Tirai Ketujuh: Menghadapi Realita

1432 Words
Muna berjalan terburu-buru menuju parkiran, tempat motornya terparkir. Pikirannya penuh dengan berbagai hal pekerjaan, putrinya, dan gosip yang beredar di kantor. Sesekali, ia merogoh tasnya, mencari-cari kunci motor yang entah bagaimana selalu sulit ditemukan saat dibutuhkan. Saat ia melewati satpam yang sedang berjaga, ia tersenyum dan menyapa dengan sopan. "Selamat sore, Pak." "Sore, Bu Muna." Satpam menjawab sapaan Muna dengan ramah. Muna melanjutkan langkahnya, kini sedikit lebih cepat, sembari masih mengaduk-aduk isi tasnya. Namun, tiba-tiba suara satpam kembali terdengar, kali ini lebih keras, memanggil nama Maxwel. "Selamat sore, Pak Maxwel!" Muna sontak berhenti dan berbalik badan, rasa penasaran dan sedikit khawatir menyelinap dalam benaknya. Muna menoleh dan melihat Maxwel berjalan menuju ke arahnya. Langkah pria itu tegap, dan senyum tipis menghiasi wajahnya, seolah tak ada yang aneh dengan dirinya berada di parkiran. Tapi bagi Muna, kehadiran Maxwel di tempat itu, tanpa mobil dan pengawalnya, terasa aneh. Pikirannya mulai berputar, mencoba mencari penjelasan logis mengapa Maxwel ada di sana. Apakah ia sengaja mengikutinya? Atau hanya kebetulan? "Selamat sore, Pak Maxwel." Muna menunduk sedikit dengan hormat, mencoba menjaga sikap profesional meski hatinya cemas. Maxwel berhenti beberapa langkah di depan Muna, senyumnya masih tersisa di bibirnya. Ia mengangguk pelan, seolah menenangkan suasana yang sedikit kaku di antara mereka. "Selamat sore, Muna. Apa kamu sudah selesai bekerja?" Muna mengangguk pelan, matanya sekilas menatap wajah Maxwel sebelum cepat-cepat menunduk kembali. "Iya, Pak. Saya sudah selesai dan mau pulang. Ada yang bisa saya bantu, Pak?" Maxwel tersenyum lebih hangat, berusaha membuat Muna merasa nyaman. "Tidak, tidak ada yang perlu kamu bantu. Saya hanya kebetulan lewat dan melihat kamu di sini. Kamu selalu bekerja keras, Muna. Jangan lupa untuk juga memberikan waktu untuk dirimu sendiri." Muna tersenyum tipis, meski rasa canggung masih melingkupi dirinya. Ia tidak tahu harus merespons bagaimana. Di satu sisi, ia merasa terhormat atas perhatian yang diberikan Maxwel, tetapi di sisi lain, ia juga merasa tertekan karena perhatian itu datang dari atasannya sendiri. Muna mencoba tersenyum dan berbicara dengan sopan. "Terima kasih, Pak. Saya akan ingat itu." Maxwel mengangguk lagi sebelum melirik ke arah motor Muna yang terparkir tak jauh dari mereka. Ia tampak sejenak memikirkan sesuatu, lalu kembali menatap Muna. "Kamu naik motor setiap hari? Bagaimana kalau besok kita makan siang bersama? Saya bisa jemput kamu, kita bisa bicara lebih santai." Ajakan itu membuat Muna terkejut. Dia tidak tahu harus merespons bagaimana. Jantungnya berdegup lebih cepat, sementara pikiran-pikiran negatif mulai berkecamuk di kepalanya. "Terima kasih atas tawarannya, Pak. Tapi mungkin di lain waktu." ucap Muna berusaha tersenyum, meski terasa canggung. Maxwel mengangguk, memahami bahwa Muna belum siap menerima ajakannya. Dia tidak memaksa, hanya memberikan senyuman hangat yang menunjukkan pengertian. "Tentu saja, kapan pun kamu merasa nyaman." Muna hanya mengangguk, merasa lega karena Maxwel tidak memaksakan kehendaknya. Mereka berdua akhirnya saling berpamitan, dan Maxwel mulai berjalan kembali ke arah gedung kantor, meninggalkan Muna yang masih berdiri di parkiran dengan perasaan campur aduk. Muna menghela nafas panjang. "Aku harus berhati-hati. Aku tidak bisa membiarkan situasi ini menjadi lebih rumit." batin Muna. Dengan hati-hati, Muna akhirnya menemukan kunci motornya dan segera bergegas pulang. Di dalam kepalanya, dia terus memikirkan kejadian tadi, berusaha untuk tidak terlarut dalam kekhawatiran yang berlebihan. Sebagai seorang ibu tunggal, Muna tahu bahwa dia harus kuat dan tidak membiarkan perasaan cemas menguasainya. Namun, kehadiran Maxwel yang semakin sering membuatnya khawatir bahwa masalah lain mungkin saja muncul dalam hidupnya yang sudah cukup rumit. Muna baru saja memarkir motornya di depan apartemen. Dengan perasaan sedikit lelah namun ia harus tetap bahagia, ia berjalan menuju pintu apartemen dan mengetuk pelan. Tak butuh waktu lama, pintu terbuka, dan wajah ceria Hana menyambutnya. "Hai! Kau sudah pulang!" Muna mengangguk dan melangkah masuk, merasakan kehangatan yang selalu menyelimuti apartemen kecil mereka. Begitu pintu tertutup, Ara, berlari keluar dari dapur dengan wajah ceria, langsung memeluk Muna erat-erat. "Mama!" Muna tersenyum hangat, mengecup pipi putrinya dengan penuh kasih. "Hai, sayang. Apa yang kamu dan Tante Hana lakukan hari ini?" Hana yang berdiri di dekat mereka, ikut tersenyum melihat keakraban ibu dan anak itu. Dia menjawab pertanyaan Muna dengan nada santai namun penuh semangat. "Seharian ini kami membuat kue, Muna! Ara hebat, loh. Dia bantu aduk-aduk adonan dan bahkan bantu hias kue kecil-kecil." Mendengar itu, Muna tertawa kecil, merasa hatinya semakin ringan. Ia tahu bahwa Ara berada di tangan yang tepat ketika ia bekerja. Hana memang sahabat yang luar biasa, selalu bisa diandalkan untuk menjaga Ara meskipun dirinya sendiri juga sibuk dengan pekerjaannya. "Ara, sayang, ambilin kue di kulkas buat Mama, ya? Tunjukin hasil kerja kita tadi." ucap Hana. Ara mengangguk antusias dan berlari kecil ke dapur, meninggalkan Muna dan Hana sejenak dalam keheningan yang nyaman. Muna duduk di sofa, menghela nafas panjang, menikmati momen tenang setelah seharian bekerja. "Terima kasih, Hana. Kamu benar-benar selalu ada untuk kami." Hana hanya tersenyum dan menggelengkan kepala, menunjukkan bahwa bagi dia, merawat Ara adalah hal yang menyenangkan, bukan beban. Sebelum Hana sempat menjawab, Ara sudah kembali dengan langkah-langkah kecilnya, membawa cup kecil yang berisi kue hasil kreasinya sendiri. Ia mengulurkan kue itu dengan bangga kepada Muna. "Ini untuk Mama!" seru Ara dengan mata berbinar-binar. Muna menerima kue kecil itu dengan senyum lebar, merasakan betapa beruntungnya ia memiliki Ara dalam hidupnya. "Terima kasih, sayang. Wah, kuenya cantik sekali! Mama suka." Ara tersenyum lebar, merasa senang bisa membuat ibunya bangga. Sementara itu, Muna menatap Hana dengan pandangan penuh rasa terima kasih dan tanpa terasa air matanya sudah terjatuh. "Aku senang kamu ada di sini, Hana. Aku tahu kamu juga sibuk, tapi kamu selalu sempatkan waktu untuk Ara. Itu berarti banyak buatku." "Ara sudah seperti keponakanku sendiri, Muna. Aku senang bisa ada di sini untuk kalian. Kita saling bantu, itulah gunanya sahabat." Hana mengulurkan tangan dan meraih tangan Muna, menggenggamnya dengan erat. Persahabatan mereka bukan hanya tentang kebersamaan, tapi juga tentang saling mendukung dan memahami satu sama lain. Malam itu, Muna dengan cekatan menyiapkan makan malam untuk dirinya, Ara, dan Hana. Aroma makanan yang lezat memenuhi apartemen kecil mereka, memberikan suasana hangat dan nyaman. Muna membawa makanan ke meja makan, lalu mulai menyiapkan piring-piring, dengan perhatian penuh pada putrinya. Sambil menyendokkan makanan ke piring Ara, Muna berbicara dengan lembut. "Ara, kamu harus makan banyak biar sehat, ya." Ara memajukan bibirnya, berpura-pura merajuk, dan dengan suara yang imut, ia menjawab. "Tapi, Mama... perut Ara sudah gendut karena terlalu banyak makan kue tadi." Muna dan Hana tak bisa menahan tawa mendengar keluhan Ara yang lucu itu. Dengan senyum di wajahnya, Muna memberikan sedikit nasi di piring Ara. "Oke, kita kurangi sedikit nasinya, tapi tetap harus makan, ya?" Ara tersenyum lebar, memperlihatkan giginya yang mungil. Makan malam mereka dimulai dengan suasana yang penuh kehangatan dan canda tawa. Namun, di balik tawa itu, Muna merasakan kegelisahan yang perlahan muncul di hatinya. Suasana yang tadinya ceria berubah sedikit lebih serius saat Hana mulai bersuara, menanyakan sesuatu yang ia pendam. "Muna, gimana pekerjaanmu? Kamu kelihatan capek akhir-akhir ini." Pertanyaan Hana membuat Muna terdiam sejenak. Ia menurunkan sendoknya, meraih gelas berisi air di depannya, dan meneguknya perlahan. Pikiran Muna berkecamuk, tetapi ia tahu bahwa Hana hanya ingin memastikan bahwa dirinya baik-baik saja. Setelah menghela nafas panjang, Muna memutuskan untuk jujur kepada sahabatnya. "Dua hari terakhir ini... direktur utama terus mengganggu aku. Dan karena itu, gosip di kantor makin menjadi-jadi. Semua karyawan menuduh aku punya hubungan dengan Pak Maxwel." Hana menatap Muna dengan alis terangkat, terlihat kaget sekaligus khawatir. Ara yang masih sibuk dengan makanannya tak menyadari ketegangan di antara dua orang dewasa itu. "Serius, Muna? Kamu pasti tidak nyaman sama situasinya, kan?" Mengangguk pelan, Muna menjawab dengan suara yang terdengar lelah. "Iya, Hana. Rasanya sangat tidak nyaman. Aku tidak pernah berpikir untuk berurusan dengan dia. Tapi sekarang semua orang di kantor percaya aku ada hubungan khusus sama Pak Maxwel. Padahal, aku cuma fokus kerja, tidak lebih dari itu." Hana terdiam sejenak, mencoba mencerna kata-kata Muna. "Mun, kamu tidak perlu khawatir. Aku yakin semua ini akan berlalu, gosip di kantor itu hanya omongan orang yang tidak tahu apa-apa. Tapi kalau kamu merasa terlalu berat, mungkin kamu bisa bicara langsung sama Pak Maxwel, kasih tahu dia kalau kamu tidak nyaman." ucap Hana meletakkan tangannya di atas meja, mencoba menawarkan dukungan. Muna mengangguk pelan, meski dalam hatinya masih ada keraguan. Ia tahu Hana benar, tapi menghadapi Maxwel langsung adalah sesuatu yang membuatnya merasa tidak siap. "Aku akan coba pikirkan, Hana. Terima kasih mendengar ceritaku dan memberikan saran." Hana hanya tersenyum sebagai balasan, lalu mengalihkan pembicaraan kembali ke hal-hal yang lebih ringan, berusaha menjaga suasana makan malam tetap hangat. Meskipun masalah itu masih membayangi pikirannya, Muna merasa sedikit lebih ringan setelah berbicara dengan Hana. Malam itu, di tengah tawa dan canda mereka, Muna tahu bahwa apapun yang terjadi, ia tidak sendirian.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD