Matahari sudah mulai mengarah ke barat. Membuat cuaca tak terik lagi.
Aska masih terlihat sibuk di depan cermin, menatap baju yang akan dia kenakan untuk pergi ke pesantren milik sodara Nirmala.
Tiba-tiba Saskia nyelonong masuk ke kamar Aska. "Ckck." Berdecak. "Lo pikir mau kemana? Mau ke pesantren pake baju kayak mau clubing." Ejeknya.
Aska mengenakan setelan kaos hitam ketat dan celana jeans belel robek-robek. Dan tak lupa, aksesoris kalung rante.
"Terus gue harus pake sarung sama kopyah gitu? Lo pikir gue Adam? Hah." Mendengus tak terima.
"Dasar batu, di bilangin enggak ngerti malah nyolot. Penampilan Lo itu mencolok banget tahu enggak?" Sergah Saskia.
"Emang kenapa sih, masalah penampilan doang, kemarin waktu gue di sana juga penampilan gue juga kayak gini. Lagian yang penting hatinya, bukan penampilannya." Sanggah Aska.
"Eh ... Otak seupil. Kemarin itu kan Lo posisinya enggak ada rencana, Lo pingsan dan di tolong sama mereka. Lagian kalo Lo emang punya hati yang baik, enggak mungkin kan Lo penampilan kayak gitu pergi ke pesantren. Enggak sopan tahu enggak? Emang Lo kesana mau ngeceng? Biar di bilang keren gitu? Biar apa lagi coba? Biar dapet gebetan lagi, iya?!"
Aska menghela nafas panjang menghadapi mulut pedas Saskia.
Mendengar keributan putra-putrinya. Renata beringsut menghampiri kamar putranya itu.
Mata Renata terbelalak melihat penampilan Aska. "Ya ampun, Aska. Kamu mau bikin malu mamah sama papah?"
Aska menatap penampilannya sendiri. "Bikin malu apanya sih, mah."
Bibir Saskia mencebik. "Eh, Aska. Namanya mau ke pesantren ya pake baju yang sopan. Pake celana yang bener, terus pake kemeja. Buruan tuh, udah di tungguin Nindi di bawah. Entar kelamaan nungguin Lo, dia jadi lumutan."
Saskia menggeleng jengah, kemudian mengajak mamanya keluar dari kamar Aska.
Sanjaya dan Renata tampak bercakap-cakap di ruang tengah sembari menunggu Aska siap.
"Pah..."
"Hem..." Sahut Sanjaya embari memencet remot mengganti Chanel tivi.
"Kenapa papah nyuruh Nindi buat dampingi Aska ke pesantren? Papa enggak ada niat jodohin mereka kan?" Selidik nya.
Sanjaya menoleh. "Maksud mamah apa? Kan mamah sendiri tahu, Saskia enggak mau Anter Aska ke pesantren. Ya... Papah suruh Nindi aja sebagai perwakilan. Lagian si Nindi itu kan tangan kanan Saskia di kantor. Dia juga anak angkat sahabat papah sendiri. Kalo memang jodoh, ya enggak masalah." Jawabnya Santai.
"Tapi, pah... Kan papah tahu, Aska lagi suka sama siapa sekarang? Sama Nirmala. Emang papah enggak suka sama Nirmala?"
"Jadi mamah lebih suka Nirmala daripada Nindi?" Balik bertanya.
Renata ragu. "Mamah cuma pingin Aska bahagia, Pah."
Sanjaya tersenyum. "Papah juga. Siapapun dia nanti yang akan bersama Aska, papah sih, setuju aja."
"Mamah, juga, Pah." Tersenyum.
**
Aska tampak mengeluarkan seluruh pakaiannya. Namun ia melihat tak ada yang cocok. Celananya rata-rata robek-robek semua. Dan kaos nya bergambar-gambar. Kemejanya, jangan di tanya, dia tidak pernah ke kantor jadi tidak punya kemeja.
Namun wajah Aska seolah menemukan ide, ia bergegas keluar kamar, dan masuk ke dalam kamar adik laki-lakinya--Adam.
Membuka lemari adiknya. Di dalamnya ia menemukan baju Koko warna putih dan celana hitam longgar.
Kemudian bergegas mengenakannya, ia menatap pantulan dirinya sendiri di cermin sebentar.
Namun ia merasa seperti ada sesuatu yang kurang. Tanpa sengaja Aska menoleh ke arah dinding. Dan melihat sebuah kopyah hitam milik Adam menggantung di sana.
Perlahan, Aska mendekat. Meraih kopyah tersebut, dan tersenyum.
Kini ia sudah beralih di depan cermin lagi. Dan perlahan mengenakan kopyah di kepalanya.
Kemudian sekelebat bayangan membayang di benaknya.
"Sebelum ngaji, pake kopyahnya dulu, kata ayahku, biar ganteng." Seorang gadis kecil melirik sebelah tangan Aska yang menggenggam kopyah.
Aska Masih terdiam, bingung.
"Sini, biar ku bantu pakaikan." Meraih kopyah di tangan Aska dan memakaikannya di kepala Aska yang sedikit lebih tinggi darinya. "Masya Allah, kamu ganteng, apalagi kalo mau belajar ngaji."Tersenyum. "Aku berharap saat besar nanti, Allah akan mengirim lelaki sepertimu untuk menjadi suamiku sekaligus imamku."
Aska tersenyum malu di depan cermin mengingat kejadian itu. Kemudian melangkah mantap keluar kamar.
Langit sudah hampir gelap ketika rombongan Aska sampai di pesantren milik sodara Aska.
Kedatangan tamu tak di undang itu mencuri perhatian para santri yang hendak melakukan solat magrib berjama'ah di masjid.
Seorang sopir membukakan pintu untuk Aska. Pria tampan itu keluar dari mobil dan segera mengedarkan pandangannya ke sekitar.
Senyum Aska seketika mengembang ketika pandangannya jatuh pada seorang wanita yang sudah tampak mengenakan mukena.
"Mala!" Serunya antusias.
Nirmala mendongak ke asal suara dan mendapati Aska yang membuatnya sedikit pangling.
Kemudian Nirmala menghampiri Aska. Di belakang pria itu tampak dua orang pria berbadan tegap. Dan seorang wanita cantik tak berhijab namun mengenakan pakaian sopan.
"Assalamualaikum." Sapa Nirmala ketika sudah sampai di depan Aska.
"Wa'alaikumsalam" Sahut Aska dan lainnya.
"Ada rangka apa tiba-tiba kemari?" Pandangan Nirmala sedikit bingung mengawasi orang-orang yang kini bersama Aska.
"Dia ada perlu dengan keluargamu." Menunjuk wanita di sampingnya (Nindi)
"Dan aku ada perlu denganmu." Lanjutnya seraya tersenyum.
"Aku?" Nirmala menunjuk dirinya sendiri.
"Iya... Kamu, Nirmala. Kamu ingat aku kan? Aku Aska Sanjaya." Tersenyum penuh arti.
Nirmala terkekeh dan tertunduk kecil ketika Aska menyebutkan nama panjangnya.
"Kenapa tertawa? Kamu masih ingat kan nama lengkapku? Waktu kecil kamu janji akan mengingatnya."
Nirmala mengangguk. "Aku enggak nyangka, ternyata itu benar kamu."
Aska mengeriyitkan dahinya. "Jadi kamu ngenalin aku?"
"Aku cuma nebak-nebak aja, dan ternyata kamu ngasih jawabannya sore ini."
Nirmala berganti mengalihkan padangannya ke arah wanita yang berdiri di sisi Aska, wanita yang sepertinya sebaya dengannya. Kemudian ia mengulurkan tangan.
"Nirmala." Memperkenalkan diri.
"Nindi." Menjabat tangan Nirmala.
"Kita pernah beberapa kali ketemu di Jogja. Tapi baru kali ini takdir mengizinkan kita berkenalan." Tersenyum.
"Ingatan Anda cukup bagus bisa mengingat pertemuan beberapa tahun yang lalu." Sahut Nindi.
"Mari, Silahkan masuk."
Nirmala menunda langkahnya menuju masjid dan mengantar tamunya masuk ke dalam rumah paman dan bibinya.
Bersambung