska.
"Abis ketemu Monika sama Bram." Sahutnya.
Renata dan Sanjaya kembali bertatapan, panik.
"Ngapain kamu ketemuan sama mereka lagi?"
"Enggak sengaja ketemu, Mah, pas Aska abis makan siang tadi di mall."
"Terus? Kalian cekcok lagi?" Tanya Sanjaya.
"Ya... Pasti lah, Pah. Tapi tadi aku ketemu Mala juga, dan dia nasehatin aku banyak hal." Aska terlihat tersenyum sumringah lagi.
"Maksudnya, Nirmala? Cewek yang nolongin kamu waktu itu?" Tebak Renata.
Aska tersenyum malu. "Iya, mah. Cewek yang bikin Saskia ngerasa keki itu." Senyumnya berganti senyum licik.
"Kenapa emangnya?" Tanyanya penasaran.
"Sekarang Aska tahu, kenapa Saskia keki banget pas ketemu Mala. Karena Mala lebih pinter dari nona sok pinter itu." Tawa Aska pecah, seolah puas bisa membalas adiknya yang suka konyol terhadapnya.
"Bahagia banget ngetawain Adek sendiri." Celetuk Sanjaya.
"Ya... Abisnya, Saskia suka songong sama Aska, sih. Padahal kan posisi Aska abangnya dia, ya walaupun cuma beda setahun."
Renata menggeleng-gelengkan kepala, tersenyum. "Tapi kok bisa kamu tiba-tiba ketemu Nirmala?"
Aska menggeleng "Enggak tahu juga, Mah. Dia tiba-tiba muncul gitu aja."
"Kebetulan, papah sama mamah lagi bicarain tentang dia, kita mau ngirim hadiah ke rumahnya. Rencananya sih, kita mau bantuin pembangunan pesantren mereka."
Aska sontak terlonjak kaget.
"Papah udah selidiki tentang mereka?"
Sanjaya mengangguk."Iya... Tapi enggak sampe ke ranah pribadi, kok."
Aska tersenyum.
"Kalo pesantren yang di Jakarta itu milik sepupunya orang tua Nirmala. Kalo milik orang tua Nirmala ada di Jogja. Bener kan, sayang."
Sanjaya menatap istrinya.
"Iya, bener, pah. Waktu kamu kecil kan kita sering ke Jogja, waktu almarhum kakekmu masih ada."
Wajah Aska langsung seperti teringat sesuatu. "Yang bener, mah, pah?"
"Iya bener lah, sayang. Waktu kecil kan kamu sering di ajak shalat berjamaah di masjid sama kakek."
Sekelebat bayangan seorang gadis kecil langsung membayang di kepala Aska.
Aska teringat samar-samar pernah melambaikan tangannya pada seorang gadis kecil.
"Namaku Nirmala"
"Nirmala." Gumam Aska.
"Papah mau berencana membantu dua pesantren itu."
"Papah mau nyuruh siapa buat nganterin ucapan terimakasih itu? Aska mau ikut kesana!" Ucapnya antusias.
"Kok... Jadi kamu yang tiba-tiba ngebet? Hayo..." Bertanya menyelidik. Sanjaya bertanya menyelidik.
Aska mencoba menormalkan ekspresinya. "Ya... Kan, kita enggak perlu jauh-jauh ke Jogja. Nirmala sama keluarganya masih ada di Jakarta, kok." Kilah Aska.
"Kamu lagi enggak tiba-tiba naksir Nirmala kan, sayang." Renata turut menyelidik.
Wajah Aska langsung bersemu merah.
"Astaga, Aska. Kamu cepet banget jatuh cintanya. Kemarin perasan baru patah hati. Pantes aja kamu di julukin playboy. Sama kayak papah juga sih hehe."
Satu cubitan dari istrinya langsung kembali mendarat di pahanya.
"Mama seneng kalo kamu bahagia, sayang. Tapi menurut mama apa itu enggak kecepetan?"
"Emang mamah sama papah, enggak suka ya, sama Nirmala?"
Renata buru-buru menggeleng. "Bukan begitu sayang, Nirmala dari luar sudah terlihat seperti gadis baik-baik. Tapi..."
Renata saling tatap dengan suaminya, merasa sedikit ragu untuk melanjutkan.
"Tapi apa mah, pah? Apa karena Nirmala enggak sekaya keluarga kita?" Sergahnya tak sabar.
"Astaga... Aska, sejak kapan papa banding-bandingin tentang masalah setatus sosial. Enggak pernah kan?"
"Ya... Terus apa dong alasannya?" Burunya.
"Maksud mamah, kamu kan belum terlalu kenal siapa itu Nirmala, mamah takut kamu patah hati lagi. Dia beda dari cewek-cewek kamu sebelumnya, dia cantik, Solehah pula, sedangkan kamu? Kamu belajar ngaji aja jarang, shalat apa lagi. Siapa tahu kan, kamu banyak saingan, dia banyak yang suka, pria soleh-soleh pula. Atau jangan-jangan udah punya calon suami. Mama cuma khawatir kamu patah hati lagi, sayang." Jelas Renata.
Aska langsung tertunduk dan terdiam.
"Aku baru aja ngerasa bahagia, mah. Kok mamah tega sih patahin semangat aku." Rajuknya manja.
"Mamah kamu itu, cuma ngasih nasehat, supaya kamu enggak terlalu banyak berharap dulu. Dan supaya kamu juga siap mental kalo ternyata bakalan banyak saingannya. Bukan begitu, sayang?" Menatap istrinya lagi manja.
Aska kembali terdiam lagi dan tampak berpikir.
Bersambung