SEVENTEEN

1880 Words
Bismillahirrahmanirrahiim Allahumma shali’ala Muhammad wa’ala ali Muhammad === “Katakanlah: Hai hamba-hamba-Ku yang melampau batas terhadap diri mereka sendiri, janganlah kamu berputus asa daari rahmat Allah. Sesungguhnya Allah mengampuni dosa-dosa semuanya. Sesungguhnya Dia Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” (QS Az Zumar:53) Nita terbaring lemah di ranjang rumah sakit. Ia sudah dipindahkan ke ruang rawat inap usai ditangani oleh dokter yang bertugas di bagian UGD rumah sakit. Setelah diperiksa, ternyata kandungan Nita sangat lemah. Padahal Nita sudah mengikuti saran dari dokter, entah kenapa tetap saja, kandungannya lemah bahkan sampai pendarahan. Untung saja, Nita tidak kehilangan calon anak di dalam kandungannya. Calon anaknya masih bertahan di dalam kandungannya. Nita merasa amat sangat bersyukur. Pandangan Nita terarah ke langit-langit kamar rawat inap yang ditempatinya. Ia melamun memikirkan jalan hidupnya sambil mengelus lembut perutnya. Jalan hidupnya yang sangat berliku. Ia tidak tahu identitas kedua orang tuanya, tidak tahu apakah ia masih punya kerabat atau keluarga yang sedarah dengannya, lalu sekarang ia hampir saja kehilangan calon anaknya. Anaknya, satu-satunya keluarga, darah daging yang ia miliki di dunia ini. Air mata menetes dari pelupuk mata Nita. Entah kenapa, ia merasa kehadirannya sangat tidak diinginkan di dunia ini. Ia juga merasa tidak berharga setelah semua yang ia alami hingga saat ini. Apa Allah marah sama aku ya? Aku sudah terlalu lama meninggalkan Dia, tidak mematuhi semua perintah dan larangannya. Bahkan aku terjerumus pada dosa bernama zina. Apa ini bentuk amarah-Mu padaku, ya Allah? Batin Nita. “Udah, kamu istirahat aja, Nita,” ucap Bu Dina di sampingnya sambil membetulkan letak selimut Nita hingga ke d**a. Bu Dina dan Renata akan menjaga Nita malam ini di rumah sakit. Renata sedang pulang ke panti untuk membawa baju ganti milik mereka bertiga. “Kamu kenapa nangis, Nita?” tanya Bu Dina sambil menghapus jejak air mata di wajah putrinya itu. Nita memiringkan tubuhnya lalu menggenggam tangan Bu Dina erat. “Kamu jangan sedih dan stress. Ingat kata dokter tadi, nanti bisa memperlemah kandungan kamu, Nita.” Bu Dina mengelus surai hitam Nita dengan sayang. Hati ibu mana yang tak pilu melihat anaknya terbaring lemah tak berdaya di ranjang rumah sakit seperti ini. Jikalau bisa, Bu Dina ingin dia saja yang terbaring lemah menggantikan Nita. “Bu, apa Allah marah ya sama Nita?” ucap Nita lirih. “Astaghfirulllah, kenapa kamu bisa berpikiran seperti itu Nita?” tanya Bu Dina terkejut. “Entah, Bu. Nita merasa gak diinginkan dan gak berarti. Nita gak tahu siapa orang tua Nita dan kenapa mereka gak mau rawat Nita. Apa Nita itu anak hasil hubungan gelap?” Bu Dina menatap putrinya dengan tatapan sendu. “Terus sekarang Nita udah gembira karena bakal punya anak yang sedarah dengan Nita, malah kandungan Nita lemah, Bu. Nita hampir aja kehilangannya tadi. Apa Allah marah sama Nita ya, Bu? Jadi semua yang punya hubungan darah dengan Nita, keluarga Nita, pergi ninggalin Nita.” “Hus, gak boleh ngomong gitu. Istighfar, Nita. Mohon ampun sama Allah. Allah gak mungkin marah sama kamu,” ucap Bu Dina sambil mendekatkan wajahnya pada Nita dan menatapnya dengan sayang.   “Tapi kayaknya Allah beneran marah sama Nita, Bu,” ucap Nita sambil terisak. “Allah gak marah, Nak. Allah Cuma memberi teguran biar kamu kembali ke jalan-Nya. Kamu sudah terlalu lama jauh dari—Nya, Nita.” “Allah itu Maha Penyayang terhadap hamba-hamba-Nya, Nita. Kalau hamba-Nya berada di jalan yang salah, Allah akan menegurnya agar hamba itu kembali ke jalan yang benar. Ya salah ssatu cara Allah emnegur itu adalah dengan memberinya musibah atau kesedihan agar hamba itu kembali ke jalan Allah, kembali mengingat Allah. Bersyukurlah kalau Allah masih memberikan kita ujian kesedihan atau kesulitan, itu tanda-Nya Allah sayang sama kita.” Apa benar yang dikatakan ibunya? Apa benar Allah masih sayang terhadapnya? Sedangkan Nita merasa dirinya sudah luar biasa hina dan kotor. “Masa, Bu? Nita semenjak tinggal di apartemen Nita udah jarang solat. Nita juga gak menutup aurat kayak ibu dan Rena, bahkan Nita juga berzina sampai hamil di luar nikah,” ucap Nita terbata-bata. “Nita, dengarkan ibu. Allah itu Maha Pengampun, Maha Memaafkan dosa-dosa hamba-Nya. Jika kamu serius bertobat ingin mendapat ampunan Allah, maka insya Allah, Allah akan mengampuni dan memaafkan kamu tak peduli meski kamu membawa dosa setinggi gunung asal bukan dosa syirik atau mempersekutukan Allah.” “Dosamu belum seberapa dibanding Fir’aun, Nita. Kamu ingat siapa Fir’aun, kan? Raja yang dengan angkuhnya mengaku sebagai Tuhan dan membunuh setiap bayi laki-laki yang lahir pada masanya. Besar mana dibanding dosamu, Nit?” Nita diam terpaku masih dengan sesenggukan. Ia membenarkan perkataan ibunya. Dosanya belum sebanding dengan dosa-dosa Fir’aun. “Dengan Fir’aun saja, Allah masih baik mengirimkan Nabi Musa as. Untuk memperingatinya dan mengajaknya kembali ke jalan Allah, padahal Allah bisa dengan mudahnya membinasakan atau mengazab Fir’aun tanpa harus mengirimkan Musa.” Keduanya terdiam, hening khas suasana rumah sakit ketika malam hari. Bu Dina masih dengan sayang mengelus surai hitam putrinya sedangkan Nita sudah tidak terisak seperti tadi. “Taubatlah, Sayang. Allah akan menerimamu kembali dengan tangan terbuka. Allah itu, ketika mendapati hamba-Nya yang berdosa kembali kepada-Nya, seperti seorang pengembara yang kehilangan hewan tunggangannya di padang pasir lalu ia kembali menemukan hewannya itu. Rasanya pasti sangat gembira dan senang, kan?” Bu Dina mengutip dari hadits yang pernah dipelajarinya di suatu kajian. “Sesungguhnya Allah sangat gembira dengan taubat hamba-Nya ketika ia bertaubat pada-Nya melebihi kegembiraan seseorang di antara kalian yang berada di atas kendaraannya dan berada di suatu tanah yang luas (padang pasir) kemudian hewan yang ditungganginya lari meninggalkannya. Padahal pada hewan tunggangannya itu ada perbekalan makan dan minumnya. Sehingga ia ppun menjadi putus asa. Kemudian ia mendatangi sebuah pohon dan tidur berbaring di bawah naungannya dalam keadaan hati yang telah berputus asa. Tiba-tiba ketika ia dalam keadaan seperti itu, kendaraannya tampak berdiri di sisinya, lalu ia mengambil ikatnya. Karena sangat gembira, maka ia berkata, “Ya Allah, Engkau adalah hambaku dan aku adalah Rabb-Mu,” ia telah salah mengucapkan karena sangat gembiranya.” (HR. Muslim no.2747) Allah juga dengan sangat sopan dan santunnya memanggil hamba-hamba-Nya yang berdosa dengan “hamba-hamba-Ku yang melampaui batas ... “ dalam surat Az Zumar ayat ke-53. Padahal, bisa saja Allah memanggil mereka dengan “hai hamba-hamba-Ku yang banyak dosa!” Tapi, Allah tidak melakukannya karena Allah Maha Penyayang dan Mahalembut terhadap hamba-hamba-Nya. “Apa Allah akan menerima taubat Nita, Bu?” cicit Nita. “Insya Allah iya, Sayang. Kamu harus yakin Allah tidak akan menyia-nyiakan hamba-Nya yang bertaubat.” Tak lama, Nita kembali menangis tergugu. Bu Dina yang melihatnya semakin khawatir karena takut kesedihan Nita berpengaruh buruk terhadap kandungannya. “Udah dong, Nita. Jangan nangis terus, kasihan calon bayi kamu.” Bu Nita mengusap-usap punggung Nita agar merasa tenang. “Nita malu sama Allah, Bu. Nita udah berprasangka buruk sama Allah. Padahal Allah masih baik ngasih Nita orang yang perhatian seperti ibu dan Rena, yang juga sering ngingetin Nita kalau Nita salah.” Bu Dina tersenyum. Ia lega karena Nita akhirnya bisa berpikir dengan jernih dan menemukan kebaikan-kebaikan yang Allah beri padanya selama ini sehingga Nita tidak terus berburuk sangka. “Nah pintar! Itu kamu tahu kalau Allah baik sama kamu. Udah sekarang pokoknya kamu istirahat. Jangan banyak pikiran kalau mau calon anak kamu sehat.” Nita mengangguk lalu mulai memejamkan matany mencoba menyelam ke alam mimpi. Bu Dina kembali mengelus surai Nita hingga putrinya itu tertidur lelap. Ia merasa seperti terlempar ke beberapa puluh tahun lalu menemani putrinya hingga tertidur lelap. === “Bagaimana keadaan Nita, Bu Dina?” tanya Pak Nugraha sambil berjalan bersisian di lorong rumah sakit tentunya juga dengan sang istri, Bu Dina. “Alhamdullillah sudah lebih baik, Pak, Bu. Kandungan Nita memang lemah. Ia sering mengeluh nyeri pada perutnya. Ia juga sudah periksa dan menuruti saran dari dokter. Tapi ya, qadarullah, atas kehendak Allah juga, kandungannya masih lemah bahkan hingga pendarahan.” Bu Dina memang menghubungi Pak Nugraha dan Bu Wina untuk mengabari keadaan Nita yang dirawat di rumah sakit. Orang tua Revan langsung datang ke rumah sakit usai dikabari oleh Bu Dina. Tadinya, Revan pun memaksa ikut, tetapi dilarang oleh Pak Nugraha karena takut membuat Nita tambah tertekan dan akhirnya kembali drop. Pak Nugraha dan Bu Wina saling bertatapan. Tak bisa dipungkiri, mereka pun merasa khawatir dengan keadaan Nita dan calon cucunya. “Bu Dina, apa gak sebaiknya kita mempercepat pernikahan Nita dan Revan, Bu? Apa Nita masih bersikeras menolak lamaran dari kami?” ucap Bu Wina. “Ma ... “ sela Pak Nugraha. “Bukan begitu, Pa. Kalau misalkan Nita dan Revan udah nikah, Nita ada yang tanggungjawab dan rawat, Pa. Mama mikirnya ke arah sana, bukan apa-apa.” “Mungkin kita bisa bicarakan ini kembali nanti Pak, Bu. Sekarang yang penting adalah kesehatan Nita terlebih dahulu. Pikirannya harus tenang dan tidak boleh banyak tekanan. Saya juga sempat berpikiran hal yang sama dengan Bu Wina,” jelas Bu Dina. “Lalu?” “Ya itu tadi, saya menunda untuk membahasnya dengan Nita. Saya takut membahas lamaran Revan untuknya malah menambah beban pikirannya. Karena sebelum ini ia sudah bertekad untuk hidup berdua saja dengan anaknya. Saya minta suatu hari agar dia menikah dengan lelaki yang mau menerimanya serta anaknya nanti pun dia enggan. Sepertinya penolakan yang dilakukan anak bapak dan ibu sudah menorehkan luka yang sangat dalam di hati anak saya.” Tak ayal Pak Nugraha dan Bu Wina pun merasa tersindir dengan ucapan Bu Dina. Tapi, mereka tak bisa membantah. Mungkin ucapan Bu Dina benar. Sikap Revan yang keterlaluan membuat Nita sakit hati yang amat dalam. Mereka telah tiba di depan pintu ruangan kamar rawat Nita. “Pak, Bu, saya mohon jangan bahas apa pun dulu mengenai Revan dan pernikahan untuk saat ini. Saya mohon. Ini untuk kebaikan Nita dan juga calon cucu kalian.” Pak Nugraha dan Bu Wina menganggukkan kepalanya lalu mereka mengikuti Bu Dina masuk ke kamar rawat Nita. === Revan sedari tadi mondar-mandir tak karuan. Ia berulang kali mengecek ponselnya berharap mendapat kabar dari mama dan papanya mengenai keadaan Nita yang mengalami pendarahan. Shofi yang melihat abangnya bak seterikaan itu hanya bisa berdecak sambil menggelengkan kepala. Ia menyimpan tabletnya di sofa dan menegur abangnya. “Bang, lo bisa diem kagak, sih?” ucap Shofi kesal. “Ck, gimana gue mau bisa tenang, Dek. Gue gak boleh jenguk Nita sama papa. Gue takut terjadi sesuatu yang buruk sama dia.” Revan kembali berjalan mondar—mandir sambil menggigiti kukunya. “Ah, sok peduli lo. Kemarin aja gak ngakuin itu anak lo. Sekarang lo ngapain khawatir kalo itu bukan anak lo, hmm? Mau ngelak apa lagi lo, Bang?” sindir Shofi tajam. Revan yang sedang mondar-mandir pun otomatis menghentikan langkahnya. Revan merasa tertohok dengan sindiran tajam adiknya. Apa yang dikatakan adiknya memang benar, kalau ia merasa anak yang dikandung Nita bukan darah dagingnya kenapa juga ia harus cemas seperti ini. Apa secara tidak langsung, gue udah mengakui kalo itu anak gue? Batin Revan. “Nah, diem kan lo? Baru ngerasa ya?” sindir Shofi lagi. “Ck, akal yang ada di otak lo lamban emang, Bang. Yang gue pernah tonton tentang dunia hewan, singa aja yang gak ada akalnya bisa tahu lo, Bang mana anaknya mana bukan. Nah lo yang punya akal masa kalah sama singa.” Revan masih diam mematung. Apa iya benar dirinya telah kehilangan akal sehatnya sehingga menolak mengakui anak yang dikandung Nita? Shofi beranjak dari duduknya lalu menghampiri Revan. Ia membimbing Revan yang mematung untuk duduk di sofa. Shofi lalu pergi meninggalkan Revan ke dapur. Tak lama ia datang dengan membawa dua cup puding stroberi yang telah diberii vla vanila. Shofi duduk di sebelah Revan lalu menyodorkan puding ke hadapannya. “Makan puding stroberi dulu nih, biar hati dan pikiran lo adem. Kayaknya keponakan gue ntar cewek deh kalo lo ngidamnya stroberi begini.” Revan menerima pudingnya lalu tak langsung menatapnya sedangkan Shofi sudah asyik menyantap pudingnya. Saat seperti ini ia tak nafsu untuk memakan apa pun. Hanya keadaan Nita yang ada di pikirannya. “Udah lo tenang aja, Bang. Insya Allah Nita sama calon anak lo gak apa-apa.” Revan menyimpan pudingnya di meja yang ada di hadapannya. “Tetep aja gak bisa. Gue khawatir.” “Yaudah lo ikutin rencana gue aja, Bang.” Revan mengernyitkan dahinya bingung. “Rencana lo, apaan?” Shofi mendekatkan bibirnya ke telinga Revan membisikkan sesuatu.  
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD