Prolog
Seorang anak kecil laki-laki sekitar sekitar tujuh tahun terlihat berada di antara barisan saf shalat orang dewasa.
Ia mengikuti gerakan shalat orang shalat sambil matanya celingukan ke kanan dan kirinya, tak lama terdengar imam mengucap salam. Anak kecil tersebut turut menoleh ke kanan dan ke kiri mengikuti para orang dewasa yang ada di sisinya.
“Kakek… Aska tunggu di depan aja ya? Di sini Aska gerah, Aska bosen.” Keluhnya pada pria paruh baya yang duduk di sebelahnya.
Sementara itu kakeknya sedang sibuk berzikir. “Yaudah, mainnya di depan aja ya? Jangan jauh-jauh.” Pesannya menghentikan aktivitas zikirnya sejenak.
"Permisi… permisi…” Berjalan membelah barisan bapak-bapak dan menuju keluar masjid.
Sesampainya di luar, Aska segera melepas kopyah di kepalanya sembari menatapi bangunan tinggi yang terdapat di sisi kanan dan kiri masjid. Mengipas-kipaskan kopyah ke tubuhnya untuk mengusir gerah. Dan di depan sana tampak perumahan yang lebih mirip seperti town house.
Samar Aska mendengar suara seorang yang sedang belajar mengaji.
“Qulhuu Allah hu Ahad, Allah hus sommad. Lam yalid…”
Merasa penasaran, Aska berjalan ke sisi lain masjid mencari sumber suara.
“Kamu lagi belajar ngaji?” Tanyanya begitu sudah sampai di hadapan gadis kecil yang tampak sebaya dengannya.
Nirmala mendongak dan tersenyum. “Iya… Aku lagi hafalan Surah pendek.”
“Kamu sudah bisa baca Al-Qur’an?” Menatap kagum ke arah Al-Qur’an yang ada di pangkuan gadis kecil di hadapannya. Dan mulai duduk di hadapannya dengan kaki bersila.
Nirmala kembali tersenyum. “Iya…Alhamndulillah sudah… Memangnya kamu belum bisa baca Alqur’an?” Tanya Nirmala balik.
Aska menggeleng samar, merasa ragu.
“Kamu mau aku ajarin?” Tawarnya ramah.
Wajahnya masih terlihat ragu, ada sedikit gengsi yang menggelayutinya. “Enggak perlu, aku punya guru ngaji hebat di rumah, di Jakarta. Dia pasti lebih pandai dari kamu.” Aska menyombong demi menutupi kekurangannya.
Nirmala kali ini terkekeh kecil. “Kamu lucu deh, kalo enggak bisa ngaji yaudah, enggak apa-apa, ngaku aja. Sini aku ajarin sedikit, enggak perlu malu.” Ucapnya seolah bisa menebak pikiran anak laki-laki kecil di hadapannya itu.
Aska terdiam, wajahnya bersemu merah. Malu.
“Sebelum ngaji, pake kopyahnya dulu, kata ayahku, biar ganteng.” Melirik sebelah tangan Aska yang menggenggam kopyah.
Aska Masih terdiam,bingung.
"Sini, biar ku bantu pakaikan.” Meraih kopyah di tangan Aska dan memakaikannya di kepala Aska yang sedikit lebih tinggi darinya. “Masya Allah, kamu ganteng, apalagi kalo mau belajar ngaji.”Tersenyum. “Aku berharap saat besar nanti, Allah akan mengirim lelaki sepertimu untuk menjadi suamiku sekaligus imamku.”
Sekarang gantian Aska yang terkekeh.
“Kenapa kamu malah ketawa?”
Aska menggeleng. “Enggak… Kamu masih kecil tapi ngomongnya seperti orang dewasa saja.”
“Aku sedang enggak asal bicara, aku sedang meminta kebaikan dari Tuhanku, apa itu salah?”
“Iya deh, terserah kamu saja, jadi mau ngajarin ngaji enggak?” Mencoba mengingatkan.
“Nirmala….” Memanggil dari arah bangunan yang ada di depan masjid.
Nirmala dan Aska sontak menoleh ke asal suara.
“Bundaku sudah memanggil, belajar ngajinya lain kali saja ya?” Menyerahkan Al-Qur’an di tangannya pada Aska. “Ini ku pinjamkan ke kamu, kamu yang semangat ya belajar ngajinya?”
Tak lama gadis kecil itu berlari menuju ibunya.
“Balikin ini nya kapan?” Teriaknya mengiringi langkah Nirmala yang kian menjauh sembari mengacungkan Al-Qur’an di tangannya ke udara.
