Bismillahirrahmanirrahiim
Allahumma shali’ala Muhammad wa’ala ali Muhammad
===
Revan menyeringai licik. “Oke gue bantu, tapi dengan syarat ya, Raz?” Revan merasa sedikit beruntung kali ini.
Ia belum mengontak Faraz untuk mengajak kerja sama, tetapi lelaki yang kini terlihat putus asa di hadapannya ini sudah memohon pertolongannya. Boleh kan Revan mengajukan syarat juga? Revan pikir toh syaratnya ini tak merugikan siapa pun, justru malah menguntungkan Faraz. Anggap saja ini sebagai simbiosis mutualisme, hubungan yang saling menguntungkan satu sama lain. Lagi pula, bukankah sesama manusia harus saling tolong menolong dalam kebaikan?
Faraz mengerutkan dahinya sambil memicing tajam pada Revan. Ia sudah menyiapkan diri sebelumnya jika Revan meminta imbalan atas pertolongannya.
“Syarat apaan? Kalau masih masuk akal, gue sanggup dan gak melanggar norma hukum dan agama akan gue penuhi,” ucap Faraz menyanggupi.
“Hmm, mungkin sebelumnya gue minta maaf ya.”
Kerutan di dahi Faraz bertambah banyak. Ia semakin heran dengan permintaan maaf yang diucapkan Revan. Faraz tak menyangka lelaki seperti Revan bisa berbesar hati meminta maaf setelah apa yang dilakukannya dulu padanya dan Lisa.
“Buat?” Faraz sengaja memancing Revan dengan berpura-pura tidak tahu.
Revan menghela napas sambil memutar bola matanya jengah. “Ya ampun, pakai tanya buat apa lagi. Gini-gini gue masih gentle ya buat minta maaf langsung sama lo.”
Faraz tersenyum mengejek Revan. Tapi, sebenarnya dalam hati ia merasa lega yang luar biasa.
“Ya gue minta maaf buat kesalahan gue kemarin sama lo, gue minta maaf.” Revan berbesar hati meminta maaf pada Faraz atas kesalahannya dulu padanya dan Lisa. Setelah banyak kejadian yang dialaminya beberapa waktu terakhir ini, ia pikir tak ada gunanya menyimpan dendam pada Faraz.
“Yakin udah merasa gentle?”
“Ya iyalah,” ucap Revan dengan bangga.
“Terus kapan dong ngasih undangan ke gue?”
“Undangan apa?”
“Bukannya lo harus nikahin Nita karena dia hamil anak lo?” tembak Faraz langsung tepat pada sasaran.
Revan terhenyak mendengar ucapan Faraz. Sangat tepat sasaran dan menohoknya. Revan menduga pasti Faraz mengetahuinya dari Lisa. Revan tak ingin membahas mengenai hubungannya dengan Nita saat sedang membicarakan masalah pekerjaan seperti ini.
“Duh, bisa jangan bahas masalah pribadi bisa gak? Profesional dikit lah, Raz. Tadinya kan gue yang mau ngasih syarat buat lo, kenapa jadi gue yang kesudut sekarang?” ucap Revan kesal.
“Oh, lo merasa kesudut? Sorry, deh,” ucap Faraz kemudian terkekeh. “Ya udah emang apa syarat dari lo?”
“Lo mau jadi supplier jadi di supermarket gue, baru nanti gue mau banti lo cari Lisa, gimana? Ya anggap aja simbiosis mutualisme gitu.”
Faraz mendesah, “Hmm, gak tahu juga, Van.”
“Emang kenapa?”
“Kemarin juga gue baru gagal panen. Ya Alhamdulillah udah mulai nanam lagi sih, tapi gue masih belum yakin kalau hasil panennya bisa mencukupi kebutuhan konsumen,” ucap Faraz terdengar pasrah.
Rasa bersalah kembali menghantam Revan. Semua itu adalah ulahnya. Ia menyuruh orang untuk merusak kebun Faraz hingga mengalami gagal panen. Revan semakin yakin bahwa ia tengah menerima karma atas balasan perbuatannya dulu. Revan termenung memikirkan kesalahannya dulu.
Faraz tahu bahwa Revan-lah orang yang berada dibalik kerusakan kebunnya. Tapi, ia sengaja tidak menyalahkan meski memang sebenarnya Revan bersalah. Faraz ingin tahu reaksi lelaki itu. Apakah ia akan mengakui kesalahannya dan meminta maaf seperti tadi? Atau malah menghindar?
“Ya permintaan maaf gue juga buat kebun lo yang gagal panen, Raz. Sorry, gue memang yang nyuruh orang untuk ngerusak kebun lo. Sekarang gue juga udah kena batunya, gue juga gagal panen.”
“Hmm ... sudah kuduga,” gumam Faraz.
“Jadi, berarti lo gak bisa bantu gue, ya?” Revan semakin dilanda kebingungan. Jika Faraz tak bisa membantunya, satu-satunya jalan adalah ia harus menjadwal ulang untuk promosi di supermarketnya.
“Ya mungkin kalo untuk waktu dekat ini, belum bisa, Van. Maaf. Gue aja masih keteteran. Kalau udah stabil, boleh deh lo ngajakin kerja sama lagi.”
Revan tak punya pilihan. Ia memaksa Faraz pun percuma. Toh ini semua adalah imbas dari perbuatannya.
“Hmm ... oke deh.”
“Tapi, lo masih mau bantu gue buat cari Lisa, kan?”
“Iya, lo tenang aja, ntar gue bantuin. Oh iya, mungkin nanti kalo gue gak di sini, lo kontakan aja ya sama si Annisa. Anggaplah dia wakil gue di sini.”
“Iya, oke. Urusan gampang itu mah. Gue juga paham kok lo sibuk, lo juga harus memerjuangkan Nita di Jakarta, kan?” sindir Faraz.
“Ck, bisa gak sih jangan bahas dia dulu?” decak Revan kesal.
“Sebagai orang yang peduli sama lo, gue ingetin ya, Van. Seperti kata lo, lo lelaki gentle, kan? Lelaki jantan, kan?”
Revan diam tak menanggapi ucapan Faraz. Ia sudah tahu ke mana arah pembicaraan lelaki di depannya itu.
“Lelaki gentle itu berani berbuat berani bertanggungjawab. Lo harus berani bertanggungjawab atas apa yang udah lo perbuat, Van. Jangan jadi pengecut yang lari dari tanggungjawab. Meski mungkin lo gak cinta sama Nita sekarang, tapi setidaknya pikirin anak lo, calon anak lo nanti. Emang lo mau dia lahir tanpa orang tua yang lengkap?”
Revan mendesah. “Gue udah mau nikahin dia, Raz. Tapi, dianya yang gak mau. Sekarang perempuan itu angkuh dan sombong. Dia gak mau nikah sama gue. Terus gue harus gimana?”
“Ck, ya bujukin terus dong. Lo yakin itu anak lo, kan? Jangan melempem gitu lah jadi laki. Jangan udah ngerusak anak orang terus lo tinggalin. Bujukin lah, perempuan mah dibujukin berkali-kali juga pasti luluh, Van. Meski nolak, sebenarnya Nita mungkin masih ngarep lo perjuangin dia.”
Dua lelaki itu terdiam merenungi nasibnya masing-masing. Faraz yang mencari keberadaan Lisa istrinya dan Revan yang harus bertanggungjawab atas perbuatannya dengan Nita. Setiap manusia punya ujiannya masing-masing, sesuai dengan kadar kesanggupannya. Karena Allah tidak akan membebani hamba-Nya dengan ujian di luar batas kesanggupannya.
“Jangan sampai suatu saat nanti lo nyesel, Van. Penyesalan di akhir itu gak akan berguna sama sekali. Ingat nasihat gue baik-baik, jadi sebelum terlambat lebih baik lo perjuangin Nita dan anak kalian,” ucap Faraz sambil menepuk bahu Revan memberinya semangat.
===
Nita bersama Renata sedang menemani adik-adik panti mengerjakan tugas sekolahnya. Mereka berdua dengan sabar membimbing anak-anak, terutama jika ada soal tugas yang belum dimengerti. Nita tersenyum miris mengamati adik-adiknya yang tengah serius mengerjakan tugas.
Mereka bisa sampai di panti ini dengan beragam cara. Ada yang memang sejak bayi sudah tak diinginkan oleh orang tuanya, ada yang tak sengaja bertemu dengan Bu Dina di jalanan, ada juga yang dititip oleh orang tuanya karena tak sanggup membiayai kebutuhan hidupnya. Sebagian besar memang ditinggal sejak bayi dan anak terlantar. Miris sekali. Mereka tak pernah merasakan kasih sayang orang tua yang lengkap dan kehangatan sebuah keluarga.
Sama seperti dirinya yang tak pernah tahu wujud kedua orang tuanya dan mengapa mereka tidak menginginkannya. Seperti apa mereka? Apakah ayahnya tampan? Apakah ibunya cantik? Apa pekerjaannya? Apakah Nita anak yang lahir dalam pernikahan? Atau ia hanya aib sehingga ibunya malu dan menitipkannya ke panti asuhan. Entahlah. Sebenarnya sejak beranjak remaja, Nita tak mau ingin tahu lagi siapa kedua orang tuanya dan asal usulnya. Tetapi, semenjak mengandung dan perasaannya sensitif, entah kenapa ia sering memikirkan tentang jati dirinya dan orang tuanya.
Nita mendesah pelan. Ia jadi ingat janin dalam kandungannya. Meski hadir dengan cara yang salah, ia bertekad tak akan pernah menelantarkannya. Bagi Nita, janin yang dikandungnya adalah satu-satunya keluarga yang memiliki ikatan darah dengannya. Apa pun akan ia lakukan untuk mempertahankan janinnya.
Renata mengamati Nita yang melamun saat mengawasi adik-adik panti. Renata menyuruh adik-adiknya yang sudah selesai masuk ke kamar masing-masing dan langsung tidur karena besok mereka harus sekolah. Saat ini mereka berada di meja makan panjang yang sudah bersih dan kosong.
“Mbak?” tanya Rena sambil mengguncang pelan bahu Nita.
“Eh? Iya, kenapa, Ren?”
“Mbak melamun?”
“Ah, nggak kok. Mbak tiba-tiba keinget dan penasaran sama orang tua Mbak.”
“Oh, tapi ingat, Mbak gak boleh stress. Nanti pengaruh ke janinnya loh, Mbak,” ucap Renata mengingatkan.
“Iya, makasih ya. Kamu memang calon aunty yang baik,” ucap Nita sambil tersenyum.
“Mbak, mau coba hijrah nggak?” tawar Renata.
Nita sedikit tertegun dengan pertanyaan Renata.
Hijrah?
Perempuan seperti dirinya hijrah?
Renata paham pasti kakaknya itu bingung dengan ajakannya. “Mbak, mbak ini kan udah mau jadi ibu. Apa mbak gak mau berubah menjadi muslimah yang lebih baik dan jadi ibu yang shalihah untuk si dedek bayi nanti?”
Nita tersenyum kecut. Ia merasa tak pantas menjadi muslimah seperti yang dimaksud Renata. Dirinya sudah menjadi perempuan yang kotor. Ia berselingkuh, berzina dan hamil di luar nikah. Untung saja Nita masih waras dan sadar untuk tidak menambah “menggugurkan kandungan” dalam daftar dosa-dosanya.
“Apa mbak masih pantas, Ren? Mbak akui, mbak memang gak pernah menuruti nasihat ibu untuk berjilbab dan nggak pacaran. Sekarang kamu tahu sendiri mbak sudah kotor, sudah seperti ini. Apa mbak masih pantas berhijrah menjadi muslimah seperti kamu dan ibu?” tanya Nita pasrah.
“Mbak, Allah itu Maha Pengampun. Allah pasti mengampuni hamba-hambaNya yang mau bertobat. Mbak harus yakin itu. Seberdosanya manusia pada Allah asal bukan dosa syirik, Allah pasti mengampuni, Mbak.”
“Begitu? Semenjak tinggal di apartemen aja ... Mbak ... Mbak jarang sholat, Ren,” aku Nita dengan jujur.
Rena tak memungkiri keterkejutannya. Shalat adalah ibadah wajib bagi setiap muslim. Shalat juga adalah ibadah yang pertama kali akan dimintai pertanggungjawabannya. Bagaimana mungkin kakaknya bisa dengan mudah meninggalkan shalat? Padahal selama di panti Bu Dina selalu mendidik anak-anak asuhnya untuk disiplin melaksanakan shalat.
Apa mungkin kehidupan Mbak Nita selama ini telah melalaikannya dari melaksanakan kewajibannya sebagai seorang muslim? Batin Renata.
Renata mencoba paham dan tak menghakimi apalagi menyalahkan Nita, meski memang perbuatannya meninggalkan shalat itu adalah suatu kesalahan. Mungkin kemarin adalah fase gelap dalam hidup kakaknya itu. Sekarang, ia pikir saatnya sang kakak kembali ke jalan yang benar. “Gak apa, Mbak. Itu kan masa lalu, yang penting sekarang Mbak mau berubah. Ya bisa dimulai dari memperbaiki shalatnya dulu, kan?”
Nita menatap Renata dengan penuh tanda tanya dan keraguan.
Masih pantaskah ia berhijrah?
Masih pantaskah ia bersimpuh memohon ampun pada-Nya setelah selama iini mengabaikan-Nya?
Maukah Allah mengampuni dosa-dosanya yang begitu banyak?