Bismillahirrahmanirrahiim
Allahumma shali’ala Muhammad wa’ala ali Muhammad
===
Fauzan merenggangkan ototnya yang sedikit terasa kaku di kursi kerjanya. Ia melepas kacamanya lalu mengurut pelan pangkal hidungnya. Ia membereskan berkas rekam medik pasien di mejanya.
“Dok, pasiennya sudah habis,” ucap suster sambil merapikan beberapa alat kesehatan.
“Oh ya sudah. Terima kasih ya, Sus,” ucap Fauzan sambil tersenyum. Fauzan merasa lega jam kerjanya sebagai dokter spesialis anak di sebuah rumah sakit ibu dan anak hari ini sudah selesai. Sudah setahun lebih ia bekerja di rumah sakit ini. Cita-citanya sejak dulu memang menjadi dokter anak. Maka, begitu ia selesai dengan studi dokter umumnya, ia tak membuang waktu dan langsung ambil pendidikan spesialis anak. Fauzan memang sangat menyukai anak-anak.
“Habis ini visit pasien kan, Dok?” tanya suster.
“Iya, Sus.”
“Oke, Cuma ada satu pasien anak di lantai dua ya, Dok.”
“Iya.”
Fauzan biasanya visit pasien anak yang sedang dirawat usai menyelesaikan praktiknya. Setelah itu, ia biasanya praktik lagi di rumah sakit lain, tapi tidak setiap hari. Selain praktik di rumah sakit, Fauzan juga membuka praktik di rumahnya dari sore hingga malam hari. Suster ke luar ruangan terlebih dahulu usai merapikan ruangan praktik Fauzan. Usai mengecek ponselnya Fauzan pun ke luar ruangan lalu menutup pintu. Ia berjalan menyusuri lorong rumah sakit untuk menuju tangga ke lantai dua.
Namun, ada pemandangan yang menyita perhatian Fauzan saat ia menyusuri lorong rumah sakit. Ia melihat perempuan yang mirip dengan Nita sedang ditarik oleh seorang lelaki menuju taman rumah sakit.
Nita? Apa perempuan itu beneran Nita? Sedang apa Nita di rumah sakit ini? Siapa yang sakit?
Beragam pertanyaan berkecamuk dalam benak Fauzan. Fauzan pun melangkah pelan, mengendap-endap mengikuti Nita dan lelaki yang tidak dikenalnya ke arah taman rumah sakit. Namun, sang suster menghampirinya dan kembali mengingatkan jadwal visitnya.
“Iya, Sus. Saya ada urusan dulu sebentar, nanti kalo sudah selesai saya ke lantai dua.”
“Baik, Dok.”
Fauzan berada dalam jarak beberapa meter dari tempat Nita dan Revan. Fauzan mengamati interaksi antara dua manusia itu yang canggung dan sepertinya dalam keadaan kurang baik. Namun, Fauzan segera tersadar untuk apa ia mengetahui urusan Nita dengan lelaki itu. Fauzan menggelengkan kepalanhya lalu bergegas pergi menuju kamar pasiennya di lantai dua.
===
Fauzan yang sudah selesai visit pasien berjalan menuruni tangga. Ia melihat Nita yang tergesa-gesa menuju pintu ke luar rumah sakit. Fauzan pun mempercepat langkahnya untuk menyapa Nita dan ingin tahu ada keperluan apa Nita datang ke rumah sakit ini. Hanya sebagai bentuk rasa peduli terhadap teman adiknya, itu saja.
Fauzan mengamati Nita yang sepertinya tidak fokus memperhatikan jalan, hingga perempuan itu tetap melangkah meski ada sebuah sepeda motor yang melaju kencang ke arahnya. Fauzan berlari dengan cepat dan menarik lengan Nita hingga perempuan itu berada dalam pelukannya. Untung saja Fauzan kuat menahan bobot keduanya sehingga mereka hanya terhuyung tidak sampai terjatuh.
“Woi, kalo nyebrang itu pakai mata! Sembarangan aja!” bentak sang pengendara motor lalu kembali melajukan motornya.
Nita masih memejamkan matanya, terlalu syok atas kejadian yang hampir mencelakainya. Pertengkarannya dengan Revan membuatnya jadi tidak fokus.
“Kamu gak apa-apa, Nita?” tanya Fauzan.
Nita membuka matanya yang terpejam.
Siapa lelaki ini? Bagaimana ia bisa tahu namaku?
Nita menjauhkan tubuhnya dari lelaki yang sedang mendekapnya saat ini. Ia tambah syok begitu melihat wajah lelaki yang telah menolongnya itu.
“Bang Fauzan?”
“Iya, kamu gak apa-apa, Nita? Ada yang sakit?” tanya Fauzan khawatir.
“Gak apa-apa kok, Bang. Nita baik-baik aja. Makasih ya udah nolongin Nita.”
“Alhamdulillah kalo gitu. Lain kali hati-hati, Nita. Kalo mau nyebrang atau lagi jalan di jalanan ramai kayak gini jangan ngelamun kayaak tadi, bahaya.”
“Iya, makasih, Bang,” ucap Nita sambil tersenyum dan menunduk malu.
“Kalo gitu, Nita permisi dulu ya, Bang.”
“Kamu mau ke mana?”
“Pulang ke panti.”
“Biar saya antar.”
“Eh, gak usah, Bang. Saya bisa sendiri.”
“Gak apa-apa Nita. Saya sekalian pulang juga.”
Nita tak kuasa menolak ajakan Fauzan karena lelaki itu terus memaksanya. Jadilah Nita pulang semobil dengan Fauzan.
Tanpa Fauzan dan Nita sadari, Revan mengamati keduanya dengan tatapan tajam.
===
Ternyata Fauzan tak membawa Nita langsung pulang ke rumahnya. Lelaki itu membawa Nita makan di sebuah restoran Betawi favoritnya. Awalnya Nita menolak dan ingin langsung pulang saja sendiri, tapi lagi-lagi Fauzan memaksanya untuk menemaninya makan siang.
“Bang, saya pulang sendiri aja ya?”
“Jangan, Nita. Temani saya makan siang dulu.”
Nita dengan berat melangkahkan kakinya ke restoran Betawi itu. Bukan karena apa Nita menolak ajakan Fauzan, Nita merasa canggung saja jika berduaan dengan lelaki itu. Sejak kenal dengan Fani berpuluh tahun lalu, baru kali ini ia hanya pergi berdua dengan Fauzan. Nita merasa malu dan sungkan dengan lelaki itu. Terlebih, ia pernah memendam perasaan dalam diam pada Fauzan.
Fauzan mengamati Nita yang terus saja menunduk, enggan menatap wajahnya.
“Kamu tenang aja, Nita. Sebentar lagi Fani ke sini kok. Tenang, gak Cuma kita berdua,” ucap Fauzan.
“Oh, alhamdulillah kalau gitu.” Wajah Nita memancarkan aura kelegaan. Jika hanya berdua saja dengan Fauzan, Nita bisa mati gaya dan mati kutu. Ia tak begitu dekat dengan Fauzan sehingga bisa ngobrol akrab jika hanya berdua saja. Jika ada Fani, Nita bisa terselamatkan dari situasi kaku dan canggung.
“Kamu mau pesan apa, Nit?”
“Nasi sama soto betawi aja.”
“Minumnya?”
“Es jeruk.”
“Oke, nasi dan soto betawi satu, terus nasi sama sate kambing satu ya. Minumnya es jeruk dua,” ucap Fauzan pada pelayan.
Nita merasa aneh dengan Fauzan. Setahunya, dulu lelaki itu begitu dingin dan cuek. Tapi, kenapa sekarang ia berubah? Nita merasa kakak lelaki Fani ini menjadi lebih ramah dan murah senyum, entah ke mana perginya sifat dingin dan cueknya dulu.
“Kesibukan kamu apa sekarang, Nit?”
“Hmm, saya lagi coba usaha sendiri, Bang. Kebetulan lagi senang rajut sama beberapa anak panti. Terus hasil rajutannya kita jual online.”
‘Wah, bagus tuh!”
“Iya, itung-itung belajar usaha, Bang. Kalo abang sendiri sibuk apa? Abang praktik di rumah sakit tadi ya?” Nita memberanikan diri bertanya pada Fauzan.
“Iya, abang praktik di rumah sakit tadi.”
“Wah, keren! Hebat!” puji Nita dengan wajah berbinar. Fauzan yang dipuji hanya bisa tersenyum malu-malu.
“Jadi dokter apa, Bang?”
“Dokter anak. Abang dari dulu memang bercita-cita jadi dokter anak.”
Ah, Nita tahu sekarang. Mungkin sifat dingin dan cueknya itu perlahan pudar karena Bang Fauzan sekarang sudah jadi dokter anak. Ya, mungkin itulah alasannya. Mana mungkin bisa berhadapan dengan pasien lucu dan imut dengan wajah yang datar dan cuek. Bisa-bisa pasien-pasien anaknya kabur semua.
“Cie, ngobrolin apaan sih nih berdua?” goda Fani yang tiba-tiba sudah duduk di sebelah Nita.
“Eh, Fani?” Nita pun memeluk sahabatnya itu erat.
“Kok bisa sih kalian ketemu di rumah sakit Bang Papau?” tanya Fani sambil memerhatikan menu makanan.
“Ah, iya. Kamu lagi apa di rumah sakit tadi, Nita? Kamu sakit?” tanya Fauzan.
Nita jadi gelagapan ditanya oleh Fani dan Fauzan. Tadinya, ia kira bisa lolos dari pertanyaan mengapa dirinya bisa berada di rumah sakit. Namun, nyatanya pertanyaan itu menghampirinya juga. Nita memutar otak mencari jawaban yang pas tapi juga tidak berbohong. Tak mungkin ia berkata jujur bahwa ia memeriksakan kandungannya sedang mereka tahu jika Nita belum menikah.
“Tadi lagi check up biasa aja, kok. Beberapa hari terakhir ini lagi kurang enak badan.” Nita tak berdusta, memang beberapa hari terkahir ini tubuhnya sering cepat merasa lelah dan terkadang perutnya terasa nyeri atau kram. Tadi dokter menyarankan agar Nita lebih banyak beristirahat, tidak mengerjakan pekerjaan berat dan banyak makan-makanan bergizi dan juga minum vitamin yang diberikan dokter untuk menguatkan kandungannya.
“Berarti lo lagi sakit dong, Nit?” tanya Fani.
“Sekarang sih udah nggak, kok. Lo tenang aja.”
“Oh iya, kamu sering ikut kajian di mesjid kayak hari Ahad kemarin?” tanya Fauzan.
“Nggak kok, itu baru pertama kali. Ya, awalnya nemenin Rena sih, tapi kalo dipikir-pikir gak ada salahnya juga ikut kajian rutin kayak gitu. Nambah ilmu dan wawasan juga, kan?”
“Iya, nambah kenalan juga. Siapa tahu ya nemu jodoh juga pas kajian. Iya gak, Bang?” celetuk Fani.
Fauzan yang sedang menyeruput es jeruknya tiba-tiba terbatuk. Fani langsung memberikan tisu pada abangnya itu.
“Kamu mah jodoh melulu sih, Fan. Masa ikut kajian niatnya buat nyari jodoh,” ucap Fauzan sambil mengelap mulutnya yang basah. “Ikut kajian tuh niatnya buat cari ilmu,” tambahnya.
“Yah, Abang. Ya gak apa-apa dong. Sambil nyari ilmu kalo tiba—tiba ketemu yang sholeh dan cocok juga, why not? Sambil menyelam minum air juga. Betul kan, Nita?” Fani mencari pembelaan pada Nita sedangkan Nita hanya bisa tersenyum malu sambil mengangguk.
“Emangnya abang tuh, umur udah kepala tiga juga masih nyantai aja ngejomblo. Abang jutek sih. Ramahnya Cuma sama bocah doang coba, Nit. Gak capek apa meriksain anak orang terus, Bang? Gak kepengen gitu punya anak sendiri?” cerocos Fani. Fani dan Fauzan memang memiliki sikap yang bertolak belakang. Jika Fani itu perempuan yang cerewet dan ceplas-ceplos, Fauzan itu dingin dan cuek, sulit akrab dengan orang yang baru dikenal.
Apa? Jadi Bang Papau belum punya calon? Batin Nita. Nita merasa heran saja jika lelaki setampan dan semapan Fauzan belum memiliki calon pendamping. Padahal, lelaki itu dengan mudahnya bisa memilih perempuan yang ia sukai. Perempuan mana yang berpikir panjang untuk menerima pinangan dari lelaki sepertinya? Nita pikir, mungkin perempuan itu sudah tidak normal.
“Ck, kenapa jadi malah bahas jodohnya abang sih, Fan?”
“Ya emang kenapa? Salah? Ah! Kenapa gak abang sama Nita aja? Gimana, Nit?”
Untung saja Nita tidak sedang mengunyah atau minum. Jika iya, bisa dipastikan Nita akan ikut tersedak seperti Fauzan tadi. Nita hanya bisa mendelik tajam ke arah Fani yang cengengesan sambil menaikturunkan alisnya. Nita akhirnya mencubit paha Fani yang berada di dekatnya.
“Aaww! Sakit, Nita!” ucap Fani mengaduh sambil mengusap-usap pahanya yang habis dicubit Nita.
“Ya kan gak salah kalian sama-sama single, kan?” bela Fani.
“Masa? Kali aja Nita udah ada calonnya, Fan.”
“Emang iya, Nita? Lo udah ada calonnya?” tanya Fani penasaran.
“Eh? Oh, nggak. Belum ada kok.”
Fani dan Fauzan langsung bertatapan. Fani memberi isyarat melalui mata pada Fauzan seakan berkata, “Tuh, Bang. Kejar! Nita belum ada calonnya.” Sedangkan Fauzan hanya berekspresi biasa saja meski dalam hati ada sebuah perasaan lega dan senang ketika mengetahui Nita belum ada calon pendamping.
“Lagian, belum kepikiran nikah dalam waktu dekat ini. masih mau ngembangin usaha dulu,” elak Nita lalu kembali menghabiskan nasi dan sotonya.
Bahu Fani dan Fauzan seketika merosot mendengar ucapan Nita selanjutnya.
===
Nita sudah merasakan nyeri perut sejak ba’da maghrib. Namun ia belum berani mengatakannya pada ibu dan adiknya. Ia pikir, nyeri itu lama kelamaan akan hilang. Tapi, hingga Nita akan pergi tidur jam sembilan ini, nyeri tersebut belum kunjung reda. Nita menuju kamar Renata dengan langkah tertatih. Ia memutuskan akan memeriksakan nyerinya ke dokter karena takut terjadi apa-apa dengan calon anaknya.
“Ren! Buka pintunya!” ucap Nita setengah berteriak sambil mengetuk pintu kamar Renata. Nita memegangi perutnya yang semakin nyeri.
Tak lama Rena membuka pintu kamarnya dan kaget melihat ekspresi Nita yang kesakitan.
“Mbak kenapa?”
“Perut mbak sakit banget, tolong antar ke dokter ya?” pinta Nita.
“Oke, tunggu sebentar, Mbak!”
Tapi belum sempat Rena beranjak, ia terkejut mendapati kaki Nita berdarah.
“Mbak, itu ... darah,” tunjuk Renata ke arah kaki Nita.
Nita menundukkan kepalanya lalu melihat ada aliran darah mengalir di kakinya.
“Da ... rah?”