Nirmala menghentikan langkahnya sejenak dan berbalik menghadap Aska. “Nanti, kalo Allah mengizinkan kita bertemu lagi.” Tersenyum.
“Nama kamu siapa?” Teriaknya lagi.
“Aku Nirmala… Kamu?”
“Aska … Aska Sanjaya.” Menyebutkan nama lengkapnya.
Nirmala tersenyum dan melambai. “Akan ku ingat.” Sahutnya.
17 tahun kemudian.
“Mas!! Awas!!”
Nirmala enarik seorang pria muda yang berjalan linglung menyebrang jalan namun tanpa melihat kanan dan kirinya.
BRUGG…!
TIIIIIIINNNNNN….!
Keadaan sedang gerimis ketika dua orang itu terkulai di sisi trotoar jalan dan sedikit menyita perhatian orang yang berlalu lalang.
“Mas nya enggak apa-apa?” Tanyanya khawatir pada pemuda yang baru saja di tolongnya, kemudian memeriksa tubuh pria itu untuk memastikan apakah ada yang terluka. Namun Nirmala malah menemui aroma alkohol yang menyengat dari tubuh pria tersebut. Sontak ia menutup hidungnya.
Pemuda yang di tolongnya tak menjawab, dengan masih sempoyongan pemuda itu bangkit berdiri dan pergi meninggalkan Nirmala, berjalan lunglai tanpa tujuan.
Karena merasa kawatir, Nirmala diam-diam tetap mengikuti di belakang.
Tak lama…
BRUGG…
Pemuda yang tadi tiba-tiba ambruk di trotoar dan tak sadarkan diri.
Nirmala segera berlari mendekat. “Mas! Mas!”
Menggoyang-goyang tubuh si pemuda.
Langit yang tadinya gelap perlahan berubah terang di atas kota Jakarta.
Sayup-sayup terdengar lantunan ayat Alqur’an. Membuat seorang pemuda berparas tampan itu perlahan membuka matanya, menyipitkan matanya mencoba menyesuaikan cahaya yang masuk ke dalam korneanya. Perlahan ia memperhatikan sekeliling, tempat itu tampak asing baginya.
“Assalamualaikum.” Seorang pria paruh baya masuk dari balik pintu dan sedikit mengagetkannya.
“Apa yang kamu rasakan nak?”
“Ba-baik om…” Menjawab dengan sedikit canggung.
“Perkenalkan, saya Amar.” Tersenyum memperkenalkan diri seraya membantu Aska untuk bangkit duduk.
“Terima kasih.” Ucapnya sembari memegangi kepalanya yang masih terasa pusing.
“Boleh saya tahu siapa nama kamu?”
Aska tersenyum kecil. “Saya Aska, Om.” Jawabnya.
"Nak Aska benar-benar sudah merasa baik-baik saja?” Tanyanya lagi memastikan.
Aska mengangguk pelan. “Bagaimana saya bisa ada disini? Saya di mana ini?”
“Putri saya yang membawamu kemari, semalam kamu pingsan di tepi jalan.”
Aska tertunduk dan terdiam. Kejadian buruk yang belum lama di alaminya kembali membayang.
Aska teringat kekasihnya Monica yang tengah bermesraan dengan sahabatnya sendiri di apartement gadis itu. Padahal malam itu ia berniat melamar Monica.
Mereka terlihat cek-cok sebentar. Aska membuang cincin di lantai.
Aska pergi begitu saja meninggalkan tempat itu dan tiba-tiba saja sudah ada di bar meminum banyak alkohol.
Setelahnya ia berjalan di jalanan tanpa arah tujuan.
Amar duduk di tepi ranjang Aska dan menepuk bahu pemuda itu pelan. “Apa kamu sekarang sedang ada di situasi sulit nak?”
Aska mengangguk samar. Sekuat tenaga menahan air mata yang bisa saja jatuh.
Aska memberanikan mengangkat kepala. “Maafkan saya sudah merepotkan om sekeluarga.”
Amar menggeleng seraya tersenyum. “Enggak nak, kamu enggak ngerepotin kami sama sekali, kami justru bersyukur, putri kami menemukanmu dan membawamu kemari.”
Ceklek…
Pintu kembali di buka seseorang. Seorang pemuda yang terlihat lebih tua dari Aska masuk dengan secangkir the di tangannya.
“Assalamualaikum, mas nya sudah siuman?” Sapa pemuda itu.
“Waalaikumsalam.” Menyahut serempak.
Alif mendekat dan meletakkan the yang di bawanya di atas nakas sisi ranjang.
“Ini putra kedua saya, namanya Alif.” Memperkenalkan putranya.
Alif tersenyum ramah, Aska mengangguk canggung, keduanya saling berjabat tangan dan menyebutkan nama.
“Aska…”
“Alif…” Tersenyum.
“Di minum dulu tehnya, Mas Aska.” Menyodorkan the yang ada di atas meja pada Aska.
Aska menerima the pemberian Alif. “Makasih.” Kemudian meneguk beberapa kali the hangat tersebut dan kembali meletakkannya di atas meja.
“Kami ingin mengabari keluargaku namun enggak menemukan petunjuk apapun untuk menghubungi mereka.”
Aska melihat ke tubuhnya, sudah berganti pakaian memakai pakaian orang lain.
“Apa saya enggak membawa ponsel dan dompet?” Amar menggeleng.
Aska kembali terdiam mencoba mengingat sesuatu.
“Ah… Mungkin terjatuh di jalan saat saya mabuk.”
Amar dan Alif saling tatap sebentar, merasa prihatin.
“Orang tua kamu pasti merasa khawatir.”
“Kamu mau coba hubungin mereka?” Alif menyodorkan ponsel miliknya pada Aska.
Aska menggeleng. “Sebaiknya saya langsung pulang saja.”
“Tunggu putri saya pulang dari pasar ya? Biar nanti dia dan Alif yang mengantarmu pulang.”
“Makasih, om.” Tersenyum tipis.
Obrolan ringan mereka lanjutkan, tak lama terdengar suara berisik di luar.
“Bunda sama Mbak Mala udah pulang, yah.” Mengajak Aska dan Amar keluar kamar.
Suara salam dari beberapa orang, “Assalamualaikum.”
“Waalaikumsalam.” Sahut ketiganya. Di susul juga Syarah sahutan dari arah belakang.
Aska tertegun, ketika melihat dua orang wanita paruh baya, dan dua orang wanita muda, serta seorang pria paruh baya masuk dari bagian belakang rumah.
“Perkenalkan ini adik sepupu saya, namanya pak Rahmat. Dia pemilik rumah sekaligus pemilik pesantren disini.”
“Pesantren?” Batin Aska.
Aska menyalami pak Rahmat dan mencium punggung tangannya.
“Sudah baikan, nak?” Tanyanya ramah.
“Sudah, om.” Canggung.
Ini yang di sebelahnya Bu Aini, istri pak Rahmat. Yang di sebelahnya lagi, Bu Rani, istri saya. Dan yang muda ini Mala, putri pertama saya. Dan yang satunya lagi, Lia anak Pak Rahmat dan Bu Aini.”
Memperkenalkan seluruh anggota keluarganya.
Semua orang mengucapkan, Assalamualaikum.” Sapanya pada Aska.
Aska mendadak canggung dan gugup.
“Wa’alaikumsalam, terimakasih sudah mau menampung saya disini semalam.”
“Kalo kamu belum merasa enakan, kamu boleh istirahat disini dulu nak.” Ucapnya ramah.
“Terimakasih tawarannya, tapi sepertinya saya harus segera pulang, orang tua saya pasti sedang sangat khawatir.” Ujarnya sopan.
“Biar putra saya Alif dan Mala yang mengantarmu pulang.” Menatap ke arah kedua anaknya.
“Iya… Bun, biar aku sama Alif yang mengantar pulang.” Tersenyum manis. Membuat Aska sedikit terpesona.
“Tunggu ya?” Bergegas berlalu mengambil kunci mobil, Nirmala mengikuti adiknya berlalu ke dalam kamar.
Tak lama Nirmala kembali dengan kantong plastik hitam di tangannya.
“Baju kamu, masih belum kering betul.” Menyodorkan kantong hitam tersebut pada Aska.
“Ini?” Menatap ke tubuhnya sendiri yang memakai pakaian orang lain.
“Pakai saja dulu nak.”
“Terima kasih banyak.” Ucapnya makin segan.
“Semoga Allah segera mengganti sedihku dengan kebahagiaan.” Ucapnya lagi tulus.
Semua yang ada disana, “Amiinn.” Menjawab serempak.
Aska bergantian mencium punggung tangan Amar dan Rahmat, kemudian mengapit tangannya di depan mulut memberi salam pada Aini, Rani dan Lia.
“Assalamualaikum.” Ucap Aska berpamitan.
“Walaikum salam.” Sahut mereka semua.
Aska, Nirmala dan Alif bergegas pergi ke halaman parkir mobil. Alif duduk di belakang kemudi, sedangkan Aska duduk di sebelahnya. Nirmala duduk di bangku belakang sendiri. Alif mulai menyalakan mesin mobil dan melajukan mobilnya meninggalkan halaman pesantren.
Bersambung