Tirai Kedua: Harus Tetap Hidup

1051 Words
Muna memandang keluar jendela, sambil menyusui Ara yang kini sudah lebih besar. "Satu tahun sudah berlalu. Kadang aku merasa seperti ini baru terjadi kemarin. Tapi setiap kali aku melihatmu, Ara, aku tahu semua usaha ini berharga. Mama di sini untukmu." Hana melihat Muna dari pintu, masuk ke kamar dengan senyuman. "Kau tampak sangat kuat, Muna. Aku tahu ini bukan perjalanan yang mudah, tapi aku bangga dengan apa yang telah kau capai." Muna menoleh dan tersenyum, meskipun matanya terlihat lelah. "Terima kasih, Hana. Aku berusaha keras untuk memberikan kehidupan terbaik untuk Ara. Tapi kadang, aku masih merasa cemas. Aku merasakan firasat bahwa Dimas mungkin akan muncul kembali. Aku tidak tahu kenapa, tapi aku selalu waspada." Hana mendekat dan duduk di samping Muna. "Aku mengerti perasaanmu. Tidak mudah untuk benar-benar melupakan masa lalu, terutama ketika ada kemungkinan seperti itu. Tapi ingatlah, apa pun yang terjadi, kau memiliki aku, keluargamu, dan putrimu. Kamu sudah cukup kuat untuk menghadapi apapun. Aku percaya kau bisa, Muna." Muna menghela nafas panjang dan mengangguk. "Ya, aku tahu. Kadang aku merasa seperti hidup ini penuh dengan kejutan yang tak terduga." Hana memegang tangan Muna dengan penuh dukungan. "Aku akan selalu ada untukmu. Apapun yang terjadi, kita akan menghadapinya bersama." "Terima kasih sekali lagi, Hana. Dukunganmu sangat berarti bagi aku. Aku hanya berharap, jika Dimas kembali, aku bisa menghadapi situasi itu, aku tidak akan biarkan Dimas mengambil Ara dan bertemu dengannya, tidak akan." "Muna, aku tahu kau masih terus memikirkan hal itu, sudahlah lupakan saja pria itu. Sekarang, aku punya sesuatu yang mungkin bisa membantumu mengalihkan perhatianmu dari semua itu." Muna melihat ke arah Hana, dengan tatapan penuh rasa ingin tahu. "Apa itu, Hana?" "Lihat ini. Perusahaan baju yang kau suka, PT. Eliv, baru saja membuka lowongan pekerjaan. Mereka mencari seseorang dengan keterampilan yang kau miliki. Aku pikir ini kesempatan bagus untukmu." ujar Hana dengan menunjukkan layar ponselnya. Muna membaca berita di ponsel Hana, matanya mulai berbinar. "Benarkah? Aku selalu ingin bekerja di tempat itu. Tapi... aku tidak yakin apakah ini saat yang tepat. Apa mereka menerima wanita yang sudah memiliki anak?" Hana menatap Muna dengan penuh keyakinan. "Ini adalah kesempatan untuk memulai sesuatu yang baru. Kau bisa memfokuskan energi dan perhatianmu pada pekerjaan ini, dan itu bisa membantumu melupakan semua yang terjadi. Lagipula, ini juga akan memberikan kehidupan yang lebih baik untuk Ara. Jangan khawatir, aku sudah menanyakan sebelumnya, tidak ada kualifikasi status." Muna menghela nafas dan tersenyum kecil. "Kau tahu, mungkin kau benar. Aku merasa terjebak dalam kenangan dan rasa sakit. Memulai pekerjaan baru bisa menjadi cara untuk melangkah maju." "Tepat sekali! Dan aku yakin kau akan bersinar di posisi itu. Kau memiliki semua yang dibutuhkan untuk sukses. Lagipula, pekerjaan baru ini bisa jadi langkah besar untuk masa depanmu dan Ara." Muna mengangguk. "Oke, aku akan melamar. Terima kasih, Hana." Hana tersenyum dan memeluk Muna. "Aku senang kau bisa kembali seperti Muna yang aku kenal. Aku akan mendukungmu sepenuhnya. Mari kita lakukan ini bersama-sama." Muna berjalan menuju ruang keluarga, menatap hangat Ara, bayi perempuan yang sedang duduk di karpet sambil bermain dengan neneknya, ibunya Muna. Muna mencium kedua pipi Ara dengan penuh kasih. "Di rumah sama nenek, ya sayang. Mama pergi kerja dulu. Setelah pulang, Mama akan mampir ke swalayan untuk membeli kebutuhan bulanan. Jangan nakal." Muna menyentuh ujung hidung Ara, membuat bayi itu tersenyum, menatap Muna polos. Ibunya menatap Muna dengan tersenyum lembut dan membelai kepala Muna. "Jangan khawatir, Muna, Mom akan menjaga Ara. Hati-hati di jalan dan kerja yang baik." Muna mengangguk. "Terima kasih, Mom. Aku benar-benar menghargai semua dukungan Mom untukku selama ini." "Mom hanya ingin kau bahagia, Muna. Kau tahu, Mom masih ingat betapa hancurnya hatimu tahun lalu. Mom merasa tidak berdaya melihatmu melewati semua itu. Tapi kau telah berjuang begitu keras hingga sekarang. Mom sangat bangga padamu." Muna menahan air mata, mengangguk dalam pelukan ibunya. "Aku juga sangat bersyukur memiliki Mom di sisiku. Mom sangat berarti bagi aku." "Kau juga sangat berarti untuk Mom. Apapun yang terjadi, ingatlah bahwa Mom selalu ada untukmu dan Ara. Semoga pekerjaan baru ini membawa banyak kebahagiaan dan keberuntungan untuk hidupmu, nak." Muna tersenyum penuh harapan, menarik nafas dalam-dalam. "Aku akan berusaha sebaik mungkin. Terima kasih atas segalanya, Mom. Aku pergi bekerja dulu, sampai jumpa." "Selamat bekerja, sayang. Semoga hari ini menjadi hari yang baik untukmu." Muna melambaikan tangan, memberikan senyuman lebarnya dan menatap ibunya. Ia segera manaiki motor, untuk menuju ke perusahaan PT. Eliv, tempatnya bekerja. Muna berdoa di setiap roda motornya berputar, ia berharap Tuhan menjawab doanya untuk mendapatkan kebahagiaan dan mebahagiakan ibunya dan juga putrinya. Muna menghembuskan nafas lega saat melihat jam menunjukkan pukul 7:55 pagi dan memastikan dia sudah absen tepat waktu. "Akhirnya, aku berhasil datang tepat waktu." ucap Muna melepaskan helm motornya dan menggantungkannya di rak. Muna mengalungkan name tag di lehernya, merapikan penampilannya, dan melangkah dengan percaya diri menuju ruangan HRD. Setibanya di depan ruangan, dia mengetuk pintu dengan sopan. Merasakan gugup karena ia di minta bertemu dengan asisten pimpinan. Muna tersenyum dan memasuki ruangan setelah diizinkan. "Selamat pagi! Saya Muna. Saya di sini untuk bertemu dengan asisten pimpinan, sesuai dengan informasi yang saya terima." ucap Muna begitu ia sudah masuk ke dalam ruangan HRD dan melihat dua orang yang duduk di depannya. Asisten Pimpinan melihat Muna dengan ramah dan berdiri untuk menyambutnya. "Selamat pagi, Muna. Kami sudah menunggu kedatanganmu. Silakan duduk, ini hanya pertemuan biasa, jadi jangan takut." "Terima kasih banyak. Suatu kehormatan bagi saya bisa bertemu dengan Bapak." ucap Muna menunduk hormat, dan lalu duduk di sofa berhadapan dengan laki-laki tua di hadapannya. "Kami senang kamu bergabung dengan tim kami. Pimpinan akan segera menyambutmu. Ini adalah kesempatan yang bagus, jadi berikan yang terbaik." "Tentu saja. Saya akan melakukan yang terbaik. Terima kasih atas sambutannya." "Iya, kau sangat bersemangat ternyata, Muna. Tapi, sebelum itu boleh saya bertanya?" Muna mengangguk, degup jantungnya berdetak menjadi kencang. "Silakan, Pak." "Kau sudah memiliki anak? Jadi, kau juga pasti sudah menikah, benar?" tanya asisten pimpinan dengan melihat Muna tampak serius. Muna terlarut dalam kebingungan, kepalanya mengangguk, tapi kemudian menggeleng. Muna menggigit bibirnya kuat, suaranya perlahan terdengar dan menatap asisten pimpinan yang masih menunggu jawabannya. "Saya memang sudah mempunyai anak, Pak. Tetapi, saya belum menikah, saya masih single." Asisten pimpinan tampak terkejut, ia mengernyit sangat dalam seolah penasaran. Namun, melihat wajah Muna yang terlihat sedih, asisten pimpinan mengurungkan niatnya untuk kembali bertanya, ia mengangguk dan tersenyum mengerti.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD