Tirai Kelima: Di Balik Senyuman

1247 Words
Di tengah keramaian stasiun, Muna dan Hana berjalan santai, diselingi tawa dan canda ringan. Di samping mereka, Ara, gadis kecil yang sudah berusia tiga tahun, menggenggam erat tangan Muna. Muna, dengan satu tangan memegang koper, sesekali menunduk melihat putrinya yang tampak ceria, sementara mereka melangkah menuju peron. "Mama." "Ya, sayang." Muna tersenyum, berjongkok untuk sejajar dengan putrinya. Ara menatap wajah ibunya dengan mata yang besar dan penuh rasa ingin tahu. Lalu pertanyaan singkat meluncur dari bibir kecilnya. "Apa kita akan menemui ayah?" Untuk sesaat, waktu seolah berhenti. Muna terdiam, merasakan sejuknya aliran darah di tubuhnya mendadak menghangat, sementara pikirannya berputar mencari jawaban yang tepat. Hana, yang berjalan di samping mereka, juga berhenti. Tatapannya beralih dari Ara ke Muna, menunggu reaksi sahabatnya. Muna tertegun, mencoba menyembunyikan kegelisahan di balik senyum. "Sayang..." suara Muna hampir tersendat, namun ia mencoba tetap tenang. "Kenapa kamu tanya begitu?" "Teman-teman di taman bilang, kalau pergi jauh biasanya ketemu ayah. Apa kita juga mau ketemu ayah?" ucap Ara masih dengan polosnya. Sambil mencoba menenangkan perasaannya, Muna mengangguk pelan, tetapi belum menjawab. Ia menatap Hana, mencari dukungan. Hana menepuk punggung Muna dengan lembut, memberikan senyum. "Ara, mama dan kamu sedang pergi untuk melihat rumah baru. Kita akan bersenang-senang di sana nanti, kamu mau berenang sepuasnya, kan?" "Berenang! Wow, itu benar, Mama?" "Iya, sayang. Kita akan bersenang-senang. Ara bisa main dan berenang." Ara menatap Muna dengan rasa ingin tahu yang lebih besar. "Tapi, kenapa ayah tidak ikut, Ma?" Pertanyaan Ara terasa seperti beban yang harus dijawab dengan hati-hati. Muna tahu ia harus menghindari kebohongan lebih lanjut, tapi ia juga tidak ingin melibatkan Ara dalam drama masa lalu yang rumit. Muna menatap Ara dengan lembut, sambil memaksakan senyuman. "Karena ayah sedang berada di tempat yang jauh, sayang. Tapi ingat, kamu selalu punya Mama di sini yang akan menemanimu. Mama dan kamu akan selalu bersama, seperti sekarang." Ara mengangguk perlahan, menerima jawaban Muna tanpa banyak bertanya lagi. Hanya dengan polosnya, Ara mengalihkan perhatian kembali ke mainan di tangannya, sementara Muna menghela nafas lega, meskipun hatinya masih terasa berat. Hana menatap Muna dengan penuh empati, menyadari betapa sulitnya bagi Muna untuk menjaga rahasia ini. Hana melihat wajah Muna yang masih diliputi keraguan dan kecemasan, lalu mencoba mengalihkan suasana. "Muna, aku tadi sempat menghubungi temanku. Dia bilang apartemen yang kucari untukmu sudah siap. Dan, tebak apa? Dia akan menjemput kita!" Muna menatap Hana dengan sedikit kebingungan. "Kenapa tidak kita naik taksi saja? Tak perlu merepotkan temanmu." Hana tertawa kecil, menggelengkan kepalanya. "Oh, dia sendiri yang bersikeras ingin menjemput kita. Katanya, sekalian ingin berkenalan denganmu." Muna mengerutkan kening, merasa enggan dan sedikit tak nyaman dengan ide tersebut. Pengalaman pahit dengan Dimas masih begitu segar di ingatannya, membuatnya tak ingin berurusan dengan pria mana pun untuk sementara waktu. "Hana, aku rasa... sekarang bukan saatnya. Aku belum siap untuk berkenalan dengan siapa pun, apalagi seorang pria." Hana mengangguk, memahami sepenuhnya perasaan sahabatnya. "Aku mengerti, Muna. Jangan khawatir, semuanya akan baik-baik saja. Aku hanya ingin memastikan kamu dan Ara merasa nyaman di apartemen itu." Tak lama kemudian, sebuah mobil hitam mengkilap datang mendekat ke arah mereka. Hana tersenyum lega ketika seorang pria keluar dari mobil, berjalan dengan penuh percaya diri menuju mereka. Pria itu mengenakan kemeja rapi dengan senyum yang ramah terukir di wajahnya. "Muna, ini temanku, Regan. Dia yang sudah banyak membantu mencarikan apartemen untukmu." ujar Hana semangat memperkenalkan pria itu kepada Muna. Regan tersenyum lebar, menjulurkan tangan untuk bersalaman. "Senang akhirnya bisa bertemu denganmu, Muna. Dan ini pasti Ara, ya?" Muna hanya tersenyum tipis, mengangguk sambil dengan enggan menyambut uluran tangan Regan. Ara, yang sebelumnya ceria, kini bersembunyi di belakang Muna, hanya sedikit menjulurkan tangannya untuk menyalami Regan sebelum cepat-cepat kembali berlindung di belakang ibunya. "Terima kasih, Regan. Maaf kalau merepotkan." Regan tertawa ringan. "Oh, jangan begitu, ini bukan masalah sama sekali. Aku senang bisa membantu. Dan lagi, Hana sudah banyak bercerita tentangmu dan Ara." Muna menatap Hana sebentar dan Hana hanya tersenyum, sedikit mengangguk. Sambil mereka mengobrol ringan, Muna tetap menjaga jarak, hatinya masih tertutup rapat dari kemungkinan menjalin hubungan baru. Hana dan Regan kemudian membantu Muna dan Ara masuk ke dalam mobil, memastikan mereka nyaman di perjalanan menuju apartemen baru. Di dalam mobil, Muna memandang keluar jendela, memikirkan betapa hidupnya telah berubah begitu cepat. Ara duduk di sebelahnya, menggenggam erat tangan ibunya, memberikan rasa tenang yang Muna butuhkan. Regan dan Hana melanjutkan obrolan ringan mereka, sementara Muna tenggelam dalam pikirannya sendiri. Saat mobil melaju di jalan raya, Muna menghela nafas panjang, berusaha meyakinkan dirinya bahwa langkah ini adalah bagian dari proses menyembuhkan diri dan memberikan masa depan yang lebih baik untuk Ara. Sesampainya di apartemen, Muna merasakan sedikit kelegaan. Ruangan yang terang dan bersih itu membuatnya merasa sedikit lebih aman dan nyaman. Dengan lembut, ia mengelus rambut Ara yang tertidur di pelukannya, merasa bahwa apartemen ini bisa menjadi awal yang baik untuk mereka berdua. "Bagaimana, Muna? Apa kau menyukai apartemennya?" tanya Regan menatap Muna. Muna tersenyum kecil, memandang sekeliling apartemen. "Tempat ini cukup nyaman dan aman. Aku menyukainya dan semoga Ara juga suka." Regan mengangguk senang, ia lalu dengan penuh semangat membawa barang-barang Muna dan Ara masuk ke dalam apartemen. Muna dengan senyum tipis, menatap Regan. "Terima kasih, Regan. Aku benar-benar menghargai bantuanmu." Regan tersenyum hangat, menatap Muna dengan mata penuh pengertian. "Tidak masalah, Muna. Senang bisa membantu. Kalau ada apa-apa, jangan ragu untuk menghubungiku." Setelah semua barang masuk dan mereka sedikit berbincang, Regan akhirnya pamit untuk kembali ke kantornya. Muna, dengan hati-hati, menempatkan Ara di tempat tidurnya dan kembali ke ruang tamu. Ia berdiri di dekat jendela, memandang keluar ke arah langit yang mulai berwarna jingga, tenggelam dalam pikirannya. Pemandangan itu seolah-olah mencerminkan perasaan Muna, bercampur antara kelegaan dan kegelisahan yang masih menghantui. Hana, yang sudah lama bersahabat dengan Muna, merasakan ada sesuatu yang tidak biasa. Ia mendekati Muna dari belakang, meletakkan tangan di bahunya dengan lembut. "Muna, apa yang kamu pikirkan? Dari tadi kamu banyak diam." Muna terkejut sedikit, lalu menggelengkan kepala perlahan, mencoba tersenyum. "Tidak ada, Hana. Aku hanya... merasa lega dan berterima kasih karena kamu selalu ada untukku." Muna tahu bahwa Hana adalah sahabat yang sangat perhatian, seseorang yang selalu mendukungnya. Namun, di dalam hatinya, Muna menyimpan rahasia yang ia tak ingin Hana ketahui. Pertemuannya kembali dengan Dimas. Ia yakin, jika Hana tahu, maka ia tidak akan tinggal diam. Hana pasti akan mencoba mencari tahu lebih jauh dan mungkin akan menghadapi Dimas sendiri, sesuatu yang Muna tidak ingin terjadi. "Terima kasih, Hana. Aku tidak tahu bagaimana aku bisa melewati semua ini tanpa kamu. Kamu selalu ada untukku, bahkan di saat-saat tersulit." lanjut Muna tersenyum hangat. Hana tersenyum, memeluk Muna dengan penuh kasih sayang. "Itulah gunanya sahabat, kan? Aku akan selalu ada di sini untukmu, Muna. Kita akan melalui semuanya bersama." Muna merasakan kehangatan pelukan Hana, namun di dalam hatinya, ia tetap waspada. Ia sadar bahwa masa lalunya dengan Dimas masih belum sepenuhnya selesai, dan meskipun ia ingin melupakannya, bayangan itu terus menghantui pikirannya. Untuk saat ini, Muna hanya bisa berharap bahwa ia dan Ara bisa menemukan kedamaian di tempat baru ini, jauh dari bayang-bayang Dimas dan masa lalu yang kelam. Malam itu, setelah Hana pulang, Muna duduk di tepi tempat tidurnya, menatap Ara yang tertidur lelap. Ia berjanji pada dirinya sendiri bahwa ia akan melakukan apapun untuk melindungi Ara, bahkan jika itu berarti harus terus berbohong. Muna menatap ke luar jendela sekali lagi, mencoba mencari kedamaian dalam pikiran yang masih kacau. Langit malam yang gelap terasa menenangkan, memberi isyarat bahwa hari yang berat akhirnya usai. Namun, di dalam hati Muna, badai itu masih belum benar-benar berlalu.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD