Tirai Keempat: Menghapus Bayangan Masa Lalu

1260 Words
Sinar matahari pagi yang lembut menembus tirai jendela kamar Muna. Dengan penuh kasih sayang, Muna membangunkan Ara, bayi satu tahun itu, dengan ciuman hangat di pipi kecilnya. Senyum cerah yang menghiasi wajah Ara membuat segala rasa sakit dan kepedihan yang pernah dialaminya terasa sedikit lebih mudah untuk ditanggung. "Selamat pagi, sayangku. Mama sudah bangun dan siap untuk hari yang baru." Muna memandang wajah ceria Ara dengan penuh rasa syukur. Meski hidupnya terasa berat, kehadiran Ara memberikan kekuatan dan motivasi yang tidak pernah ia bayangkan sebelumnya. Setiap tawa dan senyuman Ara menjadi alasan Muna untuk terus berjuang, untuk tidak menyerah pada rasa sakit yang mengikutinya. Di pagi hari yang sibuk itu, Muna mendapatkan bantuan dari ibunya. Ibunya dengan penuh kasih menjaga Ara dan mengurus segala kebutuhan sehari-hari saat Muna pergi bekerja. Muna sangat bersyukur atas bantuan ibunya, yang selalu ada untuknya di saat-saat sulit. "Mom, aku tidak tahu apa yang akan aku lakukan tanpa bantuanmu. Terima kasih sudah selalu ada untukku dan Ara. Kehidupan terasa sangat berat setelah ayah meninggal dan pernikahanku yang gagal. Aku sangat berterima kasih atas semua dukunganmu." Ibunya sambil tersenyum lembut, membelai kepala Muna. "Sayangku, jangan khawatir. Mom di sini untukmu. Mom tahu betapa beratnya semua ini, tapi kita akan menghadapi semuanya bersama. Yang penting sekarang adalah Ara, dan kita akan berusaha memberikan yang terbaik untuknya." Muna menghela nafas panjang, berusaha untuk tidak terjebak dalam kenangan masa lalu yang menyakitkan. Setiap hari, ia bertekad untuk fokus pada masa depan dan memberikan yang terbaik untuk Ara. Kehidupan mungkin telah memberinya banyak tantangan, tetapi Muna tahu bahwa satu-satunya cara untuk melanjutkan adalah dengan bekerja keras dan menjaga kebahagiaan putrinya. "Aku harus terus maju. Untuk Ara. Untuk masa depan kami. Aku tidak akan membiarkan masa lalu menghentikanku. Aku akan bekerja keras agar Ara bisa bahagia." Ibunya mengangguk dan tersenyum, mengecup kening Muna penuh kasih. Di pagi yang cerah itu, Muna memutuskan untuk mengajak Ara keluar rumah dan menikmati udara segar. Karena ia bekerja siang, jadi sebisa mungkin Muna menghabiskan waktunya untuk Ara. Mereka berjalan menuju taman kecil yang terletak dekat rumah mereka. Matahari bersinar lembut, menyebarkan cahaya hangat ke seluruh penjuru taman. "Lihatlah, Ara. Betapa indahnya hari ini. Kita akan bermain di taman dan menikmati setiap momennya." kata Muna sambil mendorong kereta dorong Ara dengan pelan. Mereka sampai di taman dan Muna memarkir kereta dorongnya di bawah sebuah pohon rindang. Muna kemudian mengangkat Ara dari kereta dorong dan meletakkannya di atas karpet piknik yang telah mereka bawa. Ara tampak ceria, matanya berbinar melihat bunga-bunga di sekelilingnya. Muna lalu duduk di samping Ara. "Kau senang, sayang? Bisa main di sini bersama Mama." Muna melihat Ara yang duduk di atas karpet, memainkan bunga-bunga dengan tangan kecilnya, tampak penuh rasa ingin tahu dan kebahagiaan. "Langit hari ini begitu indah, kan? Rasanya seperti segala sesuatu bisa menjadi lebih baik. Mama merasa lega bisa menghabiskan waktu seperti ini denganmu, Ara." Muna menghela nafas panjang, merasakan ketenangan yang menyelimuti dirinya. Muna berbicara dengan lembut sambil membelai kepala Ara. "Hari-hari mungkin sulit, tapi Mama tahu kita bisa melewati semuanya. Mama berjanji akan selalu ada untukmu dan memberikan yang terbaik untukmu." "Kita akan terus seperti ini, Ara. Kita akan mencari kebahagiaan di setiap hari, tidak peduli apa pun yang terjadi." Muna tersenyum sambil memandang Ara bermain. Muna melirik jam tangannya dan menyadari bahwa waktu sudah menunjukkan pukul 9 pagi. Ia menatap Ara yang tertidur nyenyak di atas pahanya, kelelahan setelah bermain penuh ceria. Muna tersenyum lembut melihat putrinya yang tampak begitu damai. "Waktunya pulang, sayang." Muna berbicara lembut sambil mengelus rambut Ara. Dengan hati-hati, Muna mengangkat Ara dari pangkuannya dan memindahkannya ke dalam kereta dorong. Ia memastikan Ara nyaman dan tertidur dengan tenang, sebelum mulai mendorong kereta dorong itu menuju rumah. "Aku harus memikirkan cara untuk menjaga Ara tetap aman. Jika Dimas benar-benar nekat mencariku di rumah, aku takut apa yang bisa dia lakukan. Aku tidak bisa membiarkan dia mengambil Ara dariku." gumam Muna sambil berjalan meninggalkan taman. Sesampainya di rumah, Muna langsung menuju ke dalam, membawa Ara yang masih tertidur. Ibunya melihatnya dan segera menghampiri, siap untuk membantu. "Ayo sini, Muna. Mom akan menjaga Ara. Kamu bisa bersiap pergi bekerja sekarang." "Terima kasih, Mom. Aku akan cepat-cepat siap dan berangkat." Muna pergi ke kamar untuk bersiap-siap, meninggalkan Ara yang kini berada dalam pelukan ibunya dengan penuh kasih sayang. Muna merasa tenang melihat ibunya merawat Ara dengan penuh perhatian. "Aku tahu aku bisa mengandalkan Mom untuk menjaga Ara. Tapi, aku juga tak mau terus membuat Mom kerepotan. Aku harus mencari apartemen." batin Muna. Muna keluar dari kamar dengan pakaian kerja yang rapi. Ia menghampiri ibunya yang duduk di sofa ruang keluarga, sedang menonton televisi dan tangannya yang mangayun Ara. Muna berpamitan kepada ibunya, dan mencium kedua pipi wanita terkasih dalam hidupnya itu. "Hati-hati di jalan, ya. Semoga harimu menyenangkan." "Terima kasih, Mom. Aku akan cepat pulang. Jangan lupa, Dimas tidak boleh tahu jika Ara masih hidup, iya Mom?" "Iya, sayang. Mom mengerti. Cepatlah pergi, nanti kamu telat." Muna melangkah keluar dari rumah dengan hati yang lebih tenang, siap menghadapi tantangan hari itu. Ia tahu bahwa setiap langkah yang diambilnya adalah untuk masa depan Ara dan dirinya sendiri. Dan meskipun ada ketidakpastian di depan, Muna merasa lebih siap untuk menghadapinya. Muna memusatkan perhatian pada pekerjaannya, berusaha keras untuk menyelesaikan laporan yang menumpuk di mejanya. Setiap ketikan di keyboardnya adalah bagian dari upayanya untuk membangun kembali hidupnya setelah semua yang telah terjadi. Muna sibuk mengetik di komputernya, sambil sesekali melirik laporan yang harus diselesaikan. "Muna, ayo berdiri. Direktur utama datang hari ini. Dia sudah ada di depan kantor." ucapn teman sebelahnya dengan menyentuh bahu Muna. Muna terkejut dan langsung berdiri mengikuti teman-temannya. "Oh, baik. Maaf, aku tidak tahu." "Dia sudah di depan kantor. Ini pertama kalinya kau melihatnya secara langsung, kan? Aku juga saat awal bekerja tidak bertemu dengan bos, hanya bertemu dengan asistennya saja. Aku yakin, kamu akan terpesona dengan bos kita, wajahnya sangat tampan." teman sebelahnya itu berbisik, sambil menatap pintu. Muna menatap pintu masuk yang sangat lebar, merasa gugup dan sedikit tidak nyaman. Pintu itu terbuka dengan suara berderit lembut, dan melangkahlah seorang pria dengan langkah tegas, diikuti oleh beberapa pria berbadan besar dan seorang pria sedikit lebih tua di sampingnya, yang merupakan asistennya. Seluruh karyawan serentak menyapa dengan hormat. "Selamat pagi, Pak Maxwel." Muna yang tidak sengaja mengangkat kepalanya, tiba-tiba bertatapan langsung dengan Maxwel. Dia baru kali ini melihat bosnya secara langsung, Muna merasa panik dan langsung memalingkan muka. Maxwel menatap Muna dengan perhatian, meskipun Muna cepat-cepat menundukkan kepalanya kembali. Ada sesuatu dalam tatapan Maxwel yang membuatnya penasaran dengan diri Muna, sesuatu yang menariknya untuk terus menatap wanita itu. Sambil berjalan menuju ruangannya, Maxwel berbicara kepada asistennya. "Pastikan semua laporan hari ini sudah siap, Pak Broto. Saya ingin memastikan semuanya berjalan lancar." Asistennya yang bernama Broto itu mengangguk, dengan nada hormat. "Tentu, Pak Maxwel. Saya akan memeriksa semuanya." Muna kembali ke mejanya, berusaha fokus pada pekerjaannya, meskipun pikirannya terus melayang pada tatapan singkat yang baru saja terjadi. Dia merasa ada sesuatu yang tidak biasa, namun ia bertekad untuk tetap profesional dan bekerja dengan baik. "Kamu baik-baik saja, Muna? Tadi terlihat gugup." Muna tersenyum kecil dan mengangguk. "Ya, aku baik. Hanya sedikit terkejut. Aku belum pernah melihatnya secara langsung sebelumnya." "Tidak apa-apa. Kita semua merasakannya. Pak Maxwel memang memiliki aura yang kuat. Sayangnya dia sampai sekarang belum menikah, pasti standar wanitanya sangat tinggi, apalah kita yang hanya karyawan biasa ini." ucap temannya dengan tersenyum. Muna hanya menanggapi temannya itu dengan senyuman biasa, ia melanjutkan pekerjaannya, meskipun rasa ingin tahunya mengenai Maxwel terus mengusik pikirannya. Tetapi ia memilih untuk fokus pada pekerjaan dan tidak membiarkan pikirannya mengganggu konsentrasi.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD