ONE
Bismillahirrahmanirrahiim
Allahumma shali’ala Muhammad wa’ala ali Muhammad
Seorang perempuan menggunakan setelah kerja khas kantor keluar dari ruangan prakter dokter kandungan. Perempuan itu menggunakan dress dengan panjang di bawah lutut berwarna peach dengan rambut hitam kecoklatan yang tergerai sebahu. Wajahnya cantik khas Asia. Saat sudah berada di luar ruangan, terlihat wajahnya pucat, tubuhnya juga terlihat lemas. Tapi, ia masih kuat untuk memaksakan dirinya berjalan tegap.
Ia melihat kursi tunggu yang berada di dekatnya penuh dengan ibu—ibu hamil yang sedang menunggu giliran diperiksa. Ada yang sendiri, ditemani suaminya bahkan orang tuanya. Ia menghela napas lelah sambil merapikan rambutnya. Tangannya terulur memegang perutnya. Ia tersenyum getir. Perutnya yang dalam beberapa bulan lagi akan membuncit besar karena ada janin yang tumbuh di dalamnya.
“Bu Renita Utami!” panggil seorang suster.
Perempuan yang sedang mengelus perutnya itu segera menoleh ke arah belakang. Dia adalah Renita Utami atau yang akrab disapa Nita. Ia melihat suster yang tadi berada di ruangan dokter tempat ia periksa menghampirinya sambil membawa tas tangannya.
“Ini, Bu. Tasnya ketinggalan di kursi sebelah tadi,” ucap sang suster sambil mengulurkan tas tangan ukuran sedang berwarna cokelat tua. Saat periksa tadi, Nita memang meletakkan tasnya di kursi periksa pasien yang kosong di sebelahnya.
Nita menatap suster dan tasnya bergantian. Oh tidak! Betapa bodohnya ia karena terkejut dengan kabar kehamilannya sampai melupakan tasnya sendiri.
Nita bodoh! Rutuknya pada diri sendiri.
Nita pun mengambil tas yang diulurkan suster. “Terima kasih banyak, Sus.”
“Iya, Bu. Sama-sama. Bulan depan jangan lupa kontrol lagi, ya. Ajak juga suaminya, Bu.”
Nita hanya mengangguk kikuk sambil tersenyum kecut. Suster itu meninggalkannya dan kembali ke ruangan dokter.
Suami? Menikah saja belum, bagaimana ia punya suami? Batin Nita.
Bagaimana juga kau bisa hamil tapi kau belum bersuami? Ejek batin Nita.
Nita kembali menghela napas panjang untuk meredam nyeri di hati. Tak ingin terbawa perasaan terlalu lama, perempuan itu segera melangkahkan kakinya dengan cepat ke arah parkiran mobil. Saat sudah masuk ke dalam mobilnya, perempuan itu menyenderkan punggung di jok mobil. Ia menatap kosong ke arah halaman parkir rumah sakit.
Hamil.
Dirinya hamil.
Ada makhluk lain yang berada dalam tubuhnya. Anak Nita dan Revan.
Nita teringat akan kebodohan dan kesalahan yang ia lakukan bersama Revan hingga membuahkan janin di rahimnya. Penyesalan memang selalu datang terakhir. Kini, Revan sudah mengabaikannya dan lebih memilih untuk mengejar Lisa, sang mantan.
Bulir-bulir air mata jatuh menetes membasahi wajah Nita. Ia mencengkeram erat stir mobil untuk menyalurkan emosinya. Lama kelamaan, air matanya menetes semakin deras. Isak tangisnya tersengar pilu.
Menyesal. Sangat menyesal. Itulah perasaan yang Nita rasakan saat ini. Andai saja ia bisa memutar ulang waktu, tentu ia tidak akan jatuh dan luluh sehingga memberikan seluruh jiwa dan raganya pada Revan.
Usai meluapkan emosinya dengan tangis dan air mata, Nita mengambil tisu untuk mengelap wajahnya. Ia akan meminta pertanggungjawaban pada Revan. Ya, lelaki itu harus bertanggung jawab atas bayi yang dikandungnya. Nita tidak mau bayinya ini lahir tanpa seorang ayah. Sesudah dirasa emosinya stabil, Nita mengambil ponselnya untuk menghubungi Revan. Beruntungnya, Revan menjawab panggilan Nita.
“Halo? Ada apa lagi, Nit?” tanya Revan dengan nada malas.
“Kamu di mana? Kita harus ketemu. Ada yang mau aku bicarakan sama kamu.”
“Gak bisa. Aku lagi gak ada di Jakarta.”
Nita mengernyitkan dahinya. Tidak ada di Jakarta? Nita langsung memutar otaknya, berpikir tempat keberadaan Revan.
“Lagian mau ngapain lagi, sih? Kita tuh udah gak ada apa-apa lagi, Nit. Kita bukan siapa-siapa lagi.”
“Oh, kamu di Bandung?” bukannya menanggapi ucapan Revan, Nita malah menebak tempat di mana Revan berada.
“Ck, iya di Bandung.”
“Oke, tunggu. Aku ke sana.”
“Tapi ... “
Klik. Nita mencengkeram erat ponselnya. Revan sedang apa di Bandung? Apa mengejar Lisa dan mengajaknya kembali? Oh, Nita sungguh tidak mau hal itu terjadi. Lisa tidak boleh kembali pada Revan. Revan harus menikah dengannya.
Nita melihat ke atas langit melalui kaca depan mobilnya. Langit sudah berubah warna menjadi jingga. Itu tandanya sesaat lagi malam akan tiba. Nita berpikir, ia tidak mungkin menyusul Revan sekarang. Maka, Nita memutuskan untuk menyusul Revan besok pagi saja. Nita tak mau ambil risiko kelelahan dan berakibat buruk pada kandungannya nanti.
“Kita harus kuat ya, Nak. Besok kita ketemu ayah, ya?” ucap Nita pada janin dalam perutnya. Meski usia kandungannya masih tergolong muda, Nita tak bisa menampik rasa bahagia kala mengetahui ia akan menjadi seorang ibu, akan ada makhluk kecil yang menemaninya nanti dan memanggilnya ibu. Nita punya teman, anaknya, darah dagingnya, ia tak sebatang kara lagi seperti dulu. Setelah mantap dengan rencananya, Nita melajukan mobilnya menuju apartemen tempat ia tinggal.
===
Nita menempuh jarak Jakarta-Bandung dengan menggunakan mobilnya. Ia menuju vila milik Revan di Bandung. Nita sempat beberapa kali diajak ke sana oleh Revan jadi ia sudah hafal jalannya. Tak lupa, Nita membawa perbekalan yang cukup untuk dirinya selama di perjalanan. Kali ini, ia harus menjaga kecukupan gizi agar janin di rahimnya tumbuh dengan baik dan sehat.
Meski janin itu datang dengan cara yang salah dan bahkan kehadirannya pun tidak pernah diharapkan, Nita tetap menyayanginya dengan tulus. Ia tak menampik naluri keibuannya perlahan mulai muncul. Janinnya suci, dirinyalah sebagai seorang ibu yang berdosa karena cara hadirnya ia tempuh bukan dengan cara yang benar.
Usai menghabiskan beberapa jam di perjalanan, Nita tiba di vila milik Revan. Ia memarkirkan mobilnya lalu turun menuju vila.
Saat berada di depan pintu dan tangannya terulur untuk mengetuk, pintu tiba-tiba terbuka. Nita sedikit terkejut.
“Eh, kamu, Van?” Nita melihat Revan yang terlihat tampan dengan celana jeans dan kaus kerah warna abu yang dikenakannya dan sepertinya lelaki itu terlihat dalam keadaan baik, tidak seperti dirinya.
“Oh udah sampai. Masuk deh.” Nita pun masuk ke dalam vila mengekori Revan. Mereka duduk di sofa ruang tengah.
“Apa kabar, Van?” tanya Nita tulus, bukan basa basi. Ia memang ingin mengetahui kabar dari lelaki yang dicintainya juga ayah dari janin yang dikandungnya.
Revan menanggapi Nita dengan malas. “Langsung to the point aja, Nit. Mau ngomongin apa sampai kamu rela jauh-jauh nyusul ke sini? Aku harap, ini bukan hal yang gak penting ya.”
Dada Nita seketika sesak. Begitu tak berartinyakah dia di mata Revan setelah semua hal yang mereka alami selama ini? Nita sekuat tenaga menahan air matanya agar tidak jatuh. Ia tidak mau terlihat lemah dan menyedihkan di depan lelaki yang menilainya rendah. Ya, setidaknya itulah yang Nita rasakan. Sesudah Revan mendapatkan apa yang tidak bisa ia dapat dari Lisa pada Nita, ia mencampakkan Nita begitu saja.
Nita juga dengan bodohnya mau masuk dalam jebakan rayu Revan. Sekarang hanya penyesalan yang tersisa. Nita merasa dirinya sudah kotor dan tak berharga lagi sebagai seorang perempuan. Tadinya, ia kira begitu Lisa mengetahui hubungannya dengan Revan, Revan akan tetap berpihak padanya bahkan menikahinya. Tapi sayang, itu hanya halusinasi Nita saja. Nyatanya, Revan lebih memilih mengejar Lisa, bahkan rela resign dari pekerjaannya dan menyusulnya ke Bandung.
Nita mengeluarkan sebuah amplop berlogo rumah sakit dari dalam tasnya. Ia meletakkannya di meja depan Revan.
“Apa ini?” tanya Revan.
“Kamu buka aja sendiri,” ucap Nita.
Revan menatap Nita dan amplop di depannya bergantian. Tangannya dengan cepat menyambar amplop di hadapannya dan matanya dengan jeli dan teliti memindai setiap huruf dan kata yang tertera di lembar putih tersebut.
“Apa? Hamil? Kamu hamil?”
“Iya, aku hamil. Itu buktinya.”
Revan melempar kertas di tangannya lalu berdiri sambil berkacak pinggang.
“Lalu kamu yakin kalau itu anakku?” ucap Revan tajam.
Jleb! Pertanyaan Revan bagai pedang tajam yang menghunus ke jantung Nita.
Sakit.
Perih.
“Kamu lelaki yang pertama buat aku ya, Van.”
Revan terkekeh samar. “Ya mana tahu habis sama aku kamu sama lelaki lain, memang ada yang bisa menjamin?” ucap Revan kasar.
Benar saja dugaan Nita. Jika sudah seperti ini, ia hanya akan dinilai sebagai perempuan rendahan dan murahan. Nita maju mendekati Revan lalu menamparnya.
Plak!
“Jangan nilai aku sebagai perempuan rendahan kayak gitu ya, Van! Aku gak serendah itu tidur sama sembarang lelaki!” bentak Nita. Ia sudah tak tahan meluapkan emosinya dalam bentuk amarah.
Revan memegangi pipi kirinya yang ditampar Nita. “Lalu kalau bukan perempuan rendahan apa namanya? Perempuan yang mau tidur dengan lelaki yang bukan suaminya,” sindir Revan.
Nita memejamkan matanya, membuat air mata yang sedari ia tahan akhirnya jatuh juga. Dalam tangis, ia tertawa samar. Menertawakan kebodohan dirinya sendiri. Posisinya sekarang memang salah. Dalam hubungan seperti ini, perempuan akan selalu berada pada pihak yang kalah dan rugi.
“Anak ini anak kamu, Van! Aku gak pernah sama lelaki lain selain kamu!” ucap Nita dengan nada tinggi.
“Terus mau kamu apa sekarang? Aku gak percaya kalau itu anakku.”
“Aku mau kamu tanggung jawab! Nikahin aku!” ucap Nita dengan lantang dan mantap.
“Jangan mimpi, Nita! Aku gak akan pernah nikahin kamu!” ucap Revan tak kalah lantang.
“Dasar lelaki pengecut!”
Revan mendekati Nita. Ia memegang kedua bahu Nita dan menatapnya. “Nita, dengerin kata aku. Lebih baik kamu gugurin kandungan kamu.”
“Apa?”