"Kenapa aku harus menjaga mulutku, Mas? Lagi pula mertuamu itu sakit terus kapan sembuhnya sih?" balas Nesa dengan nada tinggi.
"Kamu bisa pelan tidak kalau bicara? Di mana sopan santunmu? Datang teriak-teriak, apalagi kamu bukan tamu yang diundang," sindir Fara dengan halus. Dia hanya takut bundanya mendengar pertengkaran mereka.
Agha menyadari posisinya bisa terancam kalau sampai Hanah mendengar semuanya. Dia tidak menyangka Nesa bisa nekat menyusulnya ke rumah mertuanya. Segera pria itu membawa Nesa keluar supaya bisa menenangkannya.
"Lepasin, Mas! Aku mau kasi dia perhitungan." Nesa masih ngamuk sambil menunjuk-nunjuk Fara.
Sedangkan Fara masih tampak tenang tidak tersulut sedikitpun. Dia memberi kode pada Bik Sumi agar masuk ke kamar bunda dan menjaganya agar tetap beristirahat.
"Nesa, kamu ini di rumah orang. Jangan seperti ini," bisik Agha dengan kesal. Kali ini dia habis kesabaran. Nesa tidak bisa diajak kompromi. Dia memang daun muda yang masih labil dan mudah terpancing emosi. Berbeda dengan Fara yang jauh lebih dewasa.
"Mas, lebih baik Mas bawa pulang dia. Aku tidak mau bunda terganggu istirahatnya. Dokter menyarankan agar bunda tidak banyak beban dan pikiran," jelas Fara merendahkan suaranya. Dia sadar Nesa tidak akan semakin ngelunjak jika diberi ruang untuk bicara.
"Heh, perempuan mandul! Jadi orang sadar diri ya, kamu mungkin bisa bohongin Mas Agha, tapi kamu nggak bisa bohongin aku. Kamu sengaja, kan pakek alasan ibumu sakit segala biar Mas Agha sering-sering ke sini jenguk kamu, biar lebih diperhatikan Mas Agha ya, basi banget sih. Kasian deh sampai ngemis-ngemis perhatian gitu," omel Nesa panjang lebar mengeluarkan unek-uneknya. Puas sekali hatinya bisa melabrak Fara secara langsung di rumah ibunya.
Fara tidak menyangka selain pandai merebut milik orang lain, Nesa ternyata juga bermulut pedas. Sama seperti mertua dan iparnya. Namun Fara tidak menunjukkan kekesalannya sedikitpun. Dia justru tersenyum lebar. Ucapan mandul sudah menjadi jargon yang sering kali diperdengarkan.
"Kalau begitu bawalah Mas Agha pulang. Aku tidak menginginkannya sedikitpun. Dan asal kamu tahu, aku tidak pernah mengemis perhatian padanya. Yang ada dia sendiri yang memohon padaku, jadi ambillah dia sesuka hatimu," balas Fara dengan enteng. Sampai Agha terkejut melihat ekspresi yang diperlihatkan oleh istrinya. Biasanya kebanyakan para wanita sah akan marah-marah dan menjambak rambut wanita selingkuhan suaminya, namun Fara justru mengambil sikap tenang dan merelakan.
"Nah, Mas. Kamu dengar, kan dia bilang apa? Lagian ngapain sih kamu terus bela-belain dia yang sering nipu kamu!" seloroh Nesa kesal. "Aku nungguin kamu lama tahu, eh kamunya malah buang-buang waktu nggak jelas di sini," lanjut Nesa dongkol.
"Itu hal yang biasa. Karena aku istri sah Mas Agha. Justru aneh kalau dia sering menghabiskan waktu bersama wanita yang bukan muhrim," timpal Fara dengan senyum tertahan. Melihat aksi merengek Nesa kentara sekali dia masih sangat belia, tidak sepadan jika Fara mencari ribut dengan anak kecil.
"Halah nggak usah banyak omong dasar penipu," hina Nesa tidak mau kalah.
"Sudah cukup, Nesa. Jaga sikap kamu. Ini di rumah orang," balas Agha tampaknya merasa canggung. Bahkan melerai dua wanita yang dia cintai pun Agha tak mampu.
Fara menggeleng pelan. Tidak habis pikir jika suaminya bisa tertarik dengan gadis ini. Dia kira wanita selingkuhan Agha memang jauh lebih sempurna dibanding dirinya, namun dia memiliki emosi yang tak terkendali.
"Dan siapa yang kamu sebut penipu?" tanya Fara dengan santai. Dia bersandar di dinding dengan elegan. Menatap suami dan juga selingkuhannya yang tak ada akhlak.
"Siapa lagi? Kalau bukan kamu dan ibumu yang sakit-sakitan. Tua bangka itu pasti pura-pura sakit biar Mas Agha menjenguknya terus. Dan kamu juga sengaja mendukung akting ibumu itu agar Mas Agha semakin prihatin dan tidak akan pergi dari sisimu bukan?" tuduh Nesa tanpa pikir panjang.
Seketika badan Fara menegang. Dia sudah biasa dicaci, dia masih bisa terima orang lain menghinanya, tapi jika sudah menyangkut ibunya, Fara tidak akan tinggal diam. Ucapan Nesa sudah keterlaluan.
"Nesa!" suara Agha kembali mengingatkan. "Jangan malu-maluin kamu. Sudah ayo pulang, jangan semakin ngawur bicaramu." pria itu terdengar kesal. Sembari menarik lengan Nesa untuk menjauh.
"Apa sih, Mas. Aku masih mau bikin perhitungan sama istrimu itu! Enak saja dia bisa nahan kamu terus sampai-sampai kamu nggak mikirin aku," lanjut Nesa memberontak dan melepas genggaman Agha.
"Tidak apa-apa, Mas. Sepertinya dia memang perlu diajari sopan santun dan menghargai orang tua," jawab Fara dengan sengaja.
Nesa yang tidak terima dengan perkataan Fara segera maju menghampirinya dan hendak mencakarnya namun tertahan sebab Fara lebih gesit. Dia menahan tangan Nesa dan membalas dengan gerakan cepat.
Plak
Tamparan keras mendarat di pipi Nesa, gadis itu sampai terhuyung ke belakang tidak bisa menyeimbangkan tubuhnya. Agha langsung menangkap Nesa agar tidak terjatuh.
"Jangan sekali-kali menghina ibuku, kamu tidak tahu apapun tentang keluargaku, aku tidak akan tinggal diam jika kamu sekali lagi mengusikku," ancam Fara dengan senyum tersungging. Hampir tidak ada amarah di raut wajahnya, namun tamparan yang dia layangkan sudah cukup membuktikan sebuah pemberontakan.
"Fara!" seru Agha tak percaya. "Kenapa kamu menamparnya? Aku tidak percaya kamu bisa sekasar itu."
Pasalnya Agha menyaksikan sendiri istrinya itu menampar Nesa dengan tenaga penuh. Karena postur tubuhnya yang tinggi, jelas Nesa kalah seandainya Fara menyerangnya melebihi tamparan tadi.
"Aduh! Sakit sekali, Mas. Kok bisa-bisanya sih kamu punya istri galak macam dia," keluh Nesa mengusap-usap kulitnya yang perih.
"Nesa pantas mendapatkannya, lagi pula bukankah kamu yang mengajariku melakukannya, Mas?" sindir balik Fara dengan senyum mengejek, mengingatkan Agha kejadian tadi pagi saat dirinya menampar sang istri.
"Kamu-" Agha menunjuk Fara dengan geram sampai dia tidak bisa berkata-kata.
"Lebih baik kamu pergi sekarang juga, sebelum para tetangga tahu kamu kemari bersama pacar barumu. Pasti lebih memalukan, bukan?" sela Fara sebeljmum Agha melanjutkan kalimatnya.
"Kau ini!" seru Nesa kembali meradang. Dia hendak menyerang Fara lagi namun kali ini ditahan oleh Agha.
"Sudah, Nesa. Lebih baik kita pergi saja. Mas akan bicara pada Fara lain kali. Dia hanya cemburu dengan hubungan kita. Sebenarnya dia wanita yang baik," bisik Agha yang masih dapat didengar oleh Fara.
Sekuat tenaga dia menggigit bibir bawahnya agar tangisnya tak pecah. Agha, kenapa pikiran suaminya itu begitu picik, tidakkah dia berpikir rasa sakit yang dirasa Fara tak dapat terobati?
"Fara, baiklah Mas akan pergi dulu, Mas akan kembali menjemputmu kalau kamu sudah tenang. Jaga diri kamu baik-baik ya." Akhirnya Agha yang mengalah dan membawa Nesa pergi dari rumah Hanah.
Saat keduanya telah menghilang dari pandangan Fara, barulah wanita itu ambruk ke ubin dengan tangis yang tidak bisa dia bendung. Fara hanya berpura-pura tegar. Jauh di dalam lubuk hatinya, dia tetap saja seorang istri yang masih mencintai suaminya.
"Kenapa mencintai harus sesakit ini," lirihnya bergumam.