Bismillahirrahmanirrahiim
Allahumma shali’ala Muhammad wa’ala ali Muhammad
===
Masih pantaskah ia berhijrah?
Masih pantaskah ia bersimpuh memohon ampun pada-Nya setelah selama iini mengabaikan-Nya?
Maukah Allah mengampuni dosa-dosanya yang begitu banyak?
Kalimat-kalimat itu teruss terngiang-ngiang di benak Nita. Nita dilanda kebimbangan yang luar biasa. Ia merasa dirinya sudah terlalu banyak dosa dan ia pun merasa dirinya kotor. Jujur, Nita merasa malu dalam hati jika ia berhijrah.
Apa yang akan orang pikirkan tentang diriinya?
Lah, waktu udah hamil di luar nikah baru tobat dan rajin solat serta menutup aurat. Nita takut mendapat cibiran dan gunjingan orang tentang dirinya. Sungguh, Nita tak sanggup.
Nanti apa kata orang? Berjilbab tapi hamil di luar nikah. Apa itu tidak aneh?
Nita sedang melamun ketika ia belajar merajut. Pandangannya kosong sedangkan kedua tangannya terdapat jarum dan benang rajut. Nita memang sedang menekuni dunia rajut karena ia tertarik membuka usaha kerajinan tangan dari rajutan. Rencananya ia akan memberdayakan anak-anak panti yang sudah remaja untuk membuat kerajinan tangan dari rajutan lalu nanti hasilnya ia jual melalui medsos.
Renata yang akan berangkat ke toko kain milik Bu Dina menghampiri Nita yang melamun. Bu Dina memiliki beberapa usaha seperti toko kain, laundry dan minimarket. Renata mendapat pekerjaan dari Bu Dina untuk mengelola toko kain miliknya.
Renata terdiam lalu menggelengkan kepalanya. Akhir-akhir ini kakaknya itu sering sekali melamun. Renata jadi merasa kasihan. Gadis yang menggunakan rok celana navy dan baju lengan panjang berwarna hitam dan jilbab pasmina instan itu menusuk pipi Nita pelan dengan telunjuknya.
“Mbak Nita jangan ngelamun dong.”
“Eh? Ya ampun,” ucap Nita kaget sambil memegang dadanya.
“Untung Mbak gak pas lagi ngerajut, kalau gak bisa ketusuk jari Mbak,” ucap Nita sambil menunjukkan benang dan jarum yang dipegangnya.
“Ya makanya masih pagi gini jangan ngelamun, Mbak. Apa Mbak mau ikut aku ke toko ibu?” Renata pikir, mungkin Nita butuh kesibukan bertemu orang-orang daripada menyendiri saat adik-adik panti sekolah seperti ini. mungkin dengan begitu kesedihan Nita bisa sedikit terlupakan.
Nita menggeleng pelan menolak ajakan Renata. Ia belum siap berhadapan dengan dunia luar. Ia masih ingin sendiri menikmati suasana panti yang sepi yang sudah lama tak ia nikmati.
“Bener, nih? Yakin?”
“Iya, udah sana kamu pergi. Nanti telat lagi sampai toko.”
“Ah, gampang itu mah. Oh ya, Mbak Ahad besok ikut kajian yuk?”
“Kajian apa?” tanya Nita penasaran.
“Kajian rutin di mesjid kota. Biasanya materi bagus dan penceramahnya kece-kece loh, Mbak. Ya ikut ya? Temenin aku?” pinta Renata dengan tatapan memelas dan memohon.
Sejenak, Nita terlihat bimbang. Sebenarnya ia enggan mengikuti kajian-kajian seperti itu. Ia tidak biasa ditambah ia merasa minder dengan keadaannya saat ini. Tapi, melihat binar memelas dan penuh harap yang terpancar dari mata Renata, akhirnya Nita mengiyakan ajakannya.
“Yeay, gitu dong, Mbak,” ucap Renata dengan sumringah.
Nita hanya tersenyum melihat Renata yang kegirangan. Hmm, mungkin ini adalah langkah awal baginya untuk bisa menjadi perempuan yang lebih baik.
Ya semoga saja.
===
Perlahan-lahan, Nita mulai merubah kebiasaannya. Nasihat Renata masih membekas di ingatannya. Ia akan menjadi seorang ibu. Anaknya berhak mendapatkan ibu yang baik dan shalihah. Maka, perlahan Nita mulai memperbaiki dirinya. Ia mulai disiplin kembali melaksanakan shalat lima waktu yang dulu sempat ia abaikan dan tinggalkan.
Nita memandang dirinya di cermin yang menempel di pintu lemari. Kini ia menggunakan gamis berwarna merah marun dan jilbab pashmina instan berwarna hitam. Saat melihat penampilan barunya di cermin, ia seeprti melihat sosok lain, bukan Nita. Bukan dirinya selama ini. Nita menyentuh kepalanya yang tertutup jilbab. Tak lama, Renata masuk ke kamar Nita. Adik perempuannya itu pun tercengang melihat penampilan baru kakaknya.
Wajah terkejutnya berganti senyum. “Wah, Mbak Nita cantik banget!” ucap Renata sambil berjalan cepat menghampiri Nita yang masih berdiri di depan cermin.
Nita hanya tersenyum getir.
“Mbak gini aja seterusnya ya? Mbak cantik kok nutup aurat gini.” Renata berharap Nita mau seterusnya menggunakan pakaian yang menutup aurat.
Terlihat raut keraguan di wajah Nita. Lagi, ia merasa belum pantas dengan ini semua. Renata dengan cerdasnya bisa menangkap gelagat sang kakak.
“Mbak? Kenapa diam?”
“Nggak tahu, Ren. Mbak masih ragu. Mbak merasa belum pantas untuk menutup aurat kayak gini. Apalagi ingat kelakuan mbak dulu kayak gimana. Apa nanti kata orang? Masa perempuan berjilbab hamil di luar nikah? Hamil tanpa suami?”
Renata tersenyum tipis. Ia mengerti kegalauan yang dirasakan kakaknya. Renata dengan lembut menarik tangan Nita dan membawanya duduk di tepi kasur.
“Mbak, hijrah memang tidak mudah. Ketika Mbak memutuskan untuk kembali ke jalan Allah memang tidak mudah, pasti akan ada rintangan dan ujian yang Allah berikan. Ujian yang Allah berikan pada hamba-Nya yang berhijrah bertujuan untuk mengetahui siapa sih hamba-Nya yang serius bertobat dan yang hanya main-main. Mbak harus yakin mbak akan lulus ujian dari Allah.”
Nita mendengarkan nasihat Renata dengan seksama. Meski gadis iitu usianya lebih muda darinya, tapi secara pemikiran, Renata lebih matang dan lebih dewasa. Kadang Nita merasa malu sendiri, serasa ia yang menjadi adik dan Renata yang menjadi kakak karena gadis itu selalu menasihatinya dengan bijak.
“Jangan pedulikan kegalauan yang Mbak rasakan. Itu pasti bisikan setan. Kekhawatiran Mbak akan omongan orang lain, Mbak yang merasa belum pantas berjilbab, merasa kotor untuk bertobat, itu semua bisikan setan agar Mbak tidak jadi tobat dan mendekat pada-Nya. Setan memang tidak suka apabila ada manusia yang kembali ke jalan-Nya yang benar.”
“Apa benar begitu, Ren?” tanya Nita ragu. Ia memang awam sekali soal ilmu agama. Ia jadi merasa tambah malu pada adiknya itu.
Renata menganggukkan kepalanya dengan yakin. “Iya, Mbak. Pokoknya, Mbak gak usah peduliin kata orang. Mbak kan punya aku, punya ibu, punya adik-adik panti yang selalu dukung Mbak dan nerima Mbak apa adanya.”
Renata tahu, orang-orang yang berada dalam tahap awal hijrahnya kadang sering goyah. Maka dari itu, perlu lingkungan yang kondusif dan orang-orang terdekat yang senantiasa mendukung dan menguatkannya agar orang yang baru hijrah itu tidak goyah dan kembali ke kehidupan lamanya yang kelam. Selain tekad dari dalam diri sendiri yang harus kuat, keadaan sekitar juga memiliki pengaruh yang besar.
“Mbak?”
“Hmm?”
“Apa lelaki yang namanya Revan itu gak pernah hubungin mbak lagi?”
Nita sedikit terkejut karena Renata menyinggung soal Revan.
“Memang kenapa?”
“Enggh, nggak apa-apa sih. Tapi, misal nih Mbak, misalnya, dia datang ke panti lalu mau tanggungjawab dan ngajakin nikah lagi, gimana Mbak? Mbak terima atau tolak?”
“Kok kamu tiba-tiba nanya gitu?”
“Penasaran aja, Mbak. Mbak tetep mau tolak?”
“Iyalah, Mbak kan udah bertekad hidup berdua aja sama anak mbak, Ren. Kenapa? Kamu mau nyuruh mbak buat terima ajakan nikahnya gitu?
Renata tersenyum kecut sambil mengangguk. “Aku Cuma mikirin nasib calon keponakan aku aja, Mbak. Kita tahu gimana rasanya hidup tanpa orang tua bahkan wujud rupanya pun kita gak tahu. Ya, aku gak mau aja keponakanku ngalamin hal yang sama. Kalau Mbak sama si Revan itu masih bisa nikah, kenapa nggak?”
Pertahanan Nita kembali goyah. Semua yang dikatakan Renata memang benar.
“Ah, tapi dulu dia udah nolak meski Mbak memohon-mohon, Ren. Udah cukup Mbak direndahin sama dia. Dia juga gak yakin kalo anak ini anaknya, kok.”
“Hmm, yaudah. Renata hargai apa pun keputusan Mbak Nita. Eh, yuk berangkat sekarang Mbak, nanti telat.” Renata buru-buru mengajak Nita pergi ke mesjid kota untuk mengikuti kajian. Renata tak mau suasana hati bumil itu bertambah buruk.
Saat beranjak Nita merasakan sedikit nyeri di perutnya. Renata khawatir melihat Nita yang mengaduh kesakitan.
“Mbak, kenapa?”
“Ah, gak apa-apa. Cuma nyeri sedikit?”
“Apa kita gak usah pergi? Kita ke dokter aja ya?” tanya Renata panik.
Nita pun bingung kenapa perutnya tiba-tiba terasa nyeri. Tapi, nyeri itu kemudian berangsur mereda.
“Gak usah, ini udah gak nyeri kok. Yuk jalan, nanti kena macet kalo terlalu siang.”
“Benar gak apa-apa, Mbak?”
“Iya, gak apa-apa. Ayo!”
===
Kajian yang diadakan di mesjid kota menarik banyak jamaah. Terdapat hijab pembatas antara jamaah laki-laki dan perempuan. Area mesjid yang digunakan untuk acara pun penuh. Untung saja Nita dan Renata masih bisa mendapat tempat yang nyaman. Sang ustadz membawakan materi dengan cara yang menarik dan mudah dipahami oleh para jamaah yang hadir. Nita merasa nyaman mengikuti kajian semacam ini.
Acara berakhir beberapa menit sebelum dzuhur. Nita dan Renata memutuskan untuk salat di mesjid terlebih dahulu sebelum pulang. Usai salat, Nita yang lebih dulu usai menunggu Renata di pelataran mesjid.
“Nita!” sapa seorang perempuan berjilbab.
Sontak saja Nita langsung menoleh ke sumber suara.
“Ini benar Nita, kan?” tanya perempuan itu lagi.
“Iya, maaf, kamu siapa ya?”
“Ck, Ya Allah, tega banget lo lupa sama gue. Ini gue Fani, temen lo waktu SMP, masa lupa?” ucap perempuan yang mengaku bernama Fani.
Dahi Nita mengernyit. Ia berusaha membuka lembaran memori di otaknya hingga ia menemukan fakta bahwa perempuan di depannya ini memang teman SMP-nya.
“Ya ampun, Fani!”
Dua perempuan itu berpelukan melepas rindu setelah sekian lama tak bersua. Fani beserta keluarganya ikut pindah karena sang ayah yang bekerja sebagai konjen mengharuskannya pindah ke luar negeri.
“Tadinya gue takut salah, ternyata beneran lo. Pangling gue lihat lo pake jilbab gini. Tambah cantik aja.”
“Lo juga. Gue juga pangling tahu.”
Dulu saat masih duduk di bangku SMP, mereka memang belum menggunakan jilbab.
“Lo sama siapa ke sini?” tanya Nita penasaran.
“Ck, ya sama ...”
“Fani, ayo kita pulang.” Terdengar suara bariton khas lelaki yang mengajak Fani pulang. Nita langsung menolehkan kepalanya ke sumber suara.
“Nah, tuh dia. Lo pasti kenal kan siapa dia?” tanya Fani pada Nita.
Nita tertegun mendapati sosok lelaki tegap berkulit sawo matang, janggut tipis di rahang dan berbaju koko di depannya. Lelaki yang bertahun-tahun tak ia jumpai. Tampilannya kini sangat berbeda dengan ketika dulu terakhir jumpa. Kini lelaki itu terlihat lebih matang dan dewasa.
“Bang, lo masih inget gak nih siapa?”
Lelaki itu terlihat berpikir.
“Ini Nita, Bang Fauzan. Nita teman SMP aku yang suka main ke rumah itu lho.”
“Ni ... Nita?”
“Bang Fauzan?”