Tirai Ketiga: Di Antara Penyesalan

1300 Words
Muna melangkah keluar dari gedung kantor, membawa beberapa dokumen di tangannya. Sinar matahari pagi menerpa wajahnya yang penuh dengan ketegasan. Namun, di balik ketenangan itu, ada sesuatu yang menggelitik pikirannya. Muna berjalan menuju tempat parkir, dan tiba-tiba, dari kejauhan, ia melihat seseorang yang tak asing lagi baginya. Jantungnya seketika berdegup lebih cepat. Muna berhenti di tempatnya, matanya melebar, dan nafasnya tertahan. Pria itu, dengan langkah yang lambat, berjalan mendekatinya. Itu Dimas. Hatinya bercampur aduk antara marah, sakit, dan sesuatu yang tak bisa Muna definisikan. "Tidak mungkin... Dimas? Kenapa dia harus muncul sekarang?" Muna mencoba untuk tetap tenang. Dia tidak ingin Dimas tahu bahwa kehadirannya begitu mengganggu dirinya. Dengan tegas, dia memutuskan untuk berjalan lurus, menghindari tatapan Dimas, seolah pria itu hanyalah orang asing di tengah keramaian. Namun, ketika dia mendekat, Dimas memanggilnya dengan suara lembut, namun penuh penyesalan. "Muna…" Muna berhenti sejenak, tetapi tidak berbalik, berusaha menjaga suaranya tetap tenang dan dingin. "Apa yang kau inginkan, Dimas?" "Aku hanya ingin bicara. Tolong, beri aku kesempatan untuk menjelaskan." ucap Dimas dengan nada suara yang memohon, penuh penyesalan. Muna menarik nafas dalam-dalam, berbalik menatap Dimas dengan tatapan yang dingin dan tegas. "Aku rasa tidak ada lagi yang perlu dijelaskan, Dimas. Kau sudah membuat pilihanmu setahun yang lalu. Aku sudah melanjutkan hidupku, dan aku harap kau juga melakukan hal yang sama." "Muna, aku tahu aku membuat kesalahan besar. Tapi aku benar-benar ingin memperbaiki semuanya. Aku ingin bertemu dengan Ara. Dia putri kita…" Wajah Dimas tampak penuh dengan penyesalan, tetapi Muna tidak ingin terperangkap dalam pesona yang sama yang dulu membuatnya jatuh cinta. Ia sudah terlalu lama merasa terluka, dan sekarang saatnya dia menjaga jarak. "Putri kita? Tidak. Ara adalah putriku. Kau tidak punya hak atas dirinya, Dimas. Kau meninggalkan kami, dan itu adalah keputusanmu. Aku tidak akan membiarkanmu kembali dan mengacaukan hidup kami lagi." Dimas terdiam, terpaku oleh ketegasan dalam suara Muna. Ia menyadari bahwa wanita yang berdiri di depannya bukan lagi Muna yang lemah dan penuh harapan seperti dulu. Muna sekarang adalah seorang ibu yang kuat, yang bertekad melindungi putrinya dari rasa sakit yang pernah ia alami. Muna melanjutkan, dengan nada yang lebih tenang namun tegas. "Aku tidak ingin ada lagi drama dalam hidupku, Dimas. Aku mohon, pergilah dan jangan pernah kembali." "Kamu tidak bisa memisahkan aku dengan Ara, Muna. Kamu harus tahu alasanku meninggalkan pernikahan kita." Dimas terdiam sejenak, hanya mampu menatap Muna dengan perasaan bersalah yang mendalam. Muna pun menatap Dimas dengan rasa marah dan kebencian yang sangat terlihat di matanya. Namun, kebencian itu semakin membara ketika dia melihat seorang wanita berdiri di belakang Dimas, menggendong seorang anak perempuan yang hampir seusia Ara, putri mereka. Muna berbicara dengan suara bergetar, menahan amarahnya. "Siapa dia, Dimas?" Dimas tampak terkejut dan gelisah. Tatapannya berpindah dari Muna ke wanita yang berdiri di belakangnya, sebelum kembali menatap Muna dengan rasa bersalah yang semakin mendalam. Muna tidak perlu mendengar penjelasan lebih lanjut, pemandangan itu sudah menjelaskan semuanya. Wanita itu, dengan anak yang digendongnya, adalah alasan mengapa Dimas meninggalkannya di hari yang seharusnya menjadi awal dari kehidupan baru mereka. "Jadi, inilah alasannya? Inilah alasanmu meninggalkan aku di hari pernikahan kita? Karena wanita itu… dan anakmu?" ucap Muna dengan nada dingin dan tak percaya. "Muna, ini tidak seperti yang kau pikirkan. Aku… aku bisa menjelaskan semuanya." Namun, kata-kata Dimas terasa hampa di telinga Muna. Setiap huruf yang keluar dari mulut Dimas hanya memperparah luka yang telah lama terpendam di hatinya. Muna menatap wanita itu, yang kini terlihat ketakutan, sebelum kembali menatap Dimas dengan air mata yang sudah mulai mengalir di pipinya. Tapi bukan air mata kelemahan, melainkan air mata kemarahan yang tak terbendung. "Kau pikir aku akan menerima penjelasanmu? Kau pikir aku akan memaafkanmu setelah semua ini? Kau sudah menghancurkan hidupku, Dimas! Dan sekarang kau muncul di sini dengan keluarga barumu, seolah-olah semua ini hanyalah sebuah kesalahpahaman kecil!" suara Muna bergetar, penuh kemarahan dan sakit hati. "Muna, tolong dengarkan aku." Dimas berusaha mendekat, tetapi Muna bergerak mundur, menolak kehadirannya. Baginya, Dimas bukan lagi pria yang pernah ia cintai, melainkan seseorang yang telah menghancurkan impian dan harapannya. Setiap kenangan manis yang pernah mereka bagi kini terasa seperti racun yang menggerogoti hatinya. "Aku seharusnya tahu. Seharusnya aku sadar dari awal. Tapi aku terlalu buta oleh cinta. Dan sekarang lihatlah diriku… dan lihatlah dirimu. Kau sudah memiliki keluarga baru, Dimas. Jadi apa lagi yang kau inginkan dariku?" Dimas menundukkan kepalanya, tidak mampu menahan rasa bersalah yang begitu berat di dalam hatinya. Wanita di belakangnya mulai terlihat cemas, seolah takut dengan apa yang akan terjadi selanjutnya. Muna menatap mereka berdua, dan semakin lama dia menatap, semakin jelas betapa bodohnya dia pernah mencintai pria ini. "Muna, aku tidak pernah ingin menyakitimu. Tapi…" "Tapi kau melakukannya! Kau memilih untuk menghancurkan hidupku demi mereka! Jangan berdalih, Dimas. Jangan mencoba untuk memperbaiki apa yang sudah hancur berantakan." Muna memotong kata-kata Dimas dengan suara tajam. Suasana semakin tegang. Muna tahu bahwa tidak ada kata-kata yang bisa menghapus rasa sakit yang ia rasakan. Rasa benci yang ia pendam selama ini semakin menguat, menggerogoti setiap kenangan manis yang pernah mereka bagi. Dimas adalah orang asing baginya sekarang, seseorang yang telah menciptakan luka yang tidak akan pernah sembuh. Muna berucap dengan suara dingin. "Pergilah, Dimas. Aku sudah tidak ada urusan denganmu lagi. Dan jangan pernah menemuiku apalagi muncul di depan mataku." "Muna, aku tahu aku sudah membuat banyak kesalahan. Tapi aku hanya ingin melihat Ara, putri kita. Dia berhak tahu siapa ayahnya." ucap Dimas penuh permohonan. Muna memalingkan wajahnya, mencoba menahan amarah yang sudah mencapai puncaknya. Setiap kata yang keluar dari mulut Dimas terasa seperti jarum yang menusuk luka lama. Dimas terus memaksa Muna untuk mempertemukan Ara dengannya. Muna yang sudah muak, kesabarannya akhirnya habis, dan dengan suara yang tak lagi bisa ditahan, ia berteriak, menghentikan segala bujukan Dimas. "Cukup, Dimas! Kau ingin bertemu dengan Ara? Temui dia di pemakaman!" Kata-kata itu menggema di gendang telinganya, membuat Dimas terdiam kaku. Ekspresinya berubah drastis, dari bingung menjadi terkejut, mencoba memahami apa yang baru saja diucapkan oleh Muna. Seolah waktu berhenti berputar. "Muna… apa maksudmu? Apa yang kau bicarakan?" ucap Dimas dengan suara gemetar, penuh ketidakpercayaan. "Ara… Ara meninggal setahun lalu, Dimas. Kecelakaan mobil… saat kami pergi keluar kota. Dia sudah tiada." Dimas tersentak mendengar ucapan Muna. Tubuhnya melemas seketika, seakan-akan seluruh dunia di sekelilingnya runtuh dalam hitungan detik. Dia menatap Muna dengan mata yang tak bisa mempercayai apa yang baru saja didengarnya, mencoba mencari tanda-tanda bahwa ini hanya mimpi buruk. "Tidak… tidak mungkin, Muna. Ara… Ara tidak mungkin…" "Kau ingin bertemu dengan Ara? Dia ada di pemakaman, Dimas. Di sanalah dia sekarang. Jadi jangan pernah menyebut namanya lagi di hadapanku. Kau sudah kehilangan hak untuk menjadi ayahnya." tegas Muna. Muna menatap Dimas untuk terakhir kalinya, menghapus air matanya dengan kasar. Ia tidak ingin terlihat lemah di hadapan pria yang telah menghancurkan hidupnya. Sementara itu, Dimas hanya berdiri di sana, tercenung dalam kebisuan, tidak mampu berkata apa-apa. Kata-kata Muna yang terakhir menghantam hatinya seperti palu. Muna menoleh, matanya memandangi punggung Dimas yang semakin menjauh. Langkah kakinya terasa berat, tetapi semakin jauh Dimas melangkah, semakin ringan beban di hati Muna. "Aku tidak punya pilihan lain, Dimas. Aku harus melindungi Ara dari dirimu, dari rasa sakit yang bisa kau bawa ke dalam hidupnya. Kebohongan ini adalah satu-satunya cara… satu-satunya cara agar kau benar-benar menjauh dari kami." Saat Dimas akhirnya menghilang dari pandangannya, Muna menghembuskan nafas panjang, mencoba menenangkan hati yang bergemuruh. "Ara… Mama hanya ingin kau bahagia. Mama tidak akan biarkan siapa pun, termasuk Dimas, menyakiti kita lagi." Muna berdiri di sana sejenak, menikmati angin yang berhembus lembut, seolah-olah alam pun mendukung keputusannya. Lalu, dengan langkah yang pelan, dia berbalik dan mulai melangkah pulang. Muna tahu, jika Dimas akan percaya bahwa Ara telah tiada, maka tidak ada lagi alasan bagi pria itu untuk kembali. Dan itu adalah satu-satunya cara agar Muna bisa memastikan bahwa Ara akan tumbuh tanpa bayang-bayang masa lalu yang kelam.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD