Bab 13. Kenapa Harus Fara Terus?

1186 Words
Namun Fara tidak akan pernah membiarkan dirinya berlama-lama larut dalam kesedihan. Sudah cukup tangis yang dia loloskan hari ini. Wanita itu bangkit dan melihat ke dalam kamar sang bunda. Untunglah bundanya masih terlelap terlepas dari keributan kecil yang terjadi antara dirinya dan Nesa. Sebenarnya Fara tidak ingin mengotori tangannya dengan menampar gadis belia itu, tapi dia sudah menuduh ibunya berbohong. Fara tidak akan tahan mendengar orang tuanya dihina. "Non, sudah pulang Mas Agha dan gadis itu?" tanya bik Sumi seolah menyadari permasalahan yang dialami Fara. "Sudah, Bik," jawab Fara singkat. "Non Fara tidak apa-apa?" tanya Sumi lagi. Nada bicaranya tampak sangat khawatir. Pasti Hanah akan marah besar jika mengetahui putri kesayangannya disakiti. Walaupun Fara masih punya seorang adik yang tengah menyelesaikan pendidikan di luar kota. Namun Fara selalu dijaga dengan baik oleh orang tuanya. Fara pun membawa Sumi keluar dari kamar sang ibu. Takut pembicaraan mereka terdengar. Terkadang ibunya terpejam bukan berarti tidur. "Tidak apa-apa. Bik, Fara minta apapun yang terjadi hari ini, tolong jangan sampai bunda tahu ya?" ucap Fara memohon. "Fara nggak mau bunda sampai sedih. Itu akan mempengaruhi kesehatannya." "Non tenang saja, Bibi nggak akan ngadu ke nyonya, tapi apa Non Fara sungguh baik-baik saja? Non bisa cerita ke Bibi. Bibi bisa menjaga rahasia Non," tambah Sumi dengan raut sedih. Pasti berat berada di posisi Fara, suami tempat dia berbagi segala hal justru berkhianat padanya, belum lagi Fara harus bolak balik merawat ibunya yang sakit keras. "Nggak apa, Bik. Jangan khawatir ya?" pungkas Fara tersenyum sendu. Dia hanya tidak ingin melibatkan orang lain. Bukan tidak percaya pada Sumi, tapi Fara takut paruh baya itu keceplosan, tidak sengaja membocorkan masalahnya. Sumi pun menghargai pilihan Fara. sekarang dia tahu kenapa anak majikannya itu betah berlama-lama di rumah dari pada harus ke suaminya. "Eh Non, tapi Non Fara tadi hebat lo," ujar Sumi tiba-tiba. "Hebat apanya, Bik?" Fara heran mendengar pernyataan Sumi. "Ya hebat Non tadi berani nampar gadis belagu itu, Bibi ikut geregetan pengen banget jitak kepalanya, bisa-bisanya dia nempel sama suami orang," omel Sumi sembari meremas-remas ujung bajunya sendiri membuat Fara terkekeh pelan. Sebenarnya Sumi juga ingin sekalian mencerca Agha namun dia tidak berani karena menjaga perasaan Fara. Suami yang sungguh tidak tahu diri. "Maafkan aku, Bi. Sebenarnya aku tidak ingin melakukannya tapi dia harus diberi pelajaran supaya tidak bicara sembarangan." "Oh, tidak apa-apa, Non. Bibi malah mendukung tindakan Non tadi, perempuan tak tahu diri seperti dia harus diberi peringatan," ujar Sumi menggebu-nggebu. Fara tersenyum simpul. "Tapi Bibi kok tahu kalau aku menamparnya?" "Hehe maaf, Non. Bibi nggak sengaja nguping," pungkas Sumi menahan senyum. "Ish. Kebiasaan deh, Bibi." Sumi menggaruk-garuk kepalanya yang tidak gatal sembari tersenyum lebar. Fara bersyukur masih ada ART-nya yang bisa diajak bicara. *** "Kamu kenapa sih nggak pernah bisa tegas kalau di depan Fara. Kamu selalu ngalah sama dia. Kamu udah nggak cinta lagi ya sama aku?" protes Nesa cemberut. Sepanjang perjalanan pulang ke rumah, Agha harus menebalkan telinganya mendengar omelan Nesa yang semakin menjadi-jadi. "Bukan begitu, Nes. Aku hanya tidak ingin ada keributan di rumah mertuaku, apa kamu nggak malu sama tetangga kalau sampai mereka semua tahu status kita?" tanya balik Agha. "Ya makanya kamu cepet nikahin aku dong, mana janji kamu? Katanya mau ceraikan Fara, lagian barang butut begitu kenapa dipertahanin sih," sanggahnya asal. "Nesa! Jaga bicaramu, kenapa kamu suka sekali menghina Fara," sela Agha refleks nyolot. Entah ada rasa tidak terima dalam hatinya jika Fara dijadikan bahan ejekan oleh Nesa. Semakin lama kekasihnya itu semakin frontal menyepelekan sang istri. "Memangnya kenapa? Kamu tidak terima?" tantang balik Nesa. "Dia masih istriku, Nes. Karena Fara juga aku bisa seperti ini dan bertemu denganmu, coba kalau aku tidak bekerja di hotel itu dan menjadi manajer. Pasti aku tidak akan-" "Fara, Fara, dan Fara. Sebut aja terus nama istrimu itu, dan kamu harus siap-siap kehilangan aku setelah ini," potong Nesa sebelum Agha sempat menyelesaikan perkataannya. Nesa bahkan mengancam akan meninggalkan pria itu. "Nesa… jangan begitu dong. Aku hanya tidak ingin kamu terus-menerus menjelekkan Fara." suara Agha terdengar melembut. "Sudahlah, Mas. Lebih baik kita akhiri saja hubungan ini. Percuma aku juga tidak tahan dengan sikap kamu," lirih Nesa mulai berkaca-kaca. Dia memalingkan wajahnya keluar jendela. "Kok kamu bilang begitu, Nes. Padahal selama ini Mas selalu menuruti kemauan kamu. Mas hanya minta kamu bersabar sebentar saja," pinta Agha memelankan laju mobilnya. "Aku capek, Mas. Aku capek selalu dinomor duakan, pada akhirnya aku sendiri tanpa siapapun di sisiku!" Nesa mulai meraung-raung. Dia bahkan menjambak rambutnya sendiri. Tak puas dengan itu, Nesa berteriak kencang. "Turunkan aku sekarang juga!" Agha terpaksa menepikan mobilnya. Dia tidak bisa berkonsentrasi menyetir saat Nesa hilang kendali. "Nesa!" Agha balas berteriak. "Bisa diam tidak? Bagaimana kalau kita kecelakaan karena ulahmu?" lanjutnya. "Aku tidak peduli! Kamu sudah berubah, kamu tidak lagi sayang sama aku, Mas. Aku benci kamu," balas Nesa mulai menangis kencang. Agha memijit pelipisnya perlahan. Nesa tidak bisa dikerasi, dia akan semakin menjadi-jadi jika ditekan terus. Agha pun mengatur napas agar emosinya kembali stabil. "Baiklah, aku minta maaf. Mas yang salah, seharusnya Mas lebih memperhatikan kamu, sudah cukup ya marahnya, bukankah kamu sedang mengandung? tidak baik untuk kesehatan janin kamu. Aku tidak mau dia terdampak sikap negatif kamu." pria itu berbicara dengan nada lembut dan berusaha merayu Nesa. Gadis itu mengusap air matanya dan mulai memandang Agha dengan tatapan memelas. "Kamu nggak tahu sih rasanya jadi aku, kamu sibuk dengan duniamu dan juga istrimu, tapi kamu lupa ada aku yang selalu menunggu kehadiran kamu," sahut Nesa menatap nanar sang kekasih. Agha meraih lembut telapak tangannya dan menggenggamnya erat. "Iya, Mas yang salah, Nes. Mas nggak bisa bagi waktu antara pekerjaan dan kamu, tapi setelah ini Mas janji akan sering-sering nengokin kamu." pria itu kembali mengumbar janji-janji manisnya. Nesa tersenyum senang. Kemarahannya selalu membuahkan hasil. Kesedihan yang ia jual juga tak pernah gagal merebut hati Agha kembali. "Terus kapan yang rencananya Mas akan menikahiku secepatnya? Nggak mungkin, kan perutku semakin membesar sedangkan tidak ada laki-laki yang menjadi suamiku, apa Mas nggak kasihan? Atau aku menikah saja dengan lelaki lain?" tantang Nesa kembali membuat Agha terkejut. "Nesa! Jangan sembarangan, janin yang kamu kandung itu adalah anakku, mana mungkin aku membiarkan kamu menikah dengan orang lain," sanggah Agha cepat. "Kalau begitu Mas harus nikahi aku secepatnya, aku juga nggak mau anak ini nanti lahir tanpa ayah," tambah Nesa dengan merajuk. "Iya, iya. Mas akan nikahi kamu setelah Mas mendapat ijin dari keluarga Mas," jawab Agha mantap. Wajah Nesa menampakkan semburat merah. Dia agaknya senang sekali bisa mempengaruhi Agha. Tidak masalah jika saat ini Nesa belum bisa menyingkirkan Fara, tapi lambat laun Agha pasti akan menceraikan istrinya sebab Nesa punya sesuatu yang tak bisa Agha tolak. "Mama sama bapak pasti ngijinin kok, siapa sih yang nggak mau punya cucu?" "Bagaimana dengan Fara? Mas juga belum memberitahunya. Mas akan mengatakan padanya jika suasana sudah membaik, dan Fara bersedia kembali ke rumah. Tolong mengerti sekali ini saja, Nesa. Dia masih istri Mas," bujuk Agha dengan lembut. Nesa hanya mengulas senyum tipis, tanpa mengatakan apapun. Tapi dalam hati dia bersungut-sungut. Kehadiran Fara benar-benar berpengaruh bagi kehidupan kekasihnya. Nesa harus bertindak. "Ah, dia lagi, dia lagi. Kenapa sih nggak mati aja si Fara sialan itu," batin Nesa menggerutu.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD