Tirai Kedelapan: Momen

1121 Words
Setelah turun dari mobil, Maxwel melihat ponselnya, memastikan nomor unit apartemen Muna yang telah dikirim oleh Pak Broto. Di dalam bagasi mobilnya, ia mengambil beberapa barang dan makanan yang sengaja dibelinya, termasuk mainan untuk Ara. Maxwel menarik nafas dalam-dalam, mencoba menenangkan hatinya yang sedikit berdebar, sebelum mulai melangkah masuk ke apartemen. Sambil berjalan, Maxwel tidak bisa menghindari perhatian dari beberapa wanita yang kebetulan melewatinya di lobi. Beberapa dari mereka terkejut melihat sosok pria tampan seperti Maxwel dan tak segan-segan memuji ketampanannya. "Wow, lihat pria itu! Ganteng banget, ya?" ucap seorang wanita sambil berbisik ke teman di sebelahnya. "Iya, dan lihat cara dia berjalan, tampannya." sahut teman wanita itu, mengangguk setuju. Namun, Maxwel tetap fokus pada tujuannya. Ia tidak memperdulikan komentar atau tatapan para wanita itu. Baginya, satu-satunya yang penting saat ini adalah bertemu dengan Muna. Maxwel menyadari bahwa kedatangannya ini mungkin bisa membuat Muna merasa tidak nyaman. Datang secara tiba-tiba tanpa pemberitahuan bisa saja dianggap sebagai tindakan yang terlalu agresif. Namun, dorongan hatinya lebih kuat daripada keraguannya. Ia ingin memberikan kenyamanan kepada Muna dan berharap wanita itu mau menerimanya, bukan hanya sebagai bos, tetapi sebagai seseorang yang benar-benar peduli padanya. Maxwel tiba di depan pintu apartemen Muna. Dengan satu tangan memegang barang-barang yang ia bawa, tangan lainnya menggapai bel pintu. Ia menarik nafas sekali lagi sebelum menekan bel, mencoba mengumpulkan keberanian dan berharap bahwa langkah ini adalah langkah yang tepat. Dari dalam apartemen, suara langkah kaki terdengar semakin mendekat ke pintu. Maxwel bisa merasakan detak jantungnya semakin cepat, berharap pertemuan ini akan membawa mereka lebih dekat. Pintu akhirnya terbuka perlahan, memperlihatkan wajah Muna yang tampak terkejut melihat siapa yang berdiri di hadapannya. "Pak Maxwel? Apa yang... Anda lakukan di sini?" "Maaf datang tanpa memberitahumu, Muna. Aku hanya... ingin mengunjungi kalian. Aku membawa beberapa makanan dan mainan untuk Ara. Kupikir, mungkin kita bisa menghabiskan waktu bersama di hari libur ini." Muna terdiam sejenak, mencoba mencerna situasi yang tiba-tiba ini. Kedatangan Maxwel yang tanpa diduga membuatnya sedikit bingung. Setelah menghela nafas pelan, Muna akhirnya membuka pintu lebih lebar, mengisyaratkan Maxwel untuk masuk. "Terima kasih, Pak Maxwel. Silakan masuk." ucap Muna tersenyum, mencoba bersikap tenang. Ketika Maxwel yang tiba-tiba datang ke apartemen, Muna merasa campur aduk antara kekhawatiran dan keinginan untuk melindungi diri dari kenangan masa lalu. Meskipun ia tahu Maxwel datang dengan niat baik, kehadiran pria itu tetap memunculkan ketakutan dalam dirinya. Muna berusaha fokus menyiapkan makanan dari Maxwel, meletakkan hidangan ke dalam piring dengan hati-hati sambil sesekali melirik ke arah Maxwel yang duduk tenang di sofa ruang tamu. Muna memejamkan matanya sejenak, mencoba mengabaikan rasa cemas yang menghantuinya. "Terima kasih, Muna." ucap Maxwel dengan senyum penuh, menerima makanan dari Muna. Maxwel, yang merasa jantungnya berdebar melihat Muna begitu dekat, mulai menyadari betapa cantiknya Muna dalam pakaian santai di rumah. Kecantikan Muna tampak semakin bersinar di matanya. Namun, suasana tenang itu tiba-tiba terputus ketika suara lembut dari Ara terdengar. "Mama..." sambil mengucek matanya, Ara terbangun dari tidur dan memanggil Muna. Muna menoleh dan melihat Ara yang baru bangun, berjalan menuju ruang tamu dengan langkah yang sedikit tergesa-gesa. Maxwel langsung mengingatkan dirinya pada tas yang ia bawa, dan dengan cepat mengambilnya dari samping sofa. Ia lalu menghampiri Ara, berlutut di depannya. "Ini untukmu, Ara. Hadiah dariku." sambil tersenyum ramah dan Maxwel mengulurkan tas ke arah Ara. Ara memandang tas itu dengan rasa penasaran, kemudian menatap Muna sejenak, meminta persetujuan untuk mengambilnya. Muna mengangguk, memberi izin kepada Ara. Ara dengan penuh semangat membuka tas dan menemukan kotak berisi mainan Barbie Lego. Ekspresi senang langsung menghiasi wajah Ara, dan dia mengucapkan terima kasih kepada Maxwel. "Terima kasih, Pak Maxwel!" seru Ara sebelum berlari ke karpet di bawah dan mulai memainkan mainannya. Muna, yang menyaksikan reaksi Ara, merasa terkejut dengan bagaimana Maxwel dapat dengan mudah menarik perhatian putrinya. Reaksi Ara terhadap hadiah tersebut sangat berbeda dibandingkan dengan saat Ara bertemu dengan Regan. Muna merasa ada sesuatu yang istimewa dalam cara Maxwel berinteraksi dengan Ara, dan hal itu membuatnya merenung tentang kemungkinan yang ada di depan matanya. Maxwel tersenyum melihat Ara yang begitu gembira dengan hadiah barunya, kemudian memulai percakapan dengan Muna. "Ara tampaknya sangat menyukai mainannya. Itu bagus." "Terima kasih, Pak Maxwel. Anda tidak perlu repot-repot seperti ini." ucap Muna tak enak hati. "Tidak apa-apa. Hum, Muna… Aku penasaran, sebelum kamu bergabung dengan PT. Eliv, apa yang kamu lakukan?" "Oh, sebelum saya bekerja di PT. Eliv, saya sebenarnya tidak melakukan banyak hal. Saya menganggur dan membantu ibu saya di bisnis menjahit baju. Itu adalah cara kami untuk bertahan hidup." "Kedengarannya seperti menyenangkan, kamu anak yang baik. Membantu ibumu bekerja." "Tidak juga, Pak Maxwel. Sebenarnya itu hanya hobi ibu saya, saya membantu karena tidak tahu harus melakukan apa." ujar Muna, tersenyum tipis sambil menemani Ara yang sedang bermain. Maxwel mengangguk, memperhatikan Ara yang meminta bantuan kepada Muna untuk memasang Lego. Ia berdiam sejenak, sebelum akhirnya Maxwel perlahan-lahan duduk di karpet di samping Muna dan Ara, berusaha untuk lebih dekat dengan mereka. Ia merasa langkah ini mungkin dapat mempererat hubungan dengan Muna. Dengan lembut, Maxwel mengeluarkan syal dari dalam tasnya dan kemudian mendekati Muna. Dengan senyum lembut, sambil memakaikan syal di leher Muna. Muna yang terkejut, menatap Maxwel dengan pandangan sulit di mengerti. "Ini untukmu, Muna. Kamu bisa mengenakannya ketika musim dingin datang. Aku harap ini akan membuatmu merasa nyaman." "O-oh, terima kasih, Pak Maxwel. Ini terlalu berlebihan sebagai atasan dan karyawan." Maxwel menurunkan senyumannya, merasakan sesak di hatinya mendengar pernyataan Muna. "Aku mengerti. Tapi aku ingin, kau tahu sejak hari pertama kita bertemu, aku merasa ada sesuatu yang berbeda tentangmu, Muna. Aku ingin lebih dari sekadar atasan" Maxwel menggenggam tangan Muna dengan lembut, membuat Muna terkejut hingga matanya melebar. Maxwel menatap Muna dengan penuh ketulusan. "Aku suka kamu, Muna. Aku tidak memiliki niat lain selain ingin membuatmu bahagia. Aku sudah lama memperhatikanmu sejak hari pertama kita bertemu, dan perasaan ini tumbuh seiring waktu." "Maaf, Pak Maxwel. Aku... aku tidak bisa menerima perasaanmu. Aku minta maaf jika ini mengecewakanmu." Muna perlahan melepaskan pegangan tangan Maxwel dan menundukkan kepala. "Aku tahu tentang pernikahanmu yang gagal, Muna. Aku tidak ingin mengungkit masa lalu itu, tetapi aku ingin kamu tahu bahwa aku tulus." Muna terlihat kesal dan merasa tersinggung, menggelengkan kepala. "Pernikahan masa laluku tidak ada hubungannya dengan keputusan ini. Aku memohon agar kamu menghargai keputusanku. Aku tidak ingin berurusan dengan ini lagi, terutama di tempat kerja. Aku hanya ingin fokus pada pekerjaan dan menjaga Ara." Maxwel, mendengar permintaan Muna yang penuh emosi, merasa hatinya berat. "Kenapa, Muna? Kamu tahu aku benar-benar serius padamu. Kamu bisa melihatnya, kamu bisa menatap mataku." Maxwel menyentuh kedua pundak Muna, menyuruh Muna menatapnya. "Aku mohon, kamu bisa menghargai keputusanku." Maxwel menatap Muna, ia mengusap wajahnya kasar dan menundukkan kepala, terdengar Maxwel menghembuskan nafas panjang. Ia tahu tak mudah mendapatkan hati Muna, dan Maxwel telah gagal mendapatkannya.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD