bc

MUNA: Duka di Balik Tirai Pengantin

book_age12+
273
FOLLOW
1.9K
READ
family
HE
opposites attract
goodgirl
boss
single mother
heir/heiress
blue collar
drama
tragedy
sweet
bxg
lighthearted
city
office/work place
cheating
rejected
secrets
love at the first sight
professor
selfish
like
intro-logo
Blurb

Muna selalu membayangkan hari pernikahannya sebagai awal dari kisah cinta yang sempurna. Dengan gaun putih yang anggun dan senyum yang menghiasi wajahnya, semua orang melihat kebahagiaan terpancar darinya. Namun, di balik tirai pengantin yang megah, tersembunyi luka yang dalam. Di tengah tawa dan ucapan selamat, Muna menghadapi kenyataan pahit yang tak pernah ia duga pria yang ia cintai, meninggalkannya di hari yang seharusnya menjadi hari terindah dalam hidupnya.

chap-preview
Free preview
Tirai Pertama: Kegagalan Pernikahan
Di tengah keramaian yang meriah, Muna berdiri di dalam kamar, menunggu dengan penuh harapan. Gaun pengantinnya, dirancang dengan sempurna, melilit tubuhnya dengan anggun, mencerminkan impian dan cinta yang telah lama ia simpan. Senyum manisnya, yang sebelumnya penuh dengan harapan akan masa depan yang cerah, kini sedikit bergetar seiring dengan rasa gugup yang mulai merayap. Di dalam ruangan kecil yang dihiasi dengan bunga dan lampu lembut, suasana bahagia terasa mengisi udara. Para wanita di sekeliling Muna, dengan raut wajah penuh kegembiraan, tersenyum dan menganggukkan kepala mereka saat menoleh ke arah wanita tua yang sedang menggendong seorang bayi perempuan di tangannya. "Bagaimana? Apakah semua sudah siap?" tanya wanita tua itu dengan penuh perhatian, suaranya lembut dan penuh kasih. Muna, dengan gaun pengantinnya yang anggun dan riasan yang sempurna, berdiri di tengah-tengah ruangan, sedikit gugup namun tetap berusaha terlihat tenang. Dia menoleh ke arah ibunya, yang dengan lembut mengusap bulir keringat yang perlahan menetes di pipinya. "Muna. Kau baik-baik saja, sayang?" tanya ibunya dengan lembut, matanya penuh kekhawatiran namun tetap penuh cinta. Muna tersenyum manis, berusaha meyakinkan ibunya. "Aku baik saja, Mom. Kau tak usah khawatirkan aku. Aku... aku hanya gugup saja, hehe," jawabnya sambil tertawa kecil, mencoba menghilangkan kecemasannya. Ibunya mengangguk dengan lembut, Muna kemudian mengalihkan perhatian pada bayi perempuan yang sedang digendong oleh neneknya. "Ara, kamu bersama nenek dulu ya sayang," ucapnya sambil mengusap lembut kepala bayi dengan mata hijau yang menatapnya polos. Hana, sahabat dekat Muna yang sudah menunggu di luar ruangan, memanggilnya dengan suara ceria. "Muna, saatnya kamu bersiap di altar!" Dengan penuh semangat, Muna menarik nafas dalam-dalam dan berseru dengan penuh percaya diri, "Yeah! I'm ready...!" suaranya menggema di dalam ruangan, disambut dengan tawa ceria dari semua orang di sekelilingnya. Suasana menjadi penuh dengan tawa dan kebahagiaan, menambah kehangatan dan kegembiraan di hari istimewa Muna. Hari yang seharusnya menajdi hari bahagia untuknya, seketika berubah menjadi rasa kecewa dan kesedihan. Di balik pintu, di balik tawa bahagia, dan di balik senyum manis Muna, suasana megah penuh dengan orang-orang yang menatapnya dengan kasihan. Air mata Muna menderai, mengalir di pipinya, saat ia duduk di kursi kamar dengan hati yang hancur. Muna mengalihkan pandangannya pada pintu kamar yang terbuka, menampilkan Hana yang langsung memeluknya. "Kenapa dia meninggalkan aku... kenapa tiba-tiba, Hana?" lirih Muna, suaranya penuh dengan rasa sakit dan kekecewaan yang mendalam. Hana, yang duduk di sampingnya, berusaha menenangkan Muna juga turut menghapus airmatanya. Namun, emosi Muna sudah terlalu mendalam. Dengan suara yang penuh dengan keputusasaan, Muna berteriak, "Aku malu... semua orang sekarang mengejekku. Aku-aku harus apa, Hana? Haruskah aku mengakhiri hidupku saja?" Mendengar ucapan Muna, Hana langsung melototkan kedua bola matanya dan menatap tajam pada Muna. "Apa kau gila! Hei, dengarkan aku, Muna. Bukan hanya dia laki-laki yang ada di dunia ini, masih banyak yang lainnya. Yang berhak bersamamu dan membahagiakan kamu. Dan kau sekarang sudah hilang akal hendak bunuh diri, kau tidak kasihan pada Ara? Dia masih kecil, masih terlalu dini untuknya kehilangan dirimu, dan juga pria b******k itu. Yahh meskipun ia sudah kehilangan ayahnya. Dan kau pun hendak meninggalkannya, ibu macam apa kau ini?" Muna tersentak mendengar kata-kata tajam Hana. Ia merasa terkejut dan menyesal atas ucapannya. Hana yang marah, penuh emosi, membuat Muna menyadari betapa egois dan tidak rasional pikirannya saat itu. Dengan penuh penyesalan, Muna menundukkan kepalanya, merasa berat karena telah mengucapkan kata-kata yang begitu melukai dan egois. Kini, dia hanya bisa merasakan betapa sulitnya untuk menghadapi kenyataan, sambil mencoba untuk menyadari betapa pentingnya perannya sebagai ibu untuk Ara, dan betapa banyak hal yang harus diperjuangkannya untuk masa depan mereka. Muna menatap Hana dan memeluknya erat. "Maafkan aku, Hana. Aku sadar sekarang, aku masih memiliki Ara. Aku tak mau ia juga sedih seperti aku." Hana mengangguk, membalas pelukan Muna dengan lembut. "Ini baru Muna yang aku kenal. Kuat dan pantang menyerah." Muna tersenyum kecil mendengar pujian Hana. Ia mengalihkan pandangannya ke jendela kamar yang terbuka, melihat cuaca di luar yang mendung, menandakan hujan akan segera turun. Muna menatap hujan yang mulai turun. "Ini semua terasa seperti mimpi buruk yang tak akan pernah aku lupakan. Mimpi yang nyata." Dengan suasana hati yang sedikit lebih tenang, Muna merasa lebih siap untuk menghadapi kenyataan dan melanjutkan hidupnya demi Ara, meskipun segala sesuatunya terasa sangat berat. Muna berjalan menuju altar, digandeng oleh ibunya dengan penuh dukungan, mata berkilat dengan air mata. Ibunya mengusap lengan Muna dengan lembut, memberikan dorongan dan kekuatan. "Kau bisa, sayang. Kami semua di sini untukmu." Muna menatap tamu-tamu yang kini menatapnya dengan rasa sedih di mata mereka, ia mulai menangis lagi dan menggelengkan kepala, tak bisa menahan air mata. Ibunya mengangguk, terus mengusap lengannya, mencoba menenangkan. Muna menarik nafas dalam-dalam, berusaha menenangkan diri, kemudian memulai berbicara dengan suara bergetar. "Teman-teman dan keluarga yang terhormat, aku... aku ingin meminta maaf kepada kalian semua. Pernikahan ini, yang seharusnya menjadi hari bahagia, tidak bisa dilanjutkan." Tamu-Tamu terkejut, bisik-bisik mulai terdengar, beberapa pasang mata menatap Muna dengan penuh empati, sementara yang lainnya mengumpat pengantin pria yang tega meninggalkannya di hari bahagia ini. Muna menatap seluruh tamu dengan penuh rasa sakit. "Aku minta maaf atas segala kekecewaan ini. Aku berharap kalian bisa memahami, meski ini adalah saat yang sangat berat bagiku dan keluargaku." Ibunya berusaha memberikan dorongan lebih, menatap Muna dengan penuh kasih sayang. "Kita akan melalui ini bersama. Kamu kuat, dan kita semua ada di sini untukmu." Muna merasakan dukungan dari ibunya dan para tamu meski hatinya hancur. Perlahan, dia mengumpulkan kekuatan untuk menghadapi situasi yang sangat mengecewakan ini. "Tolong, nikmati hidangan dan selesaikan acara ini. Aku sangat minta maaf atas segala kekecewaan ini." Muna menyampaikan kepada semua tamu dengan suara yang berusaha tenang. Setelah selesai berbicara, Muna dengan perasaan sakit berjalan kembali ke kamarnya. Ia membuka pintu kamar dan langsung terduduk di lantai, memegang gagang pintu sekuat tenaga, menahan sesak di dadanya. Tangisan Muna kembali luruh seiring dengan rasa sakit yang terus menghinggapi hatinya. Dalam isak tangisnya, Muna membiarkan air matanya jatuh. "Kenapa Dimas tega meninggalkanku? Aku tahu dia sangat mencintaiku, dia pernah berjanji akan membuatku bahagia. Semua ini hanya harapan palsu, semua ini..." Muna menutup wajahnya dengan kedua tangan dan menyenderkan kepalanya pada pintu kamar. Tubuhnya semakin lemah, hingga ia terbaring di lantai, meringkuk seperti ulat yang kedinginan. Meskipun Muna sadar ia harus tetap kuat demi Ara, namun rasa sakitnya begitu mendalam dan menyiksa.

Scan code to download app

download_iosApp Store
google icon
Google Play
Facebook