Bab 14. Aku CEO Perusahaan Ini

1102 Words
Sedari pagi Fara sudah bangun dan bersiap untuk panggilan interview. Dia akan berusaha sebaik mungkin agar bisa kembali bekerja. Seorang wanita yang mandiri tidak akan mudah diremehkan lelaki. Itu prinsip yang Fara pegang sejak dulu. Tentunya setelah menyiapkan segala keperluan sang ibu dan membantu bik Sumi di dapur. Tinggal di rumah Hanah setidaknya membuat Fara lebih tenang, walaupun skandal perselingkuhan sang suami masih kerap terbayang-bayang dalam benaknya. "Bik, ini ya?" ujar Fara mengulurkan sup daging panas yang baru saja dia tuang ke dalam periuk kaca pada Sumi. Fara sangat cekatan sebagai ibu rumah tangga. Masakannya tidak pernah gagal memanjakan lidah suami. "Iya, Non. Makasih ya sudah mau bantu Bibi. Harusnya Non nggak perlu repot-repot. Bibi jadi nggak enak," balas bik Sumi. "Nggak papa, Bik. Lagian Fara juga males di kamar nggak ngapa-ngapain." Bik Sumi tersenyum simpul. "Non hari ini katanya mau keluar. Sudah ijin Bunda?" "Belum sih, Bik. Kalau begitu aku ke kamar bunda dulu ya. Sekalian lihat bunda sudah bangun apa belum," sahut Fara dibarengi anggukan dari bik Sumi. Bik Sumi menatap Fara dengan terenyuh. "Non Fara orang baik. Bibi doakan Non lekas menemukan jalan keluar terbaik," gumamnya sembari mengusap netranya yang mulai berkaca-kaca. Sumi sudah bekerja pada Hanah sejak Fara berumur 2 tahun, jadi paruh baya itu mengerti betul bagaimana peringai anak majikannya. Sejak kecil Fara sudah menunjukkan bakat yang luar biasa di bidang seni. Dia juga selalu diajarkan untuk menghargai orang lain tanpa memandang status. Tak sia-sia Hanah dan almarhum suaminya mendidiknya dengan penuh kasih sayang. Mengajarkannya adab serta tata krama hingga dia tumbuh menjadi gadis santun dan berakhlak. Sumi hanya melihat sekali Fara menyakiti orang lain dengan melayangkan tamparan, itu pun karena Nesa yang mengompori. Fara melihat sang bunda sudah duduk tegak di atas ranjang dengan senyum merekah. Dia merentangkan kedua tangannya pertanda meminta Fara untuk mendekat dan memeluknya. "Pagi, sayang," sapa Hanah dengan binar di wajahnya. "Bunda sudah bangun?" tanya Fara sembari mendekat dan memeluk Hanah. Aroma sang ibu selalu menjadi penenang baginya. "Baru saja bangun sebelum kamu masuk tadi," jawab Hanah. "Bunda mau makan dulu? Atau bersihkan badan dulu?" ujar Fara memberi pilihan. "Sudah biarkan bik Sumi saja yang merawat Bunda, kamu mau kembali ke rumah suamimu, kan hari ini?" tanya Hanah penuh harap. Fara tidak tega melihat binar di wajah sang bunda redup jika dia mengatakan tidak, tapi bagaimanapun pada akhirnya dia tidak bisa lari terus menerus. "Fara akan kembali, Bunda. Kalau waktunya sudah tepat. Untuk saat ini tolong biarkan Fara tinggal di sini lebih lama lagi." dia menatap sang ibu lamat-lamat. Berharap wanita yang telah melahirkannya itu bisa mengerti kemauannya. "Mana mungkin Bunda tidak membiarkan kamu tinggal di rumahmu sendiri, Sayang. Tinggallah semau kamu, asalkan kamu sudah mendapat ijin dari suamimu," jelas Hanah dengan senyum yang masih melekat. Fara menghela napas lega. Setidaknya sang bunda tidak bertanya aneh-aneh lagi. Walaupun sebenarnya Hanah menyadari ada keganjilan dengan sikap anak dan menantunya. Dia hanya bisa mendoakan apapun yang menimpa Fara, semoga gadis kecilnya selalu diberi bahu yang kuat. "Terima kasih, Bunda." Fara mengecup kening Hanah lama sekali. Dia senang sang ibu tidak lagi menyudutkannya untuk kembali pada suaminya. "Oh ya, Bun. Fara mau keluar sebentar hari ini. Bunda nggak apa-apa, kan Fara tinggal dulu?" "Nggak papa dong, Sayang. Kan ada bik Sumi yang nemenin Bunda." Hanah sengaja mengijinkan Fara keluar rumah barangkali putrinya itu butuh hiburan. Fara mengangguk antusias. Dia segera mandi dan berganti pakaian. Dia harus sampai di kantor tempat wawancaranya jam 8 tepat. Memakai atasan putih dipadukan dengan blazer warna abu-abu dan bawahan rok pensil, juga sepatu pantofel warna hitam, Fara tampil sangat anggun dan elegan. Dia juga mengenakan kerudung segi empat dengan kedua ujungnya dikaitkan ke belakang. Menambah kesan rapi pada penampilannya. Tak lupa memakai pelembab bibir dan parfum secukupnya. Berangkat dari rumahnya pukul 06.30, Fara berharap tidak terjebak macet. Karena dia mengemudikan sendiri mobilnya. Beruntungnya perjalanan lancar, aman, dan terkendali. Sesampainya di Gautama management, Fara tak berhenti berdecak kagum. Agensi tempat dia melamar kerja ini benar-benar besar dan luas dengan gedung yang tinggi persis perusahaan modern. "Permisi, hari ini saya ada janji wawancara dengan pimpinan perusahaan, saya langsung bertemu beliau atau bagaimana prosedurnya?" ujar Fara santun saat bertanya ke meja resepsionis. "Tunggu sebentar ya, Bu. Saya hubungi pihak HRD terlebih dahulu," jawab sang resepsionis dengan ramah. Fara mengangguk sekilas. Dia merasa agak gugup. Sudah lama tidak berkecimpung di dunia kerja. "Dengan ibu siapa?" tanya resepsionis wanita itu kembali bertanya "Saya Faradiba El-khanza," jawabnya lugas. Kemudian resepsionis dengan rambut disanggul ke atas itu pun kembali berbicara di telepon. Sembari mengangguk dia menutup pembicaraan. "Baik, Ibu Faradiba. Silahkan menunggu di lobi terlebih dahulu sebelum anda dipanggil," titahnya. "Baik, terima kasih." Fara pun menunggu dengan tenang sampai akhirnya tiba gilirannya untuk masuk ruangan. Fara berjumpa dengan seorang wanita bertubuh sedikit gemuk dengan postur lebih pendek darinya. Namun dia terlihat begitu profesional. "Apa yang melatarbelakangi kamu melamar kerja di kantor ini?" tanya Tania-Hrd yang ada di depan Fara saat ini. "Saya ingin kembali menjadi wanita karir agar mandiri," balas Fara jujur. "Selain itu juga saya membaca beberapa berita bahwa perusahaan ini mengalami kemajuan yang pesat dalam bidang fashion. Kebetulan saya juga punya ketertarikan di bidang itu." Tania mengangguk mendengar jawaban Fara. Sangat simpel, namun cukup meyakinkan dengan ekspresi yang dia tunjukkan. Sebenarnya atasannya sudah meminta Tania untuk menerima Fara, namun untuk profesionalisme pekerjaan saja Tania bertanya-tanya padanya. "Baiklah kalau begitu anda bisa langsung menemui CEO kami, beliau sudah menunggu anda untuk wawancara selanjutnya." "Di mana ruangan beliau?" tanya Fara semakin gusar. Entah kenapa perasaannya semakin tak karuan. Ada sesuatu yang menganggu pikirannya. Padahal dulunya Fara sudah terbiasa menghadapi keadaan apapun. "Beliau ada di lantai 17, silahkan." Tania menutup berkas milik Fara dan meletakkannya kembali ke meja seberang. "Baik, terima kasih. Saya permisi," pamit Fara. Lambat laun dia mencari pintu lift dan memencetnya sampai di lantai 17, akhirnya dia masuk dan melihat Ruangan CEO ada disebelah selatan. Fara mengetuk pintu perlahan. Sampai terdengar dari dalam. "Masuk," titahnya. Hati Fara mulai berdebar tak beraturan. Sepertinya dia mengenal suara itu. Ah, tidak. Bisa saja kebetulan suara yang sama. Dunia tidak sesempit itu. Fara membuka pintu dan tampak seorang pria membelakanginya. Agaknya dia masih bercakap-cakap dengan seseorang di telepon. Tanpa diduga pria itu memutar tubuhnya dan menatap Fara dengan pandangan tidak ramah dan senyum mengejek. "Halo, kamu yang bernama Faradiba?" tanya dia dengan suara beratnya yang khas. Tiba-tiba saja tubuh Fara gemetar. Siapapun tidak masalah, asal jangan dia. Fara menelan saliva-nya dengan kasar. Buku kuduknya segera berdiri. Seolah menyadari keterkejutan Fara. "Be-benar, Pak," jawabnya kelu. "Masuk, aku CEO di perusahaan ini. Kita pernah berjumpa, kan sebelumnya?" tatapan nakal dan mata tajam yang menyipit itu tidak berubah sama sekali saat menatapnya.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD