EIGHTEEN

1750 Words
Bismillahirrahmanirrahiim Allahumma shali’ala Muhammad wa’ala ali Muhammad === “Awal dari perubahan yang baik adalah menyadari adanya kesalahan.” (Ust. Felix Siauw) Nita masih terbaring di ranjang rumah sakitnya. Sudah tiga hari ia menginap di rumah sakit. Sebenarnya, ia merasa sangat bosan dan ingin pulang saja ke panti dan menjalani rawat jalan. Tetapi, ia tidak bisa egois kali ini. Ada calon anaknya yang membutuhkan perhatian dan perawatan yang khusus dan ekstra. Kandungannya lemah sehingga dokter harus memantau keadaannya dalam beberapa hari ke depan. Dokter berkata, jika dalam dua hingga tiga hari ke depan kondisi Nita dan kandungannya mulai membaik, maka Nita diperbolehkan pulang dengan catatan Nita harus bedrest di rumahnya. Sekarang Nita hanya berada sendiri di kamar. Rena sedang ke kantin rumah sakit untuk membeli makan sedangkan Bu Dina sedang mengecek tokonya dan baru akan ke rumah sakit pada sore atau sehabis maghrib. Sebenarnya salah satu alasan Nita ingin cepat pulang adalah karena tidak tega melihat ibu dan adiknya bolak balik toko, panti dan rumah sakit. Mereka berdua pasti lelah dan Nita tidak tega.  Nita menghela napasnya lalu melirik jam dinding yang tergantung di dinding kamar rawat inapnya. Jarum jam baru menunjukkan pukul setengah sebelas. Nita pun memutuskan untuk mengambil peralatan rajutnya di laci lemari rumah sakit yang sudah dibawa oleh Renata. Ia dengan hati-hati beranjak sambil memegang infusnya. Ia akan menghabiskan waktunya untuk merajut daripada mati kebosanan. Selain untuk menjadikannya ladang usaha, Nita juga merajut untuk dipakai oleh anaknya nanti. Nita sudah membayangkan alangkah lucu dan menggemaskannya jika anaknya memakai kaos kaki atau topi hasil rajutannya sendiri. Nita merajut sambil tersenyum. Nita merasa beruntung dulu belajar merajut pada Bu Dina saat ia SMA. Jadi, ia sudah mengetahui teknik-teknik dasar dalam merajut. Selama sekolah dulu ia menggeluti dunia rajut merajut itu. Tetapi, saat kuliah Nita perlahan mulai meninggalkannya karena ia disibukkan dengan tugas kuliah dan juga kegiatan mahasiswa lainnya. Sekarang, ia hanya tingga kembali merefresh ingatannya tentang merajut. Meski di awal sempat agak kaku dan lupa, tapi Nita bisa dengan cepat belajar dan mengingatnya kembali. Saat sudah setengah jam berkutat dengan alat rajut tiba-tiba terdengar suara ketukan pintu dan seorang lelaki memakai seragam pegawai rumah sakit mengantarkan makan siang untuk Nita. “Permisi, Bu. Ini makan siangnya,” ucap lelaki itu dengan sopan. Lalu menyimpan nampan yang berisi makan siang Nita di meja khusus agar Nita bisa menyantapnya sambil duduk atau berbaring di ranjang. Nita mengernyitkan dahinya heran menatap makan siang di hadapannya. Pasalnya, sudah tiga kali berturut-turut selalu ada menu puding stroberi atau kudapan lain yang berbahan dasar stroberi sejak hari pertama ia dirawat di rumah sakit ini. Nita memang menyukai stroberi, tapi ia agak aneh dengan kejadian kali ini. Apa juru masak di rumah sakit ini memang tak punya resep kudapan lain? Atau harga stroberi di pasar sedang murah sehingga pihak rumah sakit menggunakannya untuk membuat kudapan pasien? Selain itu, lelaki yang mengantarkan makan siangnya ini selalu menungguinya menghabiskan makanan hingga selesai. Nita yang tak paham situasi ini hanya menggelengkan kepalanya. Dua hari kemarin, Nita tak terlalu memusingkannya. Tapi, hari ini entah kenapa Nita merasa curiga. “Mas?” “Iya, kenapa, Bu? Ibu mau makan apa? Ada yang ibu mau?” tanya lelaki itu. “Nggak. Saya Cuma heran, kenapa selalu ada menu kudapan stroberi ya?” “Ah, itu. Saya kira kenapa. Gak kenapa-kenapa kok, Bu. Memang menu kudapan minggu ini khusus berbahan dasar buah stroberi. Kenapa? Ibu gak suka ya? Kalo gak suka biar saya ganti dengan yang lain.” “Eh, nggak kok. Saya suka. Cuma saya ngerasa aneh aja. Terus mas-nya ngapain juga merhatiin dan nungguin saya sampai selesai makan. Memang tugas nganterin makan siang ke semua pasien udah selesai?” “Ya sudah dong, Bu. Saya Cuma memastikan ibu menghabiskan semua makanan ibu biar ibu cepat pulih dan pulang dari rumah sakit.” Nita memicingkan matanya menatap lelaki yang berdiri di samping tempat tidurnya. Lelaki berambut cepak itu menggunakan masker, kaca mata dan juga sarung tangan. Dari postur atau perawakan tubuhnya, rasanya Nita mengenal lelaki di depannya ini. Tiba-tiba saja Nita teringat pada Revan. Ya, lelaki di depannya ini mirip dengan Revan. Revan? Apa lelaki ini Revan? Nita memindai lelaki di hadapannya ini dari ujung kepala sampai ujung kaki untuk meyakinkan dirinya bahwa lelaki itu adalah Revan. Ah, tapi mana mungkin ini Revan? Tidak, tidak mungkin. Nita berkata dalam hati sambil menggelengkan kepalanya. “Ibu kenapa, Bu? Pusing?” “Ah, nggak. Apa kita pernah ketemu sebelumnya? Saya kok gak merasa asing ya sama kamu?” “Ah, mana mungkin, Bu. Saya baru pertama kali bertemu ibu di rumah sakit ini. Jadi, sebelumnya kita gak kenal.” Nita terdiam berpikir lalu menganggukkan kepalanya. “Assalamu’alaikum. Mbak Nita.” Renata datang usai membeli makanan dan camilan dari kantin rumah sakit. “Wah, makan siangnya udah datang.” “Kalau begitu saya permisi dulu, Bu, Mbak. Selamat makan dan jangan lupa dihabiskan.” Lelaki misterius itu meninggalkan Nita dan Rena. Nita masih menatap pintu yang tertutup usai kepergian lelaki itu. Renata menatap aneh pada kakaknya itu. “Mbak Nita kenapa?” “Ah, nggak apa-apa, kok. Kayaknya Mbak kenal sama lelaki tadi. Mbak malah tadinya ngira dia itu Revan, tapi gak mungkin kan ya, Ren? Mana mungkin Revan ke sini.” Nita mulai membuka plastik wrap yang membungkus nampan makan siannya. Menu siang ini adalah nasi yang dimasak setengah halus, tumis brokoli dan wortel, semur ayam, telur dadar lalu ada buah pisang dan puding stroberi sebagai penutup. “Revan?” tanya Renata bingung. “Iya.” Renata duduk di kursi sebelah ranjang Nita. “Hmm, tapi misal seandainya itu beneran Kak Revan gimana, Mbak?” Tangan Nita yang hendak menyuapkan nasi ke dalam mulutnya terhenti. Ia menatap Rena sejenak lalu berkata, “Ya nggak apa-apa. Biarin aja,” jawab Nita santai lalu lanjut menyuapkan nasi ke dalam mulutnya. “Tapi Mbak, mungkin Revan dan orang tuanya serius buat ngelamar Mbak Nita. Apa Mbak Nita masih keukeuh (bersikeras) nolak mereka?” tanya Rena hati-hati. Sebenarnya ia sudah diperingati oleh Bu Dina untuk tidak menyinggung masalah lamaran dan pernikahan dengan Nita. Khawatir akan menambah beban pikirannya. Tapi, Renata mencoba perlahan untuk membahas hal itu karena tak selamanya Nita bisa menghindar. Calon keponakannya punya hak untuk hidup dan tumbuh dalam keluarga yang utuh dan lengkap. Nita meletakkan sendoknya di sisi piring. Ia mengunyah makanan di mulutnya sambil memikirkan jawaban atas pertanyaan Rena. Kedua orang tua Revan memang serius melamarnya. Kemarin saja mereka berdua datang menjenguk Nita tanpa membahas apa pun tentang lamarannya tempo hari. Apa mereka benar serius? Apa aku harus mulai membuka hati lagi? Renata langsung cemas melihat wajah pias Nita. Ia merasa bersalah telah menyinggung hal yang dilarang ibunya. “Eh, yaudah jangan dipikirin banget, Mbak. Sekarang yang penting Mbak dan si dedek sehat dulu. Maaf ya aku udah nyinggung hal itu.” Renata merasa bersalah. “Gak apa-apa, Ren.” Nita lanjut menghabiskan makannya. Semenjak mengetahui kandungannya lemah ia berusaha mencukupi kebutuhan gizinya dengan banyak makan makanan yang bergizi. Nita tidak menyisakan makanan sedikit pun. Meski ia tidak nafsu, ia tetap memaksa dirinya untuk menghabiskan makanan demi calon anaknya. === “Ren,” panggil Nita usai Rena selesai melaksanakan salat dzuhur. Renata yang masih menggunakan mukenanya langsung menghampiri Nita. “Iya, kenapa, Mbak? Mbak Nita mau apa?” “Hmm, kamu mau ajarin Mbak lebih dalam tentang Islam, kan?” ucap Nita lirih. Renata awalnya tercengan mendengar kalimat yang baru saja Nita lontarkan. Tapi, beberapa detik kemudian wajahnya sumringah karena bahagia. Akhirnya, hidayah itu datang menyapa kakak tercintanya. “Ya Allah, Mbak Nita. Alhamdulillah, iya aku mau banget lah.” Renata menghambur memeluk Nita sambil menitikkan air mata. Bukan air mata kesedihan, tapi air mata kebahagiaan. Akhirnya keinginan untuk berhijrah merubah dirii menjadi lebih baik itu timbul dari dalam diri kakaknya sendiri. Bu Dina memang sudah menceritakan tentang obrolannya bersama Nita pada Renata. Tapi, baru hari ini Renata mendengar langsung permintaan Nita untuk dibimbing olehnya. Sebelum ini, Renata memang sudah mengingatkan Nita untuk kembali ke jalan—Nya, mulai dari memperbaiki salat, menutup aurat hingga mengikuti kajian keislaman. Tetapi, belum terlihat niat yang serius dari Nita. Mungkin dengan kejadian pendarahan ini membuatnya sadar sehingga ia berniat serius untuk berhijrah. Mungkin, inilah cara Allah untuk menyadarkan dan mengembalikan kakak tercinta ke jalan yang diridhai—Nya. “Aku senang banget, Mbak.” “Bantu Mbak ya, Ren?” “Iya, Mbak, pasti aku bantu sekuat tenaga. Aku doakan juga biar Mbak istiqamah, jadi calon ibu yang shalihah untuk si dedek nanti.” “Aamiin. Mbak udah sadar kalau selama ini hidup Mbak udah salah. Salah banget,” ucap Nita dengan ekspresi wajah mendung. “Menyadari segala kesalahan kita itu awal dari perubahan yang baik, Mbak.” Keduanya berpandangan lalu saling melempar senyum. “Jadi, apa yang pertama kali harus Mbak lakuin, Ren?” tanya Nita. “Hmm, pakai jilbab, Mbak.” Rena beranjak menuju lemari tempat menyimpan pakaian yang terletak di samping tempat tidur. Ia mengambil sebuah jilbab bergo berwarna hijau tua lalu mengulurkannya pada Nita. Lalu Nita mengambilnya dan coba memakainya. Selama berada di rumah sakit, Nita memang belum menutup auratnya. Dulu juga sebelum kejadian ini, ia hanya menutup aurat jika pergi ke luar panti. “Nah, cantik!” ucap Rena ketika Nita selesai memasang jilbab di kepalanya. Nita hanya tersenyum mendengar pujian dari Rena. “Nah nanti mulai sekarang, Mbak harus rajin salat wajib ya, gak boleh ditinggalin kecuali haid atau halangan. Terus, Mbak harus banyak baca Al Qur’an dan juga terjemahannya biar Mbak paham. Nanti kalau Mbak udah pulih dan bugar lagi, kita pergi ikut kajiann rutin ya, Mbak,” ucap Renata dengan semangat menggebu. “Oke, siap Bos!” Dua putri kakak beradik asuhan Bu Dina itu tertawa bersama. Renata kembali memeluk Nita. “Rena sayang Mbak Nita.” “Mbak juga sayang kamu, Ren.” === Revan melangkah dengan cepat ke luar dari rumah sakit tempat Nita dirawat. Ia segera masuk ke dalam mobilnya yang terparkir di halaman rumah sakit. Revan langsung menghela napasnya lalu bersandar pada joknya. “Kenapa lo, Bang?” tanya Shofi yang duduk di kursi sebelahnya sambil memakan keripik kentang. Ya,  Shofi memang menunggu Revan ketika sedang menyamar menjadi pekerja rumah sakit yang mengantarkan makan kepada pasien. Salah satu teman Shofi memang bekerja di bagian dapur rumah sakit yang menyediakan makan bagi para pasien.  Jadi, ide Shofi yang dibisikkan pada Revan adalah menyamar menjadi pekerja rumah sakit agar bisa menjenguk Nita tanpa ketahuan dan Revan menyetujui ide tersebut. Jadi, setiap jam makan siang Nita tiba, ia yang akan bertugas mengantarkan makan siang ke kamar Nita, khusus hanya untuk Nita. “Kayaknya Nita curiga sama gue. Dia kayaknya ngenalin gue deh.” “Oh, kirain kenapa,” balas Shofi santai. “Kok Cuma oh, sih?” “Lah emang kenapa gitu? Kalo lo khawatir dia tahu ya udah besok gak usah antar makanan lagi ke kamarnya, beres kan?” Shofi dengan santainya melahap keripik kentang hingga terdengarv bunyi kriuk-kriuk lalu menyeruput orange jus instan kemasannya hingga habis. Revan menatap adik perempuannya dengan tercengang. Benar-benar tipe perempuan yang ajaib dan kelewat santai adiknya ini. “Yah, gak bisa gitu dong.” “Lah, lo kan cuma mau mastiin keadaannya baik-baik aja, Bang? Udah berapa kali lo ketemu dia dari kemarin? Gue rasa sih udah cukup.” Perkataan Shofi kembali menohok Revan. Ya, bukannya ia hanya ingin memastikan keadaan Nita baik-baik saja? Sudah didapatnya bukan? Lalu sekarang apa lagi? “Ya kalo lo mau serius datang ke pantinya lah, lamar.” Apa? Lamar? Apa iya gue harus ngelamar Nita?  
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